Kebiasaan Baru Tak Efektif Dorong Daya Beli
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penerapan new normal atau kebiasaan baru untuk mendukung aktivitas ekonomi ternyata tidak efektif mendorong daya beli masyarakat. Bahkan, kasus penularan Covid-19 makin merajalela dengan penambahan lebih dari 3.000 kasus positif setiap hari.
Sejak kebiasaan baru diterapkan pada awal Juni, aktivitas ekonomi memang mulai bergeliat, tetapi pada sektor tertentu saja. Aktivitas yang terasa pada sektor perkantoran dan usaha kuliner. (Baca: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini Pada Anak)
Sementara aktivitas ekonomi lainnya terlihat masih stagnan, Hal ini dibuktikan dengan dua kali berturut-turut terjadi deflasi pada bulan Juli dan Agustus 2020. Upaya pemerintah untuk menggenjot kredit melalui penempatan dana di perbankan juga belum terasa dampaknya. Apalagi, faktor permintaan barang yang mendorong terciptanya produksi masih sangat rendah.
Melihat kondisi tersebut wajar jika Presiden Jokowi akhirnya menilai kesehatan lebih penting dibandingkan aktivitas ekonomi. Pasalnya, jika wabah Covid-19 tidak juga menunjukkan angka penurunan, pemulihan ekonomi akan bergerak lamban.
Bahkan, seperti yang terjadi dalam beberapa hari ini, adanya capital outflow dari pasar keuangan. Hal ini menunjukkan kekhawatiran investor akan tingginya kasus Covid-19 di Indonesia. (Baca juga: Pandemi, UI Tetap Berlakukan PJJ Pada Tahun Ajaran Baru)
Hasilnya, pada perdagangan saham kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 1,81% ke level 5.149. Padahal, pada awal September lalu IHSG masih bertengger di level 5.310.
Berbagai kondisi itu membuat Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mendukung keputusan Kepala Negara yang mengutamakan kesehatan warganya di atas kepentingan ekonomi. Sebab, bila wabah itu tak juga menurun, pemulihan ekonomi pun akan tetap bergerak lamban. "Kami dukung upaya pemerintah menurunkan kasus baru Covid-19 di Indonesia," kata Sarman.
Menurut dia, kini geliat dunia usaha belum menunjukkan adanya perbaikan. Pasalnya, menilik jumlah kasus yang terus meningkat membuat aktivitas tetap terbatas. "Saat ini aktivitas ekonomi mulai berjalan, tapi masih terlihat lesu," ujarnya.
Dia menyebut dampak tingginya kasus baru Covid-19 di Indonesia membuat daya beli menurun dan para investor takut untuk menanamkan modalnya. (Baca juga: Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer)
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan, saat ini akses informasi sangat mudah sehingga orang semakin paham tingkat penyebaran Covid-19 dan kasus kematiannya juga masih tinggi. Covid-19 saat ini masih menjadi ancaman sehingga persepsi masyarakat kondisi masih belum aman dan menghambat aktivitas ekonomi. Bahkan data BI menunjukkan keyakinan konsumen dalam enam bulan negatif.
"Meskipun ada pergerakan di bulan Agustus, tapi umumnya indeks keyakinan menunjukkan arah pesimis," ujar Tauhid di Jakarta.
Dia menilai, relasi kasus Covid-19 yang relatif tinggi membuat ketidaknyamanan di kelompok ekonomi menengah atas. Dampak langsungnya adalah nafsu belanja atau permintaan menjadi rendah. Walaupun pemerintah sudah berusaha keras memberi stimulus, tapi hanya habis tidak bersisa karena nilai bantuan yang kecil. Menurutnya, untuk menggerakkan permintaan masyarakat berarti butuh prasyarat minimal sekitar 55-60% kebutuhan pokok sudah terpenuhi.
"Sementara dari bantuan pemerintah hanya mampu menutupi 30% saja. Ini karena cakupan penerimanya yang disasar melebar sementara kemampuan pemerintah terbatas," katanya. (Baca juga: Jokowi Minta Semua Pihak Merancang Ulang Pembinaan Atlet)
Menurut dia, kejadian sama juga berlaku untuk sektor UMKM yang diberikan bantuan insentif. Ternyata hanya cukup mengurangi bebannya, namun tidak cukup menjadi stimulus modal kerja atau investasi. Ujungnya hanya jadi konsumsi juga.
Sementara pada saat yang sama permintaan pasar belum bergerak. "Dari sisi kredit perbankan juga masih minim tumbuhnya. Karena bank hanya sekadar mengikuti pergerakan ekonomi saja," katanya.
Dia menilai dalam penanganan Covid-19 oleh pemerintah juga belum terkesan serius meskipun arahnya sudah benar. Namun, masalah utama adalah pada praktiknya yang tidak kuat di lapangan. Buktinya pada penyerapan anggaran masih rendah, skala tes Covid-19 juga terbatas untuk 8.000 orang, dan juga aktivitas tracing.
