Genjot Belanja Akhir Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memacu jajarannya kejar-kejaran di kuartal keempat untuk memaksimalkan belanja dan mendorong konsumsi. Harapannya agar pertumbuhan ekonomi di kuartal akhir 2020 ini bisa terangkat.
Jokowi memilih realistis. Walaupun pertumbuhan ekonomi akan lebih baik dibanding kuartal ketiga, angkanya akan tetap minus. Berapa prediksi angka pertumbuhannya? Mantan wali Kota Solo itu memperkirakan sekitar minus 3%.
Walaupun begitu, Jokowi mengaku lega karena ada tren membaik dan positif, yakni dari minus 5,32% menjadi sekitar minus 3%. Dia juga menyebut kondisi Indonesia saat ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain. (Baca: Syafaat dan Siapa yang Berhak Mendapatkannya)
Rencananya Badan Pusat Statistik (BPS) akan menyampaikan pengumuman resmi angka pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga ini dalam beberapa hari ke depan. “Sehingga kuartal keempat ini sangat penting sekali agar bisa memperbaiki lagi. Syukur bisa masuk ke positif di kuartal keempat sehingga belanja, spending harus menjadi kejar-kejaran kita semuanya,” katanya saat membuka sidang kabinet paripurna kemarin.
Presiden menekankan satu di antara hal yang perlu mendapat perhatian adalah rendahnya angka konsumsi rumah tangga. Dia menyebut konsumsi rumah tangga saat ini kurang lebih sebesar minus 4%. “Sehingga menjadi kewajiban kita semuanya untuk memperkuat demand sehingga konsumsi akan menjadi lebih baik,” tandasnya.
Dia menyerukan semua jajarannya ketika memasuki kuartal ketiga benar-benar bisa memaksimalkan kinerja, terutama berkaitan dengan realisasi belanja. “Kemudian yang kedua, saya ingin menyampaikan yang berkaitan dengan kuartal yang keempat. Ini adalah kuartal terakhir. Saya harapkan realisasi belanja kita betul-betul harus berada pada titik yang paling maksimal,” pungkasnya.
Peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute (TII) M Rifki Fadilah menilai sudah ada sinyal perbaikan kondisi ekonomi meskipun tidak terlalu signifikan. Hal itu terlihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pada Oktober 2020 terjadi inflasi sebesar 0,07% berdasarkan survei Indeks Harga Konsumen (IHK).
“Artinya sudah ada potensi masyarakat sudah mulai bergerak, berbelanja lagi, sehingga menunjukkan ada daya beli meskipun tidak begitu tinggi,” tutur Rifki kemarin.
Menurutnya, upaya untuk memacu belanja tidaklah mudah. Pada kondisi pandemi Covid-19 ini perilaku konsumen (consumer behavior) masih anomali. Di antaranya perilaku menahan uang, terutama di golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dilatari karena mereka terdampak pandemi yang berpengaruh pada pendapatan ekonomi. (Baca juga: Ribuan Formasi CPNS Guru Kosong, Ini Langkah Kemendikbud)
Di sisi lain, perilaku tersebut juga terjadi di kalangan ekonomi menengah-atas. Mereka yang menahan konsumsi atau mengeluarkan uang karena masih ragu lantaran situasi pandemi yang belum kondusif.
“Mereka cenderung wait and see sehingga memilih menaruh atau menyimpan uang di tabungan. Bahkan, bila dicek dana pihak ketiga dari BI maupun OJK menunjukkan tren yang terus meningkat. Opportunity uang untuk konsumsi itu hilang dan menjadi saving. Kalaupun untuk konsumsi, palingan lebih ke sektor kesehatan atau personal care, health care,” terangnya.
Persoalan lainnya, sambung Rifki, juga mencakup sektor usaha penyedia makanan/minuman merosot. Selama pandemi banyak restoran atau tempat makan yang tutup lantaran kebijakan PSBB. Berbeda dengan industri makanan olahan yang dijual langsung, justru meningkat pesat. Terlebih lagi, penjualan kini mulai beralih melalui daring seiring dengan tumbuhnya e-commerce.
