Omnibus Law Diharap Mampu Genjot Pendapatan Pajak Digital

Selasa, 13 Oktober 2020 - 09:15 WIB
loading...
Omnibus Law Diharap Mampu Genjot Pendapatan Pajak Digital
UU Cipta Kerja diharapkan bisa mempermudah langkah pemerintah dalam menggenjot pendapatan pajak digital yang saat ini masih minim. Foto/dok
A A A
JAKARTA - Undang-Undang (UU) Omnibus Law (Cipta Kerja) yang baru disahkan DPR, diharapkan bisa mempermudah langkah pemerintah dalam menggenjot pendapatan pajak digital yang saat ini masih minim.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, salah satu poin reformasi regulasi dalam UU tersebut adalah klaster perpajakan; dan melalui klaster tersebut, pemerintah ingin sektor yang belum optimal dalam pembayaran pajaknya seperti sektor digital bakal digenjot. (Baca: Nasihat indah Aa Gym: Jangan Mempersulit Diri!)

“Bagaimana kita mulai memajaki sektor yang selama ini belum dipajaki selain sektoral. Sebelum masuk ke situ, ada semacam sektor yang selama ini makin tidak terpajaki itu adalah sektor digital,” kata Febrio dalam video virtual di Jakarta kemarin.

Menurut dia, saat ini konsumen sektor digital semakin tumbuh dan berkembang, terutama pada konsumen untuk sektor milenial. Jika tidak dikenakan pajak, semakin sedikit penerimaan pajak untuk negara.

“Di situlah pentingnya pengenalan pajak digital yang sudah dikenalkan Kemenkeu, adalah PMSE (perdagangan melalui sistem elektronik). Nah, ini kita harapkan juga mulai. Karena teman-teman milenial konsumsinya mengarah ke digital. Kalau semuanya ke sana, semakin sedikit penerimaan perpajakan kita kalau itu tidak dipajaki,” paparnya.

Pengamat ekonomi Piter Abdullah menjelaskan, ide besar dari UU Cipta Kerja adalah mempermudah investasi termasuk di sektor digital yang diyakini akan menjadi arah dunia usaha ke depan. “Oleh karena itu, dengan adanya UU Cipta Kerja diharapkan sektor digital akan mengalami perkembangan yang sangat pesat nantinya,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta kemarin.

Menurutnya, dengan perkembangan yang pesat tersebut, potensi pajak dari sektor ini akan jauh lebih besar. Apalagi jika diikuti dengan kepatuhan pembayaran pajak oleh wajib pajak. (Baca juga: PSBB Diperpanjang, Sekolah di Jakarta Belum Terapkan Tatap Muka)

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengungkapkan, UU Cipta Kerja bagian perpajakan yang telah disahkan sebenarnya hanya penguat dari UU No 2 Tahun 2020 yang sudah memasukkan beberapa hal termasuk pajak digital. Patut dilihat bahwa sektor digital sebagian besar merupakan pasar dengan bentuk two-sided market.

Sektor dengan pasar seperti ini mempunyai dua jenis konsumen, yaitu mitra dan konsumen. Kedua jenis konsumen ini saling terkait. Perubahan permintaan di konsumen akan memengaruhi permintaan dari mitra, begitu juga sebaliknya. “Nah, pemberian pajak di satu sisi bisa jadi akan memengaruhi permintaan konsumen dan pada akhirnya mitra juga akan berkurang,” ujar dia.

Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu mencatat setoran pajak pertambahan nilai (PPN) dari perusahaan luar negeri atas PMSE di dalam negeri seperti Netflix hingga Spotify, baru sebesar Rp97 miliar.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, terdapat enam perusahaan pada gelombang I yang sudah melakukan pungutan PPN mulai 1 Agustus lalu. Setoran tersebut dilaporkan kepada DJP pada September 2020.

“Enam entitas yang ditunjuk pada Juli, dan mulai melakukan pemungutan selama Agustus, sudah menyetor PPN yang dipungutnya secara keseluruhan sekitar Rp97 miliar,” kata Hestu akhir pekan lalu.

Keenam pelaku usaha yang menerima surat keterangan terdaftar dan nomor identitas perpajakan sebagai pemungut PPN pada gelombang I adalah Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte Ltd, Google Ireland Ltd, Google LLC, Netflix International BV, dan Spotify AB. (Baca juga: Tips Aman ke Dokter Gigi Selama Covid-19)

Saat ini total ada 36 perusahaan yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN sebesar 10% dari harga sebelum pajak. Namun, mereka ditunjuk dalam beberapa gelombang, sehingga setoran akan dilakukan pada bulan selanjutnya setelah penunjukan.

“Kami sangat mengapresiasi keenam PMSE tersebut atas kepatuhannya melaksanakan kewajiban pemungutan PPN tersebut. Kami optimistis entitas lain yang ditunjuk pada gelombang-gelombang berikutnya juga akan melaksanakan kewajiban itu dengan baik,” ungkapnya.

Pada gelombang II ada 10 perusahaan pemungut PPN di tahap II, yaitu Facebook Ireland Ltd, Facebook Payments International Ltd, Facebook Technologies International Ltd, Amazon.com Services LLC, Audible Inc, Alexa Internet, Audible Ltd, Apple Distribution International Ltd, Tiktok Pte Ltd, serta The Walt Disney Company (Southeast Asia) Pte Ltd.

Sedangkan di gelombang III, ada 12 perusahaan yang ditunjuk yakni LinkedIn Singapore Pte Ltd, McAfee Ireland Ltd, Microsoft Ireland Operations Ltd, Mojang AB, Novi Digital Entertainment Pte Ltd, PCCW Vuclip (Singapura) Pte Ltd, Skype Communications SARL, Twitter Asia Pacific Pte Ltd, Twitter International Company, Zoom Video Communications Inc, PT Jingdong Indonesia Pertama, dan PT Shopee International Indonesia. (Lihat video: Kelompok Geng Motor di Medan Terjaring Razia Polisi)

Terbaru, ada delapan perusahaan yang ditunjuk jadi pemungut PPN di gelombang IV. Mereka adalah Alibaba Cloud (Singapura) Pte Ltd, GitHub Inc, Microsoft Corporation, Microsoft Regional Sales Pte Ltd, UCWeb Singapore Pte Ltd, To The New Pte Ltd, Coda Payments Pte Ltd, dan Nexmo Inc. (Rina Anggraeni/Kunthi Fahmar Sandy)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1781 seconds (0.1#10.140)