Dukung Pemulihan Suku Bunga Dipangkas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) memutuskan menurunkan suku bunga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. BI menurunkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 25 basis poin menjadi 3,75%, kemudian suku bunga deposit facility sebesar 25 basis poin menjadi 3%, dan suku bunga lending facility sebesar 25 basis poin menjadi 4,50%.
Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. "Bank Indonesia tetap berkomitmen untuk mendukung penyediaan likuiditas, termasuk dukungan Bank Indonesia kepada pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN 2020," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta kemarin. (Baca: Doa-doa Para Nabi yang Tercantum Dalam Alquran)
Keputusan tersebut melanjutkan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar. Selain itu, penurunan suku bunga juga untuk memperkuat strategi operasi moneter untuk mendukung kebijakan moneter yang akomodatif. BI, lanjut Perry, juga melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif dengan mempertahankan rasio countercyclical buffer (CCB) sebesar 0%, rasio intermediasi makroprudensial (RIM) pada kisaran 84-94% dengan parameter disinsentif sebesar 0%, rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) 6% dengan fleksibilitas repo 6%, dan rasio loan to value/financing to value (LTV/FTV) untuk kredit/pembiayaan properti sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.
Menurut Perry, keputusan untuk menurunkan suku bunga tersebut juga mempertimbangkan beberapa indikator yang membaik pada Oktober 2020. Di antaranya membaiknya mobilitas masyarakat, penjualan makanan dan penjualan online, membaiknya indeks PMI manufaktur, dan membaiknya pendapatan masyarakat. Faktor eksternal juga menunjukkan indikator perbaikan. Di antaranya neraca pembayaran pada kuartal III 2020 surplus, yang didorong oleh perbaikan transaksi berjalan dan transaksi modal finansial. (Baca juga: Menggagas Pengganti Terbaik UN)
BI mencatat terjadi net inflow sebesar USD3,68 miliar hingga 16 Oktober 2020 dan cadangan devisa USD133,7 miliar pada akhir Oktober 2020. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. "Inflasi akhir tahun 2020 diperkirakan lebih rendah dari batas bawah sasaran inflasi. Pada 2021 inflasi akan kembali ke sasarannya 3% plus minus 1%," ungkap Perry.
Dengan diturunkannya suku bunga acuan tersebut, Perry meminta perbankan segera menurunkan suku bunga kredit. "BI telah melakukan quantative easing sangat besar. Karena itu, melalui forum ini kami terus dan tidak segan-segannya mengharapkan perbankan menurunkan suku bunga kredit untuk mendorong ekonomi," ujarnya.
Menurut Perry, kondisi dunia usaha kini telah membaik. Hal ini dilihatnya dari kinerja ekspor yang mulai meningkat sehingga sudah saatnya perbankan mulai memberikan kredit kembali ke dunia usaha. "Sudah saatnya ini penyaluran kredit terus didorong, sudah saatnya membangun optimisme. Sudah saatnya kita untuk meningkatkan ekonomi," imbuhnya.
Perry mengungkapkan, belum turunnya suku bunga kredit karena perbankan masih meningkatkan pencadangan terkait dengan risiko kredit yang juga meningkat di tengah pandemi. "Risiko kredit itu meningkat dan itu tentu saja sejumlah bank meningkatkan kebutuhan untuk pencadangan risiko kredit. Ini faktor-faktor penyebab suku bunga kredit belum turun," urainya. (Baca juga: Tips Agar Anak Betah di Rumah Selama Pandemi)
Peneliti Indef Nailul Huda menilai, langkah BI dalam menurunkan suku bunga bisa dibilang berani di tengah kondisi pandemi. Apalagi di tengah kemungkinan besar ekonomi AS yang membaik usai Joe Biden terpilih menjadi presiden Amerika Serikat (AS). Namun, Huda meyakini penurunan suku bunga itu akan membawa efek positif ke sektor riil dan bisa menggenjot permintaan kredit yang saat ini masih lesu. "Kita harap perbankan dapat merespons dengan menurunkan suku bunga kreditnya serta bisa meningkatkan konsumsi masyarakat," desaknya.