Adapun dari sisi makro, dia menilai kebijakan pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional (PEN) sudah sesuai jalur (on the track). Banyak kebijakan positif yang dilakukan seperti bantuan sosial (bansos), insentif pajak, dan lainnya. Namun, bagi Rifki, hasil itu juga bergantung perilaku masyarakat dari sisi permintaan (demand).
“Balik lagi, mereka (masyarakat) mau belanja atau enggak? Bagi orang yang punya keluarga atau pengangguran, pasti akan spend money. Tapi, kalau bantuan bagi orang yang masih produktif atau keluarganya masih bekerja, mereka cenderung untuk tahan spend karena belum yakin apakah ke depan masih bisa bekerja dan sampai kapan pandemi akan selesai,” ucapnya. (Baca juga: 5 Cara Ajarkan Anak Rajin Gosok Gigi di Rumah)
Dia kemudian menandaskan, menilai realisasi belanja yang didorong pemerintah juga harus melihat kondisi anomali perilaku masyarakat. Harus ada strategi dari pemerintah untuk meyakinkan masyarakat agar roda perputaran uang bergerak lebih cepat atau daya beli masyarakat bisa tumbuh kembali.
Perihal investasi, dia memahami tidak mudah untuk menumbuhkan kembali iklim investasi di tengah pandemi. Pemilik modal atau investor akan lebih berhati-hati juga dalam melakukan ekspansi pada saat pandemi, termasuk dalam perekrutan tenaga kerja dan lainnya.
“Mungkin dalam jangka panjang itu baru akan bergerak. Mungkin baru tahun 2022, investasi sudah mulai masuk lagi. Misalnya, Omnibus Law UU Cipta Kerja. Inilah momentum yang relatif tepat karena di tengah pandemi ini. Mereka bisa lebih cepat berubah aturan-aturan yang menghambat investasi. Tapi, mungkin itu untuk jangka panjang,” pungkasnya.
Target Investasi Meleset
Walaupun ada tren pertumbuhan positif, harapan Presiden Jokowi agar angka pertumbuhan investasi bisa melonjak gagal terwujud. Pasalnya, pertumbuhan investasi di kuartal ketiga ini diperkirakan masih akan di angka lebih dari minus 5%, bahkan bisa mencapai angka minus 6%. “Jadi, investasi kita juga di kuartal ketiga minusnya masih di atas lima. Tapi, kita tunggu hitung-hitungan dari BPS. Kurang lebih enam minus,” sebutnya.
Jokowi mengaku sebenarnya sudah mewanti-wanti Menko Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia agar investasi tumbuh di bawa minus 5%. Namun, target tersebut belum dapat dipenuhi. Karena itu, dia pun meminta agar hal ini didorong pada kuartal IV dan I/2021.
“Karena itu, agar ini dikejar di kuartal keempat dan kuartal pertama. Bulan Januari, Februari, Maret sudah mulai bergerak lagi,” ujarnya. (Baca juga: 49 Hari Operasi Yustisi, Tim Gabungan Tindak 10 Juta Pelanggar)
Perlu diketahui, target investasi di bawah 5% disampaikan Jokowi pada rapat terbatas akhir Agustus lalu. Saat itu dia mengatakan bahwa salah satu langkah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi adalah investasi.
Untuk itu, dia meminta agar Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan menjaga angka pertumbuhan investasi Indonesia agar tidak semakin merosot. “Jangan sampai investasi itu tumbuhnya minus di atas 5%,” katanya saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka (24/8/2020).
Sebagai informasi saat itu pertumbuhan investasi Indonesia ada di minus 8%. Dia mengatakan tidak masalah jika memang belum dapat plus, tapi jangan melebihi angka toleransinya yakni minus 5%. “Usahakan betul-betul bisa. Kalau tidak bisa plus, ya jangan sampai di atas 5% minusnya. Kuncinya di situ,” ucap Jokowi.
