Bertahan di Masa Pandemi, Relaksasi Kredit Dibutuhkan Dunia Usaha
loading...
A
A
A
JAKARTA - Relaksasi restrukturisasi kredit yang diperpanjang oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai sangat membantu dunia usaha untuk bisa bertahan pada masa pandemi. Kebijakan ini juga dinilai dapat memitigasi risiko kenaikan rasio kredit macet baik di perbankan maupun perusahaan pembiayaan.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai keputusan OJK memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit sangat tepat. Hal ini didasari oleh kondisi makroekonomi Indonesia yang hingga saat ini masih belum cukup kuat meskipun menunjukkan tren perbaikan sejak kuartal II/2020. “Meskipun menunjukkan tren perbaikan, kondisi sisi permintaan dari perekonomian masih menunjukkan yang belum kuat terindikasi dari rendahnya inflasi dan penurunan impor serta lemahnya permintaan kredit perbankan,” katanya saat dihubungi di Jakarta kemarin. (Baca: Bolehkah Seorang Istri Menunda Kehamilan)
Seperti diketahui OJK memutuskan memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit hingga Maret 2022 yang tertuang dalam POJK No 11/POJK 03/2020 selama setahun. Hal ini setelah memperhatikan assessment terakhir OJK terkait debitur restrukturisasi sejak diputuskan rencana memperpanjang relaksasi ini pada saat Rapat Dewan Komisioner OJK. Relaksasi yang sebelumnya bakal berakhir Maret 2021 tersebut masih akan berlaku hingga Maret 2022.
Josua melanjutkan, perpanjangan relaksasi juga dibutuhkan mengingat fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas. Hal ini disebabkan permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19. Pertumbuhan kredit pada September 2020 kembali menurun dari 1,04%yoy pada Agustus 2020 menjadi 0,12%yoy.
Sedangkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) naik dari 11,64%yoy pada Agustus 2020 menjadi 12,88%yoy didorong ekspansi keuangan pemerintah. Di tengah tren perlambatan kredit perbankan, rasio NPL per September tercatat di level 3,15%.
“Oleh sebab itu, dikaitkan dengan keputusan OJK untuk memperpanjang periode relaksasi restrukturisasi, maka dapat memitigasi risiko kenaikan rasio NPL secara khusus setelah Maret 2021,” jelas Josua.
Menurut dia, dengan pengelolaan risiko kredit yakni upaya untuk menekan rasio NPL tetap rendah, maka akan dapat menekan peningkatan ATMR. Sehingga, kondisi permodalan perbankan yang terindikasi melalui CAR diperkirakan akan tetap terjaga di level yang tinggi di mana CAR perbankan per Agustus tercatat di level 23,39%.
Menurut dia, dengan perpanjangan relaksasi restrukturisasi yang didukung oleh tren penurunan suku bunga perbankan mengikuti penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) serta kebijakan quantitative easing yang mendukung ketersediaan likuiditas di sektor perbankan, maka kondisi stabilitas sistem perbankan diperkirakan akan tetap kuat serta mendukung peningkatan fungsi intermediasi perbankan. (Baca juga: Bantuan Kuota Internet Tersendat, Perhimpunan Guru: Kemendikbud Tak Serius)
Ke depannya, lanjut dia, fungsi intermediasi perbankan diperkirakan akan semakin membaik sejalan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik serta konsistensi sinergi kebijakan baik dari fiskal, moneter, dan kebijakan sektor keuangan lainnya.
Terpisah, pengamat ekonomi Piter Abdulah mengatakan, restrukturisasi kredit sangat dibutuhkan oleh dunia usaha dan oleh perbankan atau leasing. Di tengah pandemi dunia usaha mengalami tekanan cashflows yang sangat berat. Penerimaan turun, sementara pengeluaran tetap tinggi.
