Stimulus Belum Mujarab, Daya Beli Masih Kritis

Rabu, 02 September 2020 - 08:35 WIB
loading...
Stimulus Belum Mujarab,...
Foto/dok
A A A
JAKARTA - Berbagai program stimulus yang digelontorkan pemerintah belum mujarab mendongkrak perbaikan daya beli masyarakat. Kritisnya daya beli terlihat dari deflasi yang terjadi pada Agustus ini. Perlu upaya dari pemerintah yang lebih masif lagi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Agustus 2020 terjadi deflasi sebesar 0,05%. Deflasi ini merupakan yang kedua kali berturut-turut, setelah pada Juli lalu juga terjadi deflasi 0,10%. Sementara itu, secara tahunan, inflasi mengalami perlambatan menjadi sebesar 1,32% year on year (yoy), lebih rendah dibandingkan inflasi periode sebelumnya sebesar 1,54% yoy. (Baca: 70 Rekannya Meninggal, Kini Para perawat Mulai Khawatir Tertular Covid-19)

Kepala BPS Suhariyanto membenarkan, daya beli masyarakat yang terus melemah dipastikan bakal berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi sepanjang kuartal ketiga tahun ini. "Seperti saya sampaikan, tren ini hampir sama di semua negara. Terjadi pelemahan daya beli, dan hampir di semua negara mengalami deflasi. Covid ini menurunkan daya beli," ujarnya di Jakarta kemarin.

Stimulus Belum Mujarab, Daya Beli Masih Kritis


Menteri Keuangan (Menkeu ) Sri Mulyani mengatakan, terjadinya deflasi disebabkan tingkat konsumsi yang rendah. Apalagi, kelompok menengah atas sudah mengurangi daya beli.

"Yang penting itu, konsumsi masyarakat dan investasi yang harus dijaga. Itu dua hal yang penting. Kalau konsumsi bisa dengan bansos, bisa membantu termasuk mendongkrak daya beli untuk kelas menengah. Namun, daya beli yang besar dari kelompok menengah atas, tergantung lagi dari kepercayaan Covid. Walaupun mobilitas sudah naik, belum ditunjukkan belanja yang naik," jelas Sri Mulyani.

Sementara dari sisi belanja pemerintah terus digenjot dengan berbagai langkah untuk mengakselerasi. Pasalnya, dia optimistis belanja pemerintah akan membaik di bulan ini. "Pemerintah kan sudah melakukan dan terus melakukan akselerasi belanjanya. Bulan ini kita perkirakan akan lebih baik, meskipun tingkatnya tidak sebesar yang mungkin masih kita perkirakan, yaitu supaya bisa tumbuh positif dari belanja pemerintah," katanya.

Terpisah, Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan deflasi sebesar 0,05% pada Agustus 2020 menandakan tertekannya ekonomi Indonesia. Terjadinya deflasi tersebut diperkirakan akan meningkatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) lantaran sisi permintaan konsumen yang menurun. (Baca juga: Hamas Sebut kesepakatan UEA-Israel memalukan)

"Ini situasi yang menandakan sisi permintaan alami tekanan sehingga produsen tidak berani naikan harga jual barangnya. Tekanan pendapatan akibat terganggunya aktivitas ekonomi dan PHK massal di berbagai sektor," tegas Bhima.

Menurut dia, indikasi pelemahan ekonomi terus berlanjut meskipun ada new normal. Apabila kondisi tersebut dibiarkan dan deflasi berlanjut maka ekonomi dipastikan masuk jurang resesi yang lebih dalam dibanding kuartal II/2020. "Ekonomi Indonesia bakal tertekan lebih dalam hingga 2020," tandasnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1690 seconds (0.1#10.140)