Pada rapat tersebut Jokowi bahkan mengaku sudah berbicara dengan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia terkait peningkatan sektor investasi Indonesia. Dia menyebut Bahlil menyanggupi merealisasikan target investasi sebesar Rp.213 triliun. “Kepala BKPM Pak Bahlil sudah menyanggupi Rp213 triliun untuk betul-betul terealisasi sehingga bisa mendongkrak growth kita,” katanya. (Baca juga: Harga Cabai Makin Pedas, Daya Beli Bisa Amblas)
Di sela-sela rendahnya investasi, ada kabar baik dari Amerika Serikat (AS). Apa gerangan? Jokowi mengungkapkan Indonesia telah mendapatkan perpanjangan pemberian fasilitas bebas bea masuk atau generalized system of preferences (GSP) oleh Amerika Serikat (AS). Menurutnya, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang mendapatkan perpanjangan.
Sebelumnya AS sempat akan mengeluarkan Indonesia sebagai penerima GSP karena dianggap sudah bukan lagi negara berkembang. Namun, kemarin Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memastikan AS akan memperpanjangnya.
“Ini menjadi kesempatan karena kita adalah satu-satunya negara di Asia yang mendapatkan fasilitas ini. Dan, kita harapkan ekspor kita akan bisa naik melompat karena fasilitas GSP diberikan kepada kita,” katanya.
Dia pun berharap momen ini digunakan Indonesia untuk menggaet lebih banyak investor karena produk Indonesia mampu masuk ke pasar AS.
“Syukur-syukur ini dipakai kesempatan untuk menarik investasi karena kita ada fasilitas itu sehingga orang ingin mendirikan industri, pabrik, perusahaan di Indonesia akan menjadi lebih menarik karena untuk masuk ke Amerika, kita diberikan fasilitas dari Amerika,” tuturnya. (Lihat videonya: Gubernur DKI Umumkan Kenaikan UMP di Tengah Pandemi)
Perlu diketahui, perpanjangan GSP ini menjadi salah satu perbincangan saat kunjungan Menlu AS Mike Pompeo ke Indonesia. Harapan perpanjangan GSP disampaikan Presiden Jokowi saat bertemu Pompeo. (Dita Angga/Faorick Pakpahan)
Jokowi memilih realistis. Walaupun pertumbuhan ekonomi akan lebih baik dibanding kuartal ketiga, angkanya akan tetap minus. Berapa prediksi angka pertumbuhannya? Mantan wali Kota Solo itu memperkirakan sekitar minus 3%.
Walaupun begitu, Jokowi mengaku lega karena ada tren membaik dan positif, yakni dari minus 5,32% menjadi sekitar minus 3%. Dia juga menyebut kondisi Indonesia saat ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara lain. (Baca: Syafaat dan Siapa yang Berhak Mendapatkannya)
Rencananya Badan Pusat Statistik (BPS) akan menyampaikan pengumuman resmi angka pertumbuhan ekonomi kuartal ketiga ini dalam beberapa hari ke depan. “Sehingga kuartal keempat ini sangat penting sekali agar bisa memperbaiki lagi. Syukur bisa masuk ke positif di kuartal keempat sehingga belanja, spending harus menjadi kejar-kejaran kita semuanya,” katanya saat membuka sidang kabinet paripurna kemarin.
Presiden menekankan satu di antara hal yang perlu mendapat perhatian adalah rendahnya angka konsumsi rumah tangga. Dia menyebut konsumsi rumah tangga saat ini kurang lebih sebesar minus 4%. “Sehingga menjadi kewajiban kita semuanya untuk memperkuat demand sehingga konsumsi akan menjadi lebih baik,” tandasnya.
Dia menyerukan semua jajarannya ketika memasuki kuartal ketiga benar-benar bisa memaksimalkan kinerja, terutama berkaitan dengan realisasi belanja. “Kemudian yang kedua, saya ingin menyampaikan yang berkaitan dengan kuartal yang keempat. Ini adalah kuartal terakhir. Saya harapkan realisasi belanja kita betul-betul harus berada pada titik yang paling maksimal,” pungkasnya.
Peneliti bidang ekonomi The Indonesian Institute (TII) M Rifki Fadilah menilai sudah ada sinyal perbaikan kondisi ekonomi meskipun tidak terlalu signifikan. Hal itu terlihat dari laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pada Oktober 2020 terjadi inflasi sebesar 0,07% berdasarkan survei Indeks Harga Konsumen (IHK).
