Tiga Informasi Menyesatkan Soal UU Cipta Kerja, Apa Saja?

Selasa, 06 Oktober 2020 - 18:45 WIB
loading...
Tiga Informasi Menyesatkan...
Ada sebaran informasi menyesatkan dalam UU Cipta kerja yang baru saja disahkan oleh DPR, dimana salah satunya kabar yang menyatakan uang pesangon korban PHK dihilangkan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law atau Cipta Kerja sudah diketuk atau disahkan DPR menjadi Undang-Undang (UU) Ciptaker pada 5 Oktober 2020 kemarin. Meski begitu, banyak kalangan yang menilai bahwa UU tersebut tidak berpihak kepada buruh dan masyarakat.

Di media sosial, banyak netizen menghujat dan menyuarakan kekecewaannya. Mereka berkomentar jika UU Omnibus Law mencabut hak buruh, memperparah keadaan buruh, menyengsarakan buruh dan hanya memperkaya pengusaha.

(Baca Juga: Bagaimana Nasib Pegawai Kontrak di UU Cipta Kerja, Nih Pasalnya )

Bahkan, sebaran informasi baik berbentuk narasi dan Infografik di grup WhatsApp (WA) sulit dibendung. Banyak informasi yang berpotensi menyesatkan pikiran orang karena kebenarannya perlu diverifikasi. Karena itu, iNews.id merangkum tiga poin-poin informasi yang isinya tidak sesuai dengan UU Cipta Kerja.

Pertama, Hoax Uang Pesangon Dihilangkan

UU Cipta Kerja dianggap menghilangkan uang pesangon para pekerja. Namun ternyata kabar ini adalah hoax. Dalam ketentuan Pasal 156 Ayat (I) UU Cipta Kerja yang telah direvisi menyebutkan, dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

"Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai, jika masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah, masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah, masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah, masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah," tulis Pasal 156 dalam beleid tersebut, dikutip Selasa (6/10/2020).

Sambungannya, masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah, masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah, masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah, masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah, masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.

(Baca Juga: Nih Hitung-hitungan Pesangon Korban PHK dalam UU Cipta Kerja, Catat! )

Sementara itu, uang penghargaan masa kerja diberikan paling banyak sesuai ketentuan sebagai berikut, masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah, masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah, masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah, masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah, hingga masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.

Sementara uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi, cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya atau ongkos pulang untuk pekerja atau buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja. Ditambah serta hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Kedua, Hoax UMP, UMK, UMSP Dihapus

Beredar sebuah Infografik yang mencatutkan nama sebuah media online nasional. Dalam Infografik tersebut dijelaskan bahwa Upah Minimum Provinsi (UMP), Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP), dan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dalam Cipta Kerja dihilangkan.

Namun, informasi tersebut ternyata tidak benar. Sesuai Pasal 88C beleid tersebut dijelaskan jika, Gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. Kondisi ekonomi yang dimaksud adalah meliputi pertumbuhan ekonomi daerah dan inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. Bahkan, upah minimum kabupaten/kota harus lebih tinggi dari upah minimum provinsi.

Ketiga, Hoax Perusahaan Bisa PHK Karyawan Kapanpun

Dalam UU Cipta Kerja, perusahaan dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), kepada pekerja atau buruh dengan alasan berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 bulan secara terus-menerus.

Berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, menjalankan ibadah, menikah, hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya. Bahkan, adanya larangan pemecatan kepada karyawan yang mempunyai pertalian darah atau ikatan perkawinan dengan pekerja lainnya di dalam perusahaan yang sama.

"Mendirikan, menjadi anggota dan pengurus serikat pekerja atau serikat buruh, melakukan kegiatan serikat pekerja di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama," tulis Pasal 153.

Perusahan juga dilarang memecat karyawan jika mengadukan pengusaha kepada pihak yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan. Atau, berbeda paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan.

Selain itu, karyawan yang dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan tidak bisa diputuskan pekerjaannya.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1166 seconds (0.1#10.140)