Perjuangan Petani Tembakau Tolak Simplifikasi Cukai Didukung Wamen Desa PDTT
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamen Desa PDTT) Budi Arie Stiadi mendukung, perjuangan masyarakat petani tembakau yang tergabung dalam Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menolak beragam upaya yang akan menggiring pemerintah memberlakukan simplifikasi penarikan cukai rokok di tahun 2021 mendatang.
(Baca Juga: Simplifikasi Cukai Rokok Jalan Panjang Menuju Perubahan )
Simplifikasi Penarikan cukai dan upaya Kenaikan Cukai rokok kembali di tahun 2021 mendatang dinilai akan menambah beban penderitaan masyarakat petani tembakau yang sebagian besar hidup di pedesaan. Padahal saat ini akibat wabah Covid 19, perekonomian masyarakat termasuk masyarakat petani tembakau di pedesaaan semakin terpuruk.
“Sebagian besar masyarakat petani tembakau hidup di daerah pedesaaan. Dengan demikian, apabila kebijakan simplifikasi penarikan cukai akan memberatkan petani tembakau. Kami mendukung petani tembakau untuk berjuang menolak kebijakan simplifikasi cukai termasuk kenaikan cukai rokok,” papar Wakil Menteri Desa PDTT Budi Arie Stiadi.
Lebih lanjut Ia menerangkan, jika masyarakat petani tembakau sejahtera, tentu desa tempat perkebunan tembakau dan masyarakat petani nya tinggal, ekonominya akan maju dan sejahtera juga. Paparan tersebut, disampaikan olehnya kepada pengurus APTI di ruang kerjanya. Hadir dalam pertemuan tersebut,antara lain Ketua APTI Jawa Barat Suryana, Ketua APTI Sumedang Jawa Barat Sutarja, Ketua APTI Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahmihuddin dan pengurus APTI NTB Samsurizal.
Pada kesempatan tersebut, Ketua APTI Nusa Tenggara Barat Sahmihudin menyampaikan, masyarakat petani tembakau menolak beragam upaya Simplifikasi Cukai, karena hal tersebut akan mematikan perusahaan atau pabrik rokok menengah dan kecil di tanah air. Jika perusahaan rokok menengah dan kecil banyak berguguran, penjualan tembakau yang dihasilkan masyarakat petani tembakau di Indonesia akan menyusut.
Jika penjualan tembakau dari perkebunan tembakau nasional menyusut, otomatis akan menyengsarakan dan membahayakan kehidupan ekonomi para petani tembakau. Menurutnya, Rencana Simplifikasi Penarikan Cukai Rokok itu hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar.
“Dan akan mematikan atau membunuh perusahaan - perusahaan rokok menengah dan kecil nasional. Karena pembayaran cukai perusahaan rokok kecil dipaksa masuk ke golongan yang lebih besar. Yang semula perusahaan rokok itu bayar cukai rokok di golongan IV, misalnya, kalau disimplifikasikan, menjadi tiga golongan. Dan ini bayar cukainya jadi lebih mahal,” papar Sahmihudin.
Sambung Sahmihudin menjelaskan, jika Simplifikasi penarikan cukai dilaksanakan, pemerintah juga akan mengalami kerugian. Sebab jika banyak perusahaan rokok kelas menengah dan kecil berguguran, jumlah cukai rokok yang ditarik pemerintah juga menjadi kecil. Jika perusahaan rokok menengah dan kecil nasional berguguran, yang tersisa tinggal satu atau dua perusahaan rokok besar.
(Baca Juga: Perang Opini Tak Berkesudahan Soal Simplifikasi Cukai Rokok )
Akan terjadi monopoli baik dibidang produksi maupun penjualan rokok. Pasar ditentukan oleh produen rokok besar tersebut. Harga tembakau petani juga dimainkan oleh mereka. Hal ini bertentangan dengan undang-undang anti persaingan usaha tidak sehat. Dimana pada akhirnya akan merugikan bangsa Indonesia.
“Kami berharap pemerintah menolak desakan dari satu perusahaan rokok besar asing terutama dari Amerika yang meminta segera dilaksanakan Simplifikasi penarikan cukai. Pemerintah harus melindungi kepentingan petani tembakau juga industri rokok nasional,” tegas Sahmihudin.
