Resesi Masuk Indonesia, Chatib Basri: yang Penting Selamat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Selama pandemi ekonomi belum diatasi, Indonesia belum akan merangkak ke fase pemulihan investasi . Ekonom Universitas Indonesia, Prof. Chatib Basri mengatakan, saat ini yang terjadi adalah yang penting selamat.
“Akan ada periode yang disebut sebagai survival, itu adalah sekarang, mencapai titik terendah di quarter kedua, improve sedikit di quarter ketiga, naik lagi terus. Tapi belum sampai ke normal, selama pandemi masih jadi problem, saya melihat periodenya periode survival,” jelasnya dalam Bicara Data Virtual Series bertajuk 'Peluang Mendorong Investasi Saat Pandemi' di Jakarta, Senin (9/11/2020).
(Baca Juga: Indonesia Resesi, Anak Buah Khusus Sri Mulyani: Itu Pra Kondisi Pemulihan )
Menurutnya, setelah pandemi bisa diatasi, kegiatan ekonomi mengarah ke normal dan baru bisa masuk ke tahap pemulihan . Sambung dia menekankan, jika belum bisa beroperasi penuh maka investasi bakal tertahan dan berdampak ke perekonomian nasional.
“Recoverry hanya bisa dilakukan kalau pandeminya harus bisa di-address, kalau tidak bisa di-address Anda akan berhadapan yang saya sebut skala ekonomi. Kalau kapasitas terpasangan masih banyak, saya nggak mungkin beroperasi 100 persen, ngapain saya berinvestasi kan?,” lanjut Menteri Keuangan Indonesia 2014 ini.
Menurut Chatib invetasi akan kembali masuk atau naik akan terjadi ketika ekonomi sudah mulai normal. “Hitungan sederhana ekonomi kita baru masuk kondisi normal itu di 2022, di situlah kita baru bisa bicara ekspansi, investasi swasta dan macam-macam,” tambahnya.
(Baca Juga: Kucuran Investasi di Jawa dan Luar Jawa Membaik 6 Tahun Terakhir, Ini Datanya )
Pada saat itu penting memastikan adanya kemudahan dan kepastian investasi terutama di daerah. Selain juga perlu memasukan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu mengedepankan isu lingkungan dan perlindugan sosial.
Tren sumber-sumber dana global saat ini menurut Chatib punya perhatian besar pada isu tersebut dalam keputusan investasinya. “Mereka mulai menghindari pembiayaan sektor-sektor yang dinilai mengganggu environment, financingnya sudah agak susah,” tambahnya.
Untuk itu, campur tangan pemerintah sangat penting, misalnya dengan menghapus subsidi bahan bakar fosil untuk mendorong penggunaan energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Hidayat Amir sepakat, dengan analisis Chatib Basri, bahwa saat ini ekonomi tanah air berada dalam fase survival.
“Makanya yang dilakukan pemerintah dengan APBN 2020 dan akan diteruskan pada 2021, sepanjang Covid masih ada, prioritasnya ya menangani kesehatan,” ujar Hidayat.
(Baca Juga: Ekonom: Resesi Tak Selamanya Berujung Krisis )
Di masa survival, kata Hidayat memang berat untuk mendorong investasi. Meski demikian Hidayat meyakini situsai survival sangat sementara, terlebih sebagai negara berkembang Indonesia sangat menjanjikan.
“Pasti akan terjadi recovery, dan harapannya recovery itu tidak hanya cukup mengembalikan pada situasi awal, tetapi juga menjaga momentumnya,” sambungnya.
Artinya, pada saat pemulihan nanti seharusnya sisi investasi bisa bergerak lebih cepat dengan disokong bukan hanya kebijakan fiskal tetapi juga penyederhanaan regulasi.
Sementara itu, Bawono Kristiaji, Partner Tax Research & Training Services Danny Darussalam Tax Center mengutarakan, ke depan dalam memberi insetif pajak, pemerintah perlu melihat fasenya. “Sekarang, instrumens fiskalnya lebih untuk menjaga likuiditas perusahaan di tengah badai, yang kedua fasenya initial recovery,” jelasnya.
Initial recovery yang dimaksud Bawono jika dari sisi pajak, misalnya dengan mendorong konsumsi yang akan terjadi ketika ekspetasi masyarakat sudah mulai tumbuh yang ditandai dengan mulai berani berbelanja. Jika ekspetasi belum muncul, upaya mendorong belanja masyarakat akan sia-sia.