“Termasuk untuk pembayaran pokok dan bunga kredit bank. Kalau tidak dibantu, maka kredit mereka ke bank akan macet. Kalau itu terjadi, mereka sulit untuk bangkit kembali karena mereka akan tidak bisa dapat kredit baru,” ujar dia saat dihubungi di Jakarta kemarin. (Baca juga: Tips Tetap Sehat Selama Libur Panjang di tengah Pandemi)
Menurut Piter, jika dunia usaha bangkrut, maka ekonomi Indonesia akan masuk jurang krisis. “Kalau kredit mereka macet, permasalahan akan bergeser ke sektor keuangan. NPL naik tajam, permodalan bank tergerus dan ujungnya kita krisis perbankan dan krisis sistem keuangan,” paparnya.
Oleh sebab itu, dia menyarankan agar semua tidak terjadi sejak awal OJK sudah mengeluarkan kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit sehingga dampaknya NPL perbankan terjaga, permodalan bank masih sangat baik.
Selain itu, sistem perbankan juga masih stabil dan sehat. Di sisi lain dunia usaha juga masih bertahan. “Selama masih berlangsung pandemi, saya kira kita masih memerlukan kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit,” imbuhnya.
Menurut ekonom Bahana TCW Budi Hikmat, pelonggaran atau restrukturisasi kredit menjadi suatu kewajaran terlebih dalam situasi saat ini. “Tadi saya diskusi dengan Pak Wimboh. Pada dasarnya ndak ada yang tahu kapan wabah Covid-19 berakhir,” katanya. (Lihat videonya: Pemprov DKI Putuskan Perpanjang Masa PSBB Transisi)
Dia menuturkan, saat ini dunia sedang menunggu pilpres di AS dan penggunaan vaksin Covid-19. Situasi ini berat bagi semua apalagi pendapatan usaha turun. Maka itu, perlu dibantu agar tidak memicu timbulnya kredit macet sehingga nanti keuntungan bank bisa turun. “Jangan sampai makan modal. Pelonggaran restrukturisasi jadi pilihan yang wajar,” pungkasnya. (Kunthi Fahmar Sandy)
Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai keputusan OJK memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit sangat tepat. Hal ini didasari oleh kondisi makroekonomi Indonesia yang hingga saat ini masih belum cukup kuat meskipun menunjukkan tren perbaikan sejak kuartal II/2020. “Meskipun menunjukkan tren perbaikan, kondisi sisi permintaan dari perekonomian masih menunjukkan yang belum kuat terindikasi dari rendahnya inflasi dan penurunan impor serta lemahnya permintaan kredit perbankan,” katanya saat dihubungi di Jakarta kemarin. (Baca: Bolehkah Seorang Istri Menunda Kehamilan)
Seperti diketahui OJK memutuskan memperpanjang kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit hingga Maret 2022 yang tertuang dalam POJK No 11/POJK 03/2020 selama setahun. Hal ini setelah memperhatikan assessment terakhir OJK terkait debitur restrukturisasi sejak diputuskan rencana memperpanjang relaksasi ini pada saat Rapat Dewan Komisioner OJK. Relaksasi yang sebelumnya bakal berakhir Maret 2021 tersebut masih akan berlaku hingga Maret 2022.
Josua melanjutkan, perpanjangan relaksasi juga dibutuhkan mengingat fungsi intermediasi dari sektor keuangan masih lemah akibat pertumbuhan kredit yang terbatas. Hal ini disebabkan permintaan domestik yang belum kuat dan kehati-hatian perbankan akibat berlanjutnya pandemi Covid-19. Pertumbuhan kredit pada September 2020 kembali menurun dari 1,04%yoy pada Agustus 2020 menjadi 0,12%yoy.
Sedangkan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) naik dari 11,64%yoy pada Agustus 2020 menjadi 12,88%yoy didorong ekspansi keuangan pemerintah. Di tengah tren perlambatan kredit perbankan, rasio NPL per September tercatat di level 3,15%.