Secara jumlah kapasitas rumah sakit yang terus mengecil, kata Tauhid, juga semakin berbahaya. Karena perawatan di rumah sakit sangat dibutuhkan, bukan sekadar isolasi mandiri. Pada akhirnya, penyebaran dari kluster keluarga semakin berbahaya karena pasien yang harusnya dirawat di rumah sakit terpaksa menjalani perawatan rumah. (Lihat videonya: Limbah Medis Rumah Sakit Mencemari Sungai Cisadane)
"Pemerintah harus melakukan sesuatu yang radikal dalam bidang kesehatan. Karena masyarakat saat ini tidak percaya pada keseriusan pemerintah," ujarnya. (Fadel Prayoga/Hafid Fuad/Rakhmat Baihaqi)
Sejak kebiasaan baru diterapkan pada awal Juni, aktivitas ekonomi memang mulai bergeliat, tetapi pada sektor tertentu saja. Aktivitas yang terasa pada sektor perkantoran dan usaha kuliner. (Baca: Mengenalkan Ketauhidan Sejak Dini Pada Anak)
Sementara aktivitas ekonomi lainnya terlihat masih stagnan, Hal ini dibuktikan dengan dua kali berturut-turut terjadi deflasi pada bulan Juli dan Agustus 2020. Upaya pemerintah untuk menggenjot kredit melalui penempatan dana di perbankan juga belum terasa dampaknya. Apalagi, faktor permintaan barang yang mendorong terciptanya produksi masih sangat rendah.
Melihat kondisi tersebut wajar jika Presiden Jokowi akhirnya menilai kesehatan lebih penting dibandingkan aktivitas ekonomi. Pasalnya, jika wabah Covid-19 tidak juga menunjukkan angka penurunan, pemulihan ekonomi akan bergerak lamban.
Bahkan, seperti yang terjadi dalam beberapa hari ini, adanya capital outflow dari pasar keuangan. Hal ini menunjukkan kekhawatiran investor akan tingginya kasus Covid-19 di Indonesia. (Baca juga: Pandemi, UI Tetap Berlakukan PJJ Pada Tahun Ajaran Baru)
Hasilnya, pada perdagangan saham kemarin, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 1,81% ke level 5.149. Padahal, pada awal September lalu IHSG masih bertengger di level 5.310.
Berbagai kondisi itu membuat Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang mendukung keputusan Kepala Negara yang mengutamakan kesehatan warganya di atas kepentingan ekonomi. Sebab, bila wabah itu tak juga menurun, pemulihan ekonomi pun akan tetap bergerak lamban. "Kami dukung upaya pemerintah menurunkan kasus baru Covid-19 di Indonesia," kata Sarman.
Menurut dia, kini geliat dunia usaha belum menunjukkan adanya perbaikan. Pasalnya, menilik jumlah kasus yang terus meningkat membuat aktivitas tetap terbatas. "Saat ini aktivitas ekonomi mulai berjalan, tapi masih terlihat lesu," ujarnya.
Dia menyebut dampak tingginya kasus baru Covid-19 di Indonesia membuat daya beli menurun dan para investor takut untuk menanamkan modalnya. (Baca juga: Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer)
Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengatakan, saat ini akses informasi sangat mudah sehingga orang semakin paham tingkat penyebaran Covid-19 dan kasus kematiannya juga masih tinggi. Covid-19 saat ini masih menjadi ancaman sehingga persepsi masyarakat kondisi masih belum aman dan menghambat aktivitas ekonomi. Bahkan data BI menunjukkan keyakinan konsumen dalam enam bulan negatif.
"Meskipun ada pergerakan di bulan Agustus, tapi umumnya indeks keyakinan menunjukkan arah pesimis," ujar Tauhid di Jakarta.
Dia menilai, relasi kasus Covid-19 yang relatif tinggi membuat ketidaknyamanan di kelompok ekonomi menengah atas. Dampak langsungnya adalah nafsu belanja atau permintaan menjadi rendah. Walaupun pemerintah sudah berusaha keras memberi stimulus, tapi hanya habis tidak bersisa karena nilai bantuan yang kecil. Menurutnya, untuk menggerakkan permintaan masyarakat berarti butuh prasyarat minimal sekitar 55-60% kebutuhan pokok sudah terpenuhi.
"Sementara dari bantuan pemerintah hanya mampu menutupi 30% saja. Ini karena cakupan penerimanya yang disasar melebar sementara kemampuan pemerintah terbatas," katanya. (Baca juga: Jokowi Minta Semua Pihak Merancang Ulang Pembinaan Atlet)
Menurut dia, kejadian sama juga berlaku untuk sektor UMKM yang diberikan bantuan insentif. Ternyata hanya cukup mengurangi bebannya, namun tidak cukup menjadi stimulus modal kerja atau investasi. Ujungnya hanya jadi konsumsi juga.
Sementara pada saat yang sama permintaan pasar belum bergerak. "Dari sisi kredit perbankan juga masih minim tumbuhnya. Karena bank hanya sekadar mengikuti pergerakan ekonomi saja," katanya.
Dia menilai dalam penanganan Covid-19 oleh pemerintah juga belum terkesan serius meskipun arahnya sudah benar. Namun, masalah utama adalah pada praktiknya yang tidak kuat di lapangan. Buktinya pada penyerapan anggaran masih rendah, skala tes Covid-19 juga terbatas untuk 8.000 orang, dan juga aktivitas tracing.
Secara jumlah kapasitas rumah sakit yang terus mengecil, kata Tauhid, juga semakin berbahaya. Karena perawatan di rumah sakit sangat dibutuhkan, bukan sekadar isolasi mandiri. Pada akhirnya, penyebaran dari kluster keluarga semakin berbahaya karena pasien yang harusnya dirawat di rumah sakit terpaksa menjalani perawatan rumah. (Lihat videonya: Limbah Medis Rumah Sakit Mencemari Sungai Cisadane)
"Pemerintah harus melakukan sesuatu yang radikal dalam bidang kesehatan. Karena masyarakat saat ini tidak percaya pada keseriusan pemerintah," ujarnya. (Fadel Prayoga/Hafid Fuad/Rakhmat Baihaqi)
(ysw)