Hal yang perlu diwaspadai dari kebijakan tersebut, ujar Huda, dampak negatifnya Indonesia bukan negara yang menarik sebagai tempat investasi di sektor keuangan. "Imbal balik (yield) menjadi rendah. Akibatnya permintaan rupiah akan turun dan bisa menyebabkan rupiah terkapar," sebutnya.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai BI memanfaatkan ruang untuk menurunkan suku bunga lebih awal. Inflasi yang rendah dan nilai tukar yang menguat didukung aliran modal masuk membuat BI percaya diri menurunkan suku bunga. "Tampaknya BI benar-benar berupaya mendorong pemulihan ekonomi dengan menurunkan suku bunga acuan," katanya.
Dengan turunnya suku bunga pada bulan ini Piter pun meyakini bulan depan BI akan menahan suku bunga acuan. "Dan menyisakan setidaknya penurunan 25 basis poin lagi pada tahun depan," ramalnya. (Lihat videonya: Bupati Bogor Ade Yasin Terkonfirmasi Positif Covid-19)
Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan bunga acuan menjadi 3,75% diharapkan dapat membuat laju bunga simpanan lebih rendah. Dengan demikian berdampak pada berpindahnya dana deposan di perbankan ke investasi secara riil. "Intermediasi perbankan diperkirakan akan membaik, khususnya terkait kinerja pertumbuhan kredit," katanya.
Dia menuturkan, biaya pinjaman juga bisa lebih rendah sehingga pelaku usaha bisa memanfaatkan kredit perbankan untuk meningkatkan ekspansi usaha pada 2021. "Bunga acuan yang menurun merupakan insentif bagi sektor riil," sebut Bhima. (Kunthi Fahmar Sandy/Rina Anggraeni)
Keputusan itu diambil dengan mempertimbangkan inflasi yang tetap rendah, stabilitas eksternal yang terjaga, dan sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional. "Bank Indonesia tetap berkomitmen untuk mendukung penyediaan likuiditas, termasuk dukungan Bank Indonesia kepada pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN 2020," kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta kemarin. (Baca: Doa-doa Para Nabi yang Tercantum Dalam Alquran)
Keputusan tersebut melanjutkan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar. Selain itu, penurunan suku bunga juga untuk memperkuat strategi operasi moneter untuk mendukung kebijakan moneter yang akomodatif. BI, lanjut Perry, juga melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif dengan mempertahankan rasio countercyclical buffer (CCB) sebesar 0%, rasio intermediasi makroprudensial (RIM) pada kisaran 84-94% dengan parameter disinsentif sebesar 0%, rasio penyangga likuiditas makroprudensial (PLM) 6% dengan fleksibilitas repo 6%, dan rasio loan to value/financing to value (LTV/FTV) untuk kredit/pembiayaan properti sesuai dengan ketentuan yang berlaku saat ini.
Menurut Perry, keputusan untuk menurunkan suku bunga tersebut juga mempertimbangkan beberapa indikator yang membaik pada Oktober 2020. Di antaranya membaiknya mobilitas masyarakat, penjualan makanan dan penjualan online, membaiknya indeks PMI manufaktur, dan membaiknya pendapatan masyarakat. Faktor eksternal juga menunjukkan indikator perbaikan. Di antaranya neraca pembayaran pada kuartal III 2020 surplus, yang didorong oleh perbaikan transaksi berjalan dan transaksi modal finansial. (Baca juga: Menggagas Pengganti Terbaik UN)
BI mencatat terjadi net inflow sebesar USD3,68 miliar hingga 16 Oktober 2020 dan cadangan devisa USD133,7 miliar pada akhir Oktober 2020. Bank Indonesia menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. "Inflasi akhir tahun 2020 diperkirakan lebih rendah dari batas bawah sasaran inflasi. Pada 2021 inflasi akan kembali ke sasarannya 3% plus minus 1%," ungkap Perry.
Dengan diturunkannya suku bunga acuan tersebut, Perry meminta perbankan segera menurunkan suku bunga kredit. "BI telah melakukan quantative easing sangat besar. Karena itu, melalui forum ini kami terus dan tidak segan-segannya mengharapkan perbankan menurunkan suku bunga kredit untuk mendorong ekonomi," ujarnya.
Menurut Perry, kondisi dunia usaha kini telah membaik. Hal ini dilihatnya dari kinerja ekspor yang mulai meningkat sehingga sudah saatnya perbankan mulai memberikan kredit kembali ke dunia usaha. "Sudah saatnya ini penyaluran kredit terus didorong, sudah saatