Bu Sri Mulyani, Butuh Debt Collector Gak buat Nagih Utang Rp358,5 Triliun?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara mencatat jumlah bruto piutang negara sebesar Rp358,5 triliun dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2019.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain, Lukman Effendi dalam telekonfrensi hari ini. Pihaknya pun terus berusaha untuk menagih utang tersebut kepada para debitur. ( Baca juga:Tak Gentar dengan Resesi, Ini Industri Produk Buah-buahan Gitu Loh )
"Utang itu terdiri dari piutang lancar atau yang diharapkan akan dibayar dalam waktu kurang dari 12 bulan sebesar Rp297,9 triliun. Kemudian piutang jangka panjang atau yang dijadwalkan baru diterima dalam jangka waktu lebih dari 12 bulan sebesar Rp60,6 triliun," ujar dia, Jumat (2/10/2020).
Kemudian, lanjut dia, piutang itu muncul dari pajak maupun non-pajak dan piutang lain-lain. piutang bukan pajak biasanya timbul dari kegiatan operasional kementerian/lembaga (K/L) itu sendiri.
"Seperti piutang royalti, sudah diberikan izin oleh K/L tapi belum bayar kewajiban. Lalu piutang pendapatan penggunaan kawasan hutan, atau mereka harus bayar sesuatu pada negara sesuai yang ada di K/L teknisnya. Maka itu jumlah bruto Rp297,9 triliun ditambah Rp 60,6 triliun," ungkap dia. ( Baca juga:Inggris Dorong Semua Negara Punya Akses pada Vaksin Covid-19 )
Dia juga menjelaskan, piutang itu berada dalam kewenangan K/L terkait sebelum diserahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Nah piutang yang diserahkan ke PUPN ini adalah piutang yang sudah macet.
"Tapi penyerahannya diperlukan dokumen lengkap meliputi besaran piutang, orang yang berutang, dan alamat debitur. Pasalnya PUPN bakal melakukan penagihan secara optimal hingga melakukan berbagai cara yang telah ditetapkan UU," tandas dia.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Piutang Negara dan Kekayaan Negara Lain-lain, Lukman Effendi dalam telekonfrensi hari ini. Pihaknya pun terus berusaha untuk menagih utang tersebut kepada para debitur. ( Baca juga:Tak Gentar dengan Resesi, Ini Industri Produk Buah-buahan Gitu Loh )
"Utang itu terdiri dari piutang lancar atau yang diharapkan akan dibayar dalam waktu kurang dari 12 bulan sebesar Rp297,9 triliun. Kemudian piutang jangka panjang atau yang dijadwalkan baru diterima dalam jangka waktu lebih dari 12 bulan sebesar Rp60,6 triliun," ujar dia, Jumat (2/10/2020).
Kemudian, lanjut dia, piutang itu muncul dari pajak maupun non-pajak dan piutang lain-lain. piutang bukan pajak biasanya timbul dari kegiatan operasional kementerian/lembaga (K/L) itu sendiri.
"Seperti piutang royalti, sudah diberikan izin oleh K/L tapi belum bayar kewajiban. Lalu piutang pendapatan penggunaan kawasan hutan, atau mereka harus bayar sesuatu pada negara sesuai yang ada di K/L teknisnya. Maka itu jumlah bruto Rp297,9 triliun ditambah Rp 60,6 triliun," ungkap dia. ( Baca juga:Inggris Dorong Semua Negara Punya Akses pada Vaksin Covid-19 )
Dia juga menjelaskan, piutang itu berada dalam kewenangan K/L terkait sebelum diserahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Nah piutang yang diserahkan ke PUPN ini adalah piutang yang sudah macet.
"Tapi penyerahannya diperlukan dokumen lengkap meliputi besaran piutang, orang yang berutang, dan alamat debitur. Pasalnya PUPN bakal melakukan penagihan secara optimal hingga melakukan berbagai cara yang telah ditetapkan UU," tandas dia.
(uka)