“Artinya sudah ada potensi masyarakat sudah mulai bergerak, berbelanja lagi, sehingga menunjukkan ada daya beli meskipun tidak begitu tinggi,” tutur Rifki kemarin.
Menurutnya, upaya untuk memacu belanja tidaklah mudah. Pada kondisi pandemi Covid-19 ini perilaku konsumen (consumer behavior) masih anomali. Di antaranya perilaku menahan uang, terutama di golongan masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Hal ini dilatari karena mereka terdampak pandemi yang berpengaruh pada pendapatan ekonomi. (Baca juga: Ribuan Formasi CPNS Guru Kosong, Ini Langkah Kemendikbud)
Di sisi lain, perilaku tersebut juga terjadi di kalangan ekonomi menengah-atas. Mereka yang menahan konsumsi atau mengeluarkan uang karena masih ragu lantaran situasi pandemi yang belum kondusif.
“Mereka cenderung wait and see sehingga memilih menaruh atau menyimpan uang di tabungan. Bahkan, bila dicek dana pihak ketiga dari BI maupun OJK menunjukkan tren yang terus meningkat. Opportunity uang untuk konsumsi itu hilang dan menjadi saving. Kalaupun untuk konsumsi, palingan lebih ke sektor kesehatan atau personal care, health care,” terangnya.
Persoalan lainnya, sambung Rifki, juga mencakup sektor usaha penyedia makanan/minuman merosot. Selama pandemi banyak restoran atau tempat makan yang tutup lantaran kebijakan PSBB. Berbeda dengan industri makanan olahan yang dijual langsung, justru meningkat pesat. Terlebih lagi, penjualan kini mulai beralih melalui daring seiring dengan tumbuhnya e-commerce.
Adapun dari sisi makro, dia menilai kebijakan pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional (PEN) sudah sesuai jalur (on the track). Banyak kebijakan positif yang dilakukan seperti bantuan sosial (bansos), insentif pajak, dan lainnya. Namun, bagi Rifki, hasil itu juga bergantung perilaku masyarakat dari sisi permintaan (demand).
“Balik lagi, mereka (masyarakat) mau belanja atau enggak? Bagi orang yang punya keluarga atau pengangguran, pasti akan spend money. Tapi, kalau bantuan bagi orang yang masih produktif atau keluarganya masih bekerja, mereka cenderung untuk tahan spend karena belum yakin apakah ke depan masih bisa bekerja dan sampai kapan pandemi akan selesai,” ucapnya. (Baca juga: 5 Cara Ajarkan Anak Rajin Gosok Gigi di Rumah)
Dia kemudian menandaskan, menilai realisasi belanja yang didorong pemerintah juga harus melihat kondisi anomali perilaku masyarakat. Harus ada strategi dari pemerintah untuk meyakinkan masyarakat agar roda perputaran uang bergerak lebih cepat atau daya beli masyarakat bisa tumbuh kembali.
Perihal investasi, dia memahami tidak mudah untuk menumbuhkan kembali iklim investasi di tengah pandemi. Pemilik modal atau investor akan lebih berhati-hati juga dalam melakukan ekspansi pada saat pandemi, termasuk dalam perekrutan tenaga kerja dan lainnya.
“Mungkin dalam jangka panjang itu baru akan bergerak. Mungkin baru tahun 2022, investasi sudah mulai masuk lagi. Misalnya, Omnibus Law UU Cipta Kerja. Inilah momentum yang relatif tepat karena di tengah pandemi ini. Mereka bisa lebih cepat berubah aturan-aturan yang menghambat investasi. Tapi, mungkin itu untuk jangka panjang,” pungkasnya.
Target Investasi Meleset
Walaupun ada tren pertumbuhan positif, harapan Presiden Jokowi agar angka pertumbuhan investasi bisa melonjak gagal terwujud. Pasalnya, pertumbuhan investasi di kuartal ketiga ini diperkirakan masih akan di angka lebih dari minus 5%, bahkan bisa mencapai angka minus 6%. “Jadi, investasi kita juga di kuartal ketiga minusnya masih di atas lima. Tapi, kita tunggu hitung-hitungan dari BPS. Kurang lebih enam minus,” sebutnya.