Ditambahkan Sahmihudin, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok sebesar 23 persen yang dituangkan lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152 tahun 2019 dan mulai berlaku pada April 2020 dampaknya masih sangat dirasakan oleh petani tembakau. Penjualan tembakau dari para petani ke industri rokok menurun drastis di tahun 2020 ini.
Hal ini karena industri rokok juga mengurangi pembelian tembakau dari para petani. Pembelian tembakau ke petani turun, karena produksi rokoknya juga turun. Produksi rokok turun, karena penjualan rokoknya menurun drastis karena harganya menjadi tinggi akibat kenaikan cukai yang sangat tinggi.
“Kalau pemerintah memberlakukan Simplifikasi Penarikan Cukai di tahun 2021 ditambah lagi dengan kembali menaikan cukai rokok, sudah dapat dibayangkan, pembelian tembakau dari para petani tembakau akan semakin menyusut. Jika pembelian tembakau kepada para petani menyusut, penderitaan petani akan semakin besar. Harga jual produk tembakau yang dihasilkan para petani menjadi lebiah murah dibandingkan biaya produksinya. Petani tembakau tidak punya penghasilan lain selain berkebun tembakau,” papar Sahimudin.
Sahimudin juga menerangkan, jika kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok setiap tahun dan melakukan perubahan penarikan cukai atau simplifikasi dalam rangka mengurangi jumlah perokok di masyarakat, itu tidak tepat. Sebab, masyarakat perokok sulit dihentikan kebiasaan dan hobi merokoknya lewat kenaikan tarif cukai atau harga jual rokok.
“Sebaliknya, jumlah perokok juga tidak berkurang. Bahkan, jika masyarakat mengkonsumsi rokok illegal atau rokok murah yang tidak bercukai, pemerintah menjadi sulit mengkontrol, berapa jumlah perokok aktif. Dengan demikian, jika ada yang bilang, kebijakan menaikan cukai rokok atau melakukan simplifikasi penarikan cukai rokok adalah untuk mengurangi jumlah perokok tidak sepat. Atau salah sasaran.” Papar Ketua APTI Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pada kesempatan yang sama, Ketua APTI Jawa Barat, Suryana juga menyampaikan kepada Wamen Desa PDTT, agar memberitahukan keluh kesah ini kepada Presiden maupun Menteri Keuangan, jika ingin membuat kebijakan atau merubah kebijakan yang berkaitan dengan industri hasil tembakau, sebelum kebijakan itu dibuat dan diterapkan, melibatkan atau meminta masukan dari para petani tembakau dan industri hasil tembakau nasional. Bukan diputuskan sendiri.
Gandeng GAPPRI dan GAPRINDO
Wakil Menteri Desa PDTT Budi Arie Stiadi yang dikenal dekat dengan Presiden Joko Widodo, berjanji akan menyampaikan segala masukan, pandangan dan keluhan masyarakat petani tembakau tersebut baik ke Presiden Jokowi maupun ke Menteri Keuangan. Namun demikian, menurut Alumni Jurusan Komunikasi FISIP UI ini, keinginan Petani Tembakau agar Simplifikasi dan kenaikan cukai tidak dilakukan di tahun 2021 bukan merupakan pekerjaan sederhana.
Melainkan pekerjaan yang rumit. Karena itu Budi Arie meminta, pihak APTI bergandengan tangan dengan organisasi pabrik rokok seperti GAPPRI dan GAPRINDO untuk sama sama menyampaikan keberatannya tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
“Saya juga akan sampaikan ke Presiden masukan masukan ini. Namun gerakan ini harus merupakan gerakan lobby. Karena itu, APTI harus berjuang bersama, maju dengan GAPPRI dan GAPRINDO ke DPR RI," ungkapnya.
