Pengusaha Keluhkan Banyak Regulasi yang Tumpang Tindih

Senin, 05 Oktober 2020 - 08:35 WIB
loading...
Pengusaha Keluhkan Banyak...
Ilustrasi industri tekstil. Foto/dok
A A A
JAKARTA - Sejumlah asosiasi usaha yang tergabung dalam Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha Jawa Timur menilai banyak regulasi pemerintah yang tumpang tindih dan tidak realistis sehingga menyulitkan produk Indonesia bersaing di pasar global.

“Regulasi yang ada sudah terlalu banyak, tumpang tindih antara pusat dan daerah, semua berorientasi biaya, makan waktu, dan menyulitkan pengusaha,” ujar CEO PT Insera Sena Soekanto Widjaja dalam dialognya dengan Wakil Ketua DPR Rachmat Gobel di Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (3/10/2020). (Baca: Amalan yang Dapat mempercepat Datangnya Rezeki)

Dalam keterangan tertulisnya, mereka meminta agar pemerintah fokus memperbaiki birokrasi agar aturan berjalan efektif dan efisien. “Kalau belum bisa membantu, sebaiknya pemerintah tidak mengganggu pelaku dunia usaha dengan regulasi yang memberatkan,” ujar Soekanto.

Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia meminta pemerintah agar membenahi berbagai aturan yang memberatkan sektor industri, seperti aturan impor bahan baku penolong, biaya sistem verifikasi legalitas kayu yang tinggi, serta rencana impor kayu bulat (log). Berbagai masalah ini telah menimbulkan biaya tinggi dan ketidakpastian usaha bagi industri mebel dan kerajinan.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jatim Sherina Kawilarang mengharapkan pemerintah melakukan relaksasi tarif listrik PLN atau diskon tarif listrik untuk industri agar cash flow bisa terbantu dan bisa bertahan. Jika tidak, pelaku industri TPT akan semakin terpukul di era pandemi Covid-19 ini dan akan kian banyak karyawan terpaksa di-PHK. (Baca juga: Masa Pendaftaraan Beasiswa Unggulan Ditutup Hari Ini)

Sementara itu, Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jatim Winyoto Gunawan mengharapkan pemerintah agar menghapuskan kembali ketentuan karantina pada impor bahan baku kulit. Sebelumnya aturan karantina ini sudah dihapus, namun entah mengapa kembali diberlakukan melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 136/kpts/hk/150/m/02/2020 pada Februari lalu. Aturan ini di samping birokratis, juga sangat memberatkan, mengganggu kelancaran produksi, serta menambah biaya.

Ketua Himpunan Nelayan dan Pengusaha Perikanan (HNPP) Jatim Raymond mengeluhkan banyaknya pungutan seperti PNBP (penerimaan negara bukan pajak) oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan atas objek hasil tangkap ikan, perkiraan per kapal sekitar Rp100 juta. Ini harus dibayarkan sebelum kapal mendapat surat izin penangkapan ikan dan diperpanjang per tahun. (Baca juga: Jangan Pernah Malas Pakai Masker karena Ini Alasannya)

Anggota HNPP juga diwajibkan membayar pajak bumi dan bangunan (PBB laut), di mana setiap kapal yang beroperasi di kawasan laut tertentu dikenakan pajak atas nilai ikan yang ditangkap (NJOP) yang nilainya bisa mencapai Rp10 juta-Rp15 juta per tahun. Selain itu, pengusaha perikanan juga dikenakan retribusi lelang atas objek hasil tangkap ikan yang dipungut melalui dinas pemerintah daerah, pajak PPH 22 sebesar 0,50%.

Rachmat Gobel merespons positif berbagai masukan tersebut. Ia meminta semua anggota DPR yang hadir bersamanya menjadikan sebagai agenda materi bahasan dengan kementerian terkait dalam rapat komisi.

Dia berjanji dalam pekan ini akan membahas masalah-masalah tersebut dengan pihak terkait. Pihaknya ingin semua pihak berada pada semangat seperti keinginan presiden mengambil momentum untuk kebangkitan baru ekonomi dan industri nasional. (Lihat videonya: Lawan Covid-19, Pakai Masker Berfiltrasi Baik)

“Kita jangan jalan sendiri-sendiri. Kita harus sinergi menyelamatkan perekonomian nasional untuk keluar dari kontraksi yang lebih dalam,” katanya. (Sudarsono)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1332 seconds (0.1#10.140)