“Oleh sebab itu, dikaitkan dengan keputusan OJK untuk memperpanjang periode relaksasi restrukturisasi, maka dapat memitigasi risiko kenaikan rasio NPL secara khusus setelah Maret 2021,” jelas Josua.
Menurut dia, dengan pengelolaan risiko kredit yakni upaya untuk menekan rasio NPL tetap rendah, maka akan dapat menekan peningkatan ATMR. Sehingga, kondisi permodalan perbankan yang terindikasi melalui CAR diperkirakan akan tetap terjaga di level yang tinggi di mana CAR perbankan per Agustus tercatat di level 23,39%.
Menurut dia, dengan perpanjangan relaksasi restrukturisasi yang didukung oleh tren penurunan suku bunga perbankan mengikuti penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) serta kebijakan quantitative easing yang mendukung ketersediaan likuiditas di sektor perbankan, maka kondisi stabilitas sistem perbankan diperkirakan akan tetap kuat serta mendukung peningkatan fungsi intermediasi perbankan. (Baca juga: Bantuan Kuota Internet Tersendat, Perhimpunan Guru: Kemendikbud Tak Serius)
Ke depannya, lanjut dia, fungsi intermediasi perbankan diperkirakan akan semakin membaik sejalan prospek perbaikan kinerja korporasi dan pemulihan ekonomi domestik serta konsistensi sinergi kebijakan baik dari fiskal, moneter, dan kebijakan sektor keuangan lainnya.
Terpisah, pengamat ekonomi Piter Abdulah mengatakan, restrukturisasi kredit sangat dibutuhkan oleh dunia usaha dan oleh perbankan atau leasing. Di tengah pandemi dunia usaha mengalami tekanan cashflows yang sangat berat. Penerimaan turun, sementara pengeluaran tetap tinggi.
“Termasuk untuk pembayaran pokok dan bunga kredit bank. Kalau tidak dibantu, maka kredit mereka ke bank akan macet. Kalau itu terjadi, mereka sulit untuk bangkit kembali karena mereka akan tidak bisa dapat kredit baru,” ujar dia saat dihubungi di Jakarta kemarin. (Baca juga: Tips Tetap Sehat Selama Libur Panjang di tengah Pandemi)
Menurut Piter, jika dunia usaha bangkrut, maka ekonomi Indonesia akan masuk jurang krisis. “Kalau kredit mereka macet, permasalahan akan bergeser ke sektor keuangan. NPL naik tajam, permodalan bank tergerus dan ujungnya kita krisis perbankan dan krisis sistem keuangan,” paparnya.
Oleh sebab itu, dia menyarankan agar semua tidak terjadi sejak awal OJK sudah mengeluarkan kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit sehingga dampaknya NPL perbankan terjaga, permodalan bank masih sangat baik.
Selain itu, sistem perbankan juga masih stabil dan sehat. Di sisi lain dunia usaha juga masih bertahan. “Selama masih berlangsung pandemi, saya kira kita masih memerlukan kebijakan pelonggaran restrukturisasi kredit,” imbuhnya.
Menurut ekonom Bahana TCW Budi Hikmat, pelonggaran atau restrukturisasi kredit menjadi suatu kewajaran terlebih dalam situasi saat ini. “Tadi saya diskusi dengan Pak Wimboh. Pada dasarnya ndak ada yang tahu kapan wabah Covid-19 berakhir,” katanya. (Lihat videonya: Pemprov DKI Putuskan Perpanjang Masa PSBB Transisi)
Dia menuturkan, saat ini dunia sedang menunggu pilpres di AS dan penggunaan vaksin Covid-19. Situasi ini berat bagi semua apalagi pendapatan usaha turun. Maka itu, perlu dibantu agar tidak memicu timbulnya kredit macet sehingga nanti keuntungan bank bisa turun. “Jangan sampai makan modal. Pelonggaran restrukturisasi jadi pilihan yang wajar,” pungkasnya. (Kunthi Fahmar Sandy)
(ysw)