“Yang terakhir, fase di mana kita perlu maintenance, bagaimana kestabilannya, bagaimana menjaga daya saing dan investasi,” tambahnya.
Optimisme Lewat UU Cipta Kerja
Sementara itu Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal (PIPM) BKPM Yuliot menjelaskan, realisasi invetasi sudah mencapai target 74,8% dari target sepanjang 2020 yang mencapai Rp 817,2 triliun. Nilai investasi sepanjang Januari sampai September 2020 juga naik 1,7% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Dari sisi pelaku usaha dari realisasi PMDN itu biasanya sekitar 45%, ini sampai dengan September 2020 realisasi PMDN sudah mencapai Rp309,9 triliun atau 57,7% dari capaian realisasi secara keseluruhan. "Untuk PMA terjadi sedikit penurunan, ini tentu sejalan dengan realisasi invetasi secara global,” kata Yuliot.
BKPM optimistis target investasi tahun ini akan tercapai. Menurut Yuliot, pelaku usaha masih berkomitmen untuk melaksanakan invetasi yang telah diteken sebelum pandemi. “Baik dalam rangka PMDN maupun PMA, persoalannya dengan pandemi ini ada keterbatasan-keterbatasan,” terangnya.
Misalnya saat manajemen maupun pekerja asing tidak masuk ke Indonesia di awal pandemi. BKPM menurut Yuliot telah membuat terobosan, dengan memberikan rekomendasi bagi wakil dari 6.758 perusahaan yang harus melaksanakan kegiatan investasi tetap bisa msuk ke Indonesia.
Sementara untuk tahun depan, pemerintah telah menyiapkan berbagai instrumen perbaikan iklim invetasi. Dengan bekal UU Cipta Kerja ini diharapkan Rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) akan dari berada di bawah 4, dari posisi 6,8.
“Pada 2021 kita mengharapkan realisasi akan mencapai 854,5 triliun, dengan adanya berbagai instrumen yang diterbitkan oleh pemerintah, adanya UU Cipta Kerja, kami mengharapkan akan terjadi uraian regulasi, ada 77 regulasi yang ditingkat UU yang disimplikasikan dalam UU Cipta Kerja, dan nanti peraturan pelaksanaanya akan ada perbaikan,” lanjutnya.
“Akan ada periode yang disebut sebagai survival, itu adalah sekarang, mencapai titik terendah di quarter kedua, improve sedikit di quarter ketiga, naik lagi terus. Tapi belum sampai ke normal, selama pandemi masih jadi problem, saya melihat periodenya periode survival,” jelasnya dalam Bicara Data Virtual Series bertajuk 'Peluang Mendorong Investasi Saat Pandemi' di Jakarta, Senin (9/11/2020).
(Baca Juga: Indonesia Resesi, Anak Buah Khusus Sri Mulyani: Itu Pra Kondisi Pemulihan )
Menurutnya, setelah pandemi bisa diatasi, kegiatan ekonomi mengarah ke normal dan baru bisa masuk ke tahap pemulihan . Sambung dia menekankan, jika belum bisa beroperasi penuh maka investasi bakal tertahan dan berdampak ke perekonomian nasional.
“Recoverry hanya bisa dilakukan kalau pandeminya harus bisa di-address, kalau tidak bisa di-address Anda akan berhadapan yang saya sebut skala ekonomi. Kalau kapasitas terpasangan masih banyak, saya nggak mungkin beroperasi 100 persen, ngapain saya berinvestasi kan?,” lanjut Menteri Keuangan Indonesia 2014 ini.
Menurut Chatib invetasi akan kembali masuk atau naik akan terjadi ketika ekonomi sudah mulai normal. “Hitungan sederhana ekonomi kita baru masuk kondisi normal itu di 2022, di situlah kita baru bisa bicara ekspansi, investasi swasta dan macam-macam,” tambahnya.
(Baca Juga: Kucuran Investasi di Jawa dan Luar Jawa Membaik 6 Tahun Terakhir, Ini Datanya )
Pada saat itu penting memastikan adanya kemudahan dan kepastian investasi terutama di daerah. Selain juga perlu memasukan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu mengedepankan isu lingkungan dan perlindugan sosial.
Tren sumber-sumber dana global saat ini menurut Chatib punya perhatian besar pada isu tersebut dalam keputusan investasinya. “Mereka mulai menghindari pembiayaan sektor-sektor yang dinilai mengganggu environment, financingnya sudah agak susah,” tambahnya.
