Menakar Peluang dan Tantangan Industri Asuransi di Masa dan Pasca Pandemi

Rabu, 14 Oktober 2020 - 00:10 WIB
loading...
Menakar Peluang dan...
Berdasarkan data Global Makro Outlook dari Insurance Information Institute, pandemi covid-19 berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri asuransi. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Berdasarkan data Global Makro Outlook dari Insurance Information Institute, pandemi covid-19 berpotensi memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan industri asuransi , sehingga imbasnya diprediksikan dapat melewati semester II tahun 2020. Sehingga diperlukan penyesuaian strategi bisnis dari para pelaku usaha untuk tetap dapat bertahan di tengah kondisi saat ini.

Peluang dan tantangan yang dihadapi oleh para pelaku industri asuransi tersebut, dikupas dalam webinar yang diadakan oleh Gerakan Pakai Masker (GPM) yang berkolaborasi dengan Dewan Asuransi Indonesia (DAI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan tajuk “Adaptasi Industri Perasuransian Dalam Penyelamatan Ekonomi di Masa dan Pasca Pandemi Covid-19”. Saat ini, dalam rangka mendukung kegiatan berusaha, pemanfaatan teknologi informasi (TI) secara optimal menjadi sangat penting.

“Dengan pemanfaatan TI secara optimal, pelaku usaha dapat menjalankan operasi bisnisnya secara lebih efektif dan efisien. Selain itu, penggunaan TI juga memungkinkan pelaku usaha untuk tetap dapat berinteraksi secara langsung dengan konsumen, di tengah pembatasan interaksi sosial antar individu,” ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Merangkap Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Riswinandi.

(Baca Juga: Sri Mulyani Buka-bukaan Rendahnya Penetrasi Industri Asuransi Indonesia )

Adaptasi TI merupakan faktor penting untuk dapat bertahan dalam kondisi pandemi serta mengatisipasi trend perilaku konsumen yang berubah di masa yang akan datang. Mendukung kegiatan berbasis teknologi informasi, saat ini OJK tengah mempersiapkan dan merampungkan RP OJK terkait manajemen risiko teknologi informasi tersebut.

Sebagai regulator, OJK senantiasa mendorong industri asuransi untuk terus beradaptasi dengan perubahan ekosistem jasa keuangan, termasuk juga dengan inovasi pemasaran jasa keuangan. Namun, inovasi yang dilakukan harus tetap berpedoman pada prinsip kehati-hatian.

Sejalan dengan Riswinandi, Pakar Pemasaran Yuswohady mengatakan bahwa perubahan perilaku konsumen dalam masa dan pasca pandemi dapat memberikan dampak serta peluang untuk industri asuransi. Di mana, kecenderungan perilaku konsumen saat ini adalah kembali ke dasar, yakni lebih memprioritaskan kebutuhan, sandang, pangan, dan papan.

(Baca Juga: Rangkul ASEAN, Sri Mulyani Buka Jalan Asing Caplok Asuransi Syariah )

Hal ini terjadi karena adanya ketakutan orang karena ketidakpastian ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi covid-19. Ketakutan itu mengakibatkan orang-orang lebih memilih menyimpan uangnya di bank dan mengurangi pembelian. Tetapi, ketika risiko kematian makin tinggi, maka mereka akan cenderung melihat asuransi sebagai kebutuhan pokok pada saat pasca pandemi.

Optimisme tersebut dapat terlihat dari meningkatnya pemilik polis asuransi di Tiongkok, sebagai negara yang telah berhasil mengatasi pandemi covid-19. Data Mc Kinsey menyebutkan, pemilik polis asuransi di negara tersebut meningkat sebesar 47% dibanding tahun sebelumnya.

Optimisme yang sama juga disampaikan oleh Ekonom Senior Aviliani yang menyatakan bahwa terdapat potensi yang masih bisa digarap oleh industri asuransi jika jeli melihat peluang dengan memanfaatkan sektor informal sebagai salah satu sasaran. Pengembangan produk asuransi yang disesuaikan dengan kebutuhan sektor infomal menjadi penting mengingat, tidak pastinya pendapatan pelaku sektor informal.

“Ke depannya, orang-orang akan lebih memilih bekerja pada sektor informal dan tidak lagi menjadi karyawan tetap pada sebuah perusahaan. Orang-orang ini bisa memiliki pendapatan lebih dari 7,5 juta perbulan dan layak dilirik oleh industri asuransi untuk menjadi salah satu nasabahnya,” lanjutnya.

Menyelamatkan Ekonomi Negeri dengan Pakai Masker

Pandemi covid-19 yang melanda 240 negara dan tidak kunjung usai, tentunya juga berdampak pada kondisi ekonomi yang tidak bisa diprediksi ke depannya. Penyelenggaraan kegiatan ekonomi tidak dapat dilakukan secara full capacity. Kegiatan perkantoran harus memperhatikan protokol kesehatan untuk menjaga jarak aman yang ideal antar karyawan untuk mengurangi risiko penyebaran yang terbilang tinggi di ruang tertutup, serta adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB).

(Baca Juga: Klaim Asuransi Jiwa Covid-19 Tetap Dibayarkan, Terbanyak di DKI Jakarta )

Ketua GPM Sigit Pramono mengatakan kondisi ini memicu penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II menjadi -5,3%. Jika pada triwulan III pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap minus, maka akan terjadi resesi.

Krisis yang terjadi karena pandemi ini awalnya merupakan krisis kesehatan. Kemudian, direspon dengan PSBB, sehingga menimbulkan ekonomi yang setengah berhenti dan diikuti oleh resesi. Jika PSBB yang dilakukan semakin panjang, akan menimbulkan resesi yang semakin dalam, dan bisa menimbulkan depresi. Ketika terjadi depresi, yang paling dikhawatirkan adalah kerusuhan.

Semua proses tersebut disebut spiral maut. “Peran dari kita semua adalah bagaimana kita dapat menyelamatkan ekonomi agar terhindar dari spiral maut tersebut,” ungkap Sigit.

Untuk menghindari hal tersebut, penggunaan masker menjadi salah satu cara paling ampuh dan mudah yang dapat dilakukan saat ini. Berdasarkan studi yang dikeluarkan oleh Travel Medicine and Infectious Disease Volume 36, pada Juli-Agustus 2020, penggunaan masker dapat menurunkan risiko penyebaran covid-19 sebesar 96%.

“Jika gerakan pakai masker ini berhasil, kita semua bisa menyelamatan nyawa, maupun menyelamatkan ekonomi bangsa,” tutup Sigit.
(akr)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1265 seconds (0.1#10.140)