"Melobby DPR RI agar bisa menyampaikan pandangan masyarakat industri hasil tembakau ke pemerintah. Sampaikan ke DPR RI. Agar nanti, DPR RI juga ikut mengusulkan perubahan kebijakan baik soal simplifikasi maupun kenaikan cukai rokok ke Menteri Keuangan. APTI jangan berjuang sendiri. Harus melibatkan organisasi industri rokok yang tergabung dalam GAPPRI, dan GAPRINDO,” tegas Wamen yang juga ketua umum organisasi massa Projo
(Baca Juga: Simplifikasi Cukai Rokok Jalan Panjang Menuju Perubahan )
Simplifikasi Penarikan cukai dan upaya Kenaikan Cukai rokok kembali di tahun 2021 mendatang dinilai akan menambah beban penderitaan masyarakat petani tembakau yang sebagian besar hidup di pedesaan. Padahal saat ini akibat wabah Covid 19, perekonomian masyarakat termasuk masyarakat petani tembakau di pedesaaan semakin terpuruk.
“Sebagian besar masyarakat petani tembakau hidup di daerah pedesaaan. Dengan demikian, apabila kebijakan simplifikasi penarikan cukai akan memberatkan petani tembakau. Kami mendukung petani tembakau untuk berjuang menolak kebijakan simplifikasi cukai termasuk kenaikan cukai rokok,” papar Wakil Menteri Desa PDTT Budi Arie Stiadi.
Lebih lanjut Ia menerangkan, jika masyarakat petani tembakau sejahtera, tentu desa tempat perkebunan tembakau dan masyarakat petani nya tinggal, ekonominya akan maju dan sejahtera juga. Paparan tersebut, disampaikan olehnya kepada pengurus APTI di ruang kerjanya. Hadir dalam pertemuan tersebut,antara lain Ketua APTI Jawa Barat Suryana, Ketua APTI Sumedang Jawa Barat Sutarja, Ketua APTI Nusa Tenggara Barat (NTB) Sahmihuddin dan pengurus APTI NTB Samsurizal.
Pada kesempatan tersebut, Ketua APTI Nusa Tenggara Barat Sahmihudin menyampaikan, masyarakat petani tembakau menolak beragam upaya Simplifikasi Cukai, karena hal tersebut akan mematikan perusahaan atau pabrik rokok menengah dan kecil di tanah air. Jika perusahaan rokok menengah dan kecil banyak berguguran, penjualan tembakau yang dihasilkan masyarakat petani tembakau di Indonesia akan menyusut.
Jika penjualan tembakau dari perkebunan tembakau nasional menyusut, otomatis akan menyengsarakan dan membahayakan kehidupan ekonomi para petani tembakau. Menurutnya, Rencana Simplifikasi Penarikan Cukai Rokok itu hanya akan menguntungkan satu perusahaan rokok besar.
“Dan akan mematikan atau membunuh perusahaan - perusahaan rokok menengah dan kecil nasional. Karena pembayaran cukai perusahaan rokok kecil dipaksa masuk ke golongan yang lebih besar. Yang semula perusahaan rokok itu bayar cukai rokok di golongan IV, misalnya, kalau disimplifikasikan, menjadi tiga golongan. Dan ini bayar cukainya jadi lebih mahal,” papar Sahmihudin.
Sambung Sahmihudin menjelaskan, jika Simplifikasi penarikan cukai dilaksanakan, pemerintah juga akan mengalami kerugian. Sebab jika banyak perusahaan rokok kelas menengah dan kecil berguguran, jumlah cukai rokok yang ditarik pemerintah juga menjadi kecil. Jika perusahaan rokok menengah dan kecil nasional berguguran, yang tersisa tinggal satu atau dua perusahaan rokok besar.
(Baca Juga: Perang Opini Tak Berkesudahan Soal Simplifikasi Cukai Rokok )
Akan terjadi monopoli baik dibidang produksi maupun penjualan rokok. Pasar ditentukan oleh produen rokok besar tersebut. Harga tembakau petani juga dimainkan oleh mereka. Hal ini bertentangan dengan undang-undang anti persaingan usaha tidak sehat. Dimana pada akhirnya akan merugikan bangsa Indonesia.
“Kami berharap pemerintah menolak desakan dari satu perusahaan rokok besar asing terutama dari Amerika yang meminta segera dilaksanakan Simplifikasi penarikan cukai. Pemerintah harus melindungi kepentingan petani tembakau juga industri rokok nasional,” tegas Sahmihudin.