Jokowi mengaku sebenarnya sudah mewanti-wanti Menko Kemaritiman dan Investasi (Marinves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia agar investasi tumbuh di bawa minus 5%. Namun, target tersebut belum dapat dipenuhi. Karena itu, dia pun meminta agar hal ini didorong pada kuartal IV dan I/2021.
“Karena itu, agar ini dikejar di kuartal keempat dan kuartal pertama. Bulan Januari, Februari, Maret sudah mulai bergerak lagi,” ujarnya. (Baca juga: 49 Hari Operasi Yustisi, Tim Gabungan Tindak 10 Juta Pelanggar)
Perlu diketahui, target investasi di bawah 5% disampaikan Jokowi pada rapat terbatas akhir Agustus lalu. Saat itu dia mengatakan bahwa salah satu langkah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi adalah investasi.
Untuk itu, dia meminta agar Menko Marinves Luhut Binsar Pandjaitan menjaga angka pertumbuhan investasi Indonesia agar tidak semakin merosot. “Jangan sampai investasi itu tumbuhnya minus di atas 5%,” katanya saat membuka rapat terbatas di Istana Merdeka (24/8/2020).
Sebagai informasi saat itu pertumbuhan investasi Indonesia ada di minus 8%. Dia mengatakan tidak masalah jika memang belum dapat plus, tapi jangan melebihi angka toleransinya yakni minus 5%. “Usahakan betul-betul bisa. Kalau tidak bisa plus, ya jangan sampai di atas 5% minusnya. Kuncinya di situ,” ucap Jokowi.
Pada rapat tersebut Jokowi bahkan mengaku sudah berbicara dengan Kepala BKPM Bahlil Lahadalia terkait peningkatan sektor investasi Indonesia. Dia menyebut Bahlil menyanggupi merealisasikan target investasi sebesar Rp.213 triliun. “Kepala BKPM Pak Bahlil sudah menyanggupi Rp213 triliun untuk betul-betul terealisasi sehingga bisa mendongkrak growth kita,” katanya. (Baca juga: Harga Cabai Makin Pedas, Daya Beli Bisa Amblas)
Di sela-sela rendahnya investasi, ada kabar baik dari Amerika Serikat (AS). Apa gerangan? Jokowi mengungkapkan Indonesia telah mendapatkan perpanjangan pemberian fasilitas bebas bea masuk atau generalized system of preferences (GSP) oleh Amerika Serikat (AS). Menurutnya, Indonesia merupakan satu-satunya negara di Asia yang mendapatkan perpanjangan.
Sebelumnya AS sempat akan mengeluarkan Indonesia sebagai penerima GSP karena dianggap sudah bukan lagi negara berkembang. Namun, kemarin Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) memastikan AS akan memperpanjangnya.
“Ini menjadi kesempatan karena kita adalah satu-satunya negara di Asia yang mendapatkan fasilitas ini. Dan, kita harapkan ekspor kita akan bisa naik melompat karena fasilitas GSP diberikan kepada kita,” katanya.
Dia pun berharap momen ini digunakan Indonesia untuk menggaet lebih banyak investor karena produk Indonesia mampu masuk ke pasar AS.
“Syukur-syukur ini dipakai kesempatan untuk menarik investasi karena kita ada fasilitas itu sehingga orang ingin mendirikan industri, pabrik, perusahaan di Indonesia akan menjadi lebih menarik karena untuk masuk ke Amerika, kita diberikan fasilitas dari Amerika,” tuturnya. (Lihat videonya: Gubernur DKI Umumkan Kenaikan UMP di Tengah Pandemi)
Perlu diketahui, perpanjangan GSP ini menjadi salah satu perbincangan saat kunjungan Menlu AS Mike Pompeo ke Indonesia. Harapan perpanjangan GSP disampaikan Presiden Jokowi saat bertemu Pompeo. (Dita Angga/Faorick Pakpahan)
(ysw)