Untuk itu, campur tangan pemerintah sangat penting, misalnya dengan menghapus subsidi bahan bakar fosil untuk mendorong penggunaan energi terbarukan dan ramah lingkungan.
Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Hidayat Amir sepakat, dengan analisis Chatib Basri, bahwa saat ini ekonomi tanah air berada dalam fase survival.
“Makanya yang dilakukan pemerintah dengan APBN 2020 dan akan diteruskan pada 2021, sepanjang Covid masih ada, prioritasnya ya menangani kesehatan,” ujar Hidayat.
(Baca Juga: Ekonom: Resesi Tak Selamanya Berujung Krisis )
Di masa survival, kata Hidayat memang berat untuk mendorong investasi. Meski demikian Hidayat meyakini situsai survival sangat sementara, terlebih sebagai negara berkembang Indonesia sangat menjanjikan.
“Pasti akan terjadi recovery, dan harapannya recovery itu tidak hanya cukup mengembalikan pada situasi awal, tetapi juga menjaga momentumnya,” sambungnya.
Artinya, pada saat pemulihan nanti seharusnya sisi investasi bisa bergerak lebih cepat dengan disokong bukan hanya kebijakan fiskal tetapi juga penyederhanaan regulasi.
Sementara itu, Bawono Kristiaji, Partner Tax Research & Training Services Danny Darussalam Tax Center mengutarakan, ke depan dalam memberi insetif pajak, pemerintah perlu melihat fasenya. “Sekarang, instrumens fiskalnya lebih untuk menjaga likuiditas perusahaan di tengah badai, yang kedua fasenya initial recovery,” jelasnya.
Initial recovery yang dimaksud Bawono jika dari sisi pajak, misalnya dengan mendorong konsumsi yang akan terjadi ketika ekspetasi masyarakat sudah mulai tumbuh yang ditandai dengan mulai berani berbelanja. Jika ekspetasi belum muncul, upaya mendorong belanja masyarakat akan sia-sia.
“Yang terakhir, fase di mana kita perlu maintenance, bagaimana kestabilannya, bagaimana menjaga daya saing dan investasi,” tambahnya.
Optimisme Lewat UU Cipta Kerja
Sementara itu Deputi Pengembangan Iklim Penanaman Modal (PIPM) BKPM Yuliot menjelaskan, realisasi invetasi sudah mencapai target 74,8% dari target sepanjang 2020 yang mencapai Rp 817,2 triliun. Nilai investasi sepanjang Januari sampai September 2020 juga naik 1,7% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Dari sisi pelaku usaha dari realisasi PMDN itu biasanya sekitar 45%, ini sampai dengan September 2020 realisasi PMDN sudah mencapai Rp309,9 triliun atau 57,7% dari capaian realisasi secara keseluruhan. "Untuk PMA terjadi sedikit penurunan, ini tentu sejalan dengan realisasi invetasi secara global,” kata Yuliot.
BKPM optimistis target investasi tahun ini akan tercapai. Menurut Yuliot, pelaku usaha masih berkomitmen untuk melaksanakan invetasi yang telah diteken sebelum pandemi. “Baik dalam rangka PMDN maupun PMA, persoalannya dengan pandemi ini ada keterbatasan-keterbatasan,” terangnya.
Misalnya saat manajemen maupun pekerja asing tidak masuk ke Indonesia di awal pandemi. BKPM menurut Yuliot telah membuat terobosan, dengan memberikan rekomendasi bagi wakil dari 6.758 perusahaan yang harus melaksanakan kegiatan investasi tetap bisa msuk ke Indonesia.
Sementara untuk tahun depan, pemerintah telah menyiapkan berbagai instrumen perbaikan iklim invetasi. Dengan bekal UU Cipta Kerja ini diharapkan Rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) akan dari berada di bawah 4, dari posisi 6,8.
“Pada 2021 kita mengharapkan realisasi akan mencapai 854,5 triliun, dengan adanya berbagai instrumen yang diterbitkan oleh pemerintah, adanya UU Cipta Kerja, kami mengharapkan akan terjadi uraian regulasi, ada 77 regulasi yang ditingkat UU yang disimplikasikan dalam UU Cipta Kerja, dan nanti peraturan pelaksanaanya akan ada perbaikan,” lanjutnya.
(akr)