Ditambahkan Sahmihudin, kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok sebesar 23 persen yang dituangkan lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 152 tahun 2019 dan mulai berlaku pada April 2020 dampaknya masih sangat dirasakan oleh petani tembakau. Penjualan tembakau dari para petani ke industri rokok menurun drastis di tahun 2020 ini.
Hal ini karena industri rokok juga mengurangi pembelian tembakau dari para petani. Pembelian tembakau ke petani turun, karena produksi rokoknya juga turun. Produksi rokok turun, karena penjualan rokoknya menurun drastis karena harganya menjadi tinggi akibat kenaikan cukai yang sangat tinggi.
“Kalau pemerintah memberlakukan Simplifikasi Penarikan Cukai di tahun 2021 ditambah lagi dengan kembali menaikan cukai rokok, sudah dapat dibayangkan, pembelian tembakau dari para petani tembakau akan semakin menyusut. Jika pembelian tembakau kepada para petani menyusut, penderitaan petani akan semakin besar. Harga jual produk tembakau yang dihasilkan para petani menjadi lebiah murah dibandingkan biaya produksinya. Petani tembakau tidak punya penghasilan lain selain berkebun tembakau,” papar Sahimudin.
Sahimudin juga menerangkan, jika kebijakan pemerintah menaikan cukai rokok setiap tahun dan melakukan perubahan penarikan cukai atau simplifikasi dalam rangka mengurangi jumlah perokok di masyarakat, itu tidak tepat. Sebab, masyarakat perokok sulit dihentikan kebiasaan dan hobi merokoknya lewat kenaikan tarif cukai atau harga jual rokok.
“Sebaliknya, jumlah perokok juga tidak berkurang. Bahkan, jika masyarakat mengkonsumsi rokok illegal atau rokok murah yang tidak bercukai, pemerintah menjadi sulit mengkontrol, berapa jumlah perokok aktif. Dengan demikian, jika ada yang bilang, kebijakan menaikan cukai rokok atau melakukan simplifikasi penarikan cukai rokok adalah untuk mengurangi jumlah perokok tidak sepat. Atau salah sasaran.” Papar Ketua APTI Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Pada kesempatan yang sama, Ketua APTI Jawa Barat, Suryana juga menyampaikan kepada Wamen Desa PDTT, agar memberitahukan keluh kesah ini kepada Presiden maupun Menteri Keuangan, jika ingin membuat kebijakan atau merubah kebijakan yang berkaitan dengan industri hasil tembakau, sebelum kebijakan itu dibuat dan diterapkan, melibatkan atau meminta masukan dari para petani tembakau dan industri hasil tembakau nasional. Bukan diputuskan sendiri.
Gandeng GAPPRI dan GAPRINDO
Wakil Menteri Desa PDTT Budi Arie Stiadi yang dikenal dekat dengan Presiden Joko Widodo, berjanji akan menyampaikan segala masukan, pandangan dan keluhan masyarakat petani tembakau tersebut baik ke Presiden Jokowi maupun ke Menteri Keuangan. Namun demikian, menurut Alumni Jurusan Komunikasi FISIP UI ini, keinginan Petani Tembakau agar Simplifikasi dan kenaikan cukai tidak dilakukan di tahun 2021 bukan merupakan pekerjaan sederhana.
Melainkan pekerjaan yang rumit. Karena itu Budi Arie meminta, pihak APTI bergandengan tangan dengan organisasi pabrik rokok seperti GAPPRI dan GAPRINDO untuk sama sama menyampaikan keberatannya tersebut ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI).
“Saya juga akan sampaikan ke Presiden masukan masukan ini. Namun gerakan ini harus merupakan gerakan lobby. Karena itu, APTI harus berjuang bersama, maju dengan GAPPRI dan GAPRINDO ke DPR RI," ungkapnya.
"Melobby DPR RI agar bisa menyampaikan pandangan masyarakat industri hasil tembakau ke pemerintah. Sampaikan ke DPR RI. Agar nanti, DPR RI juga ikut mengusulkan perubahan kebijakan baik soal simplifikasi maupun kenaikan cukai rokok ke Menteri Keuangan. APTI jangan berjuang sendiri. Harus melibatkan organisasi industri rokok yang tergabung dalam GAPPRI, dan GAPRINDO,” tegas Wamen yang juga ketua umum organisasi massa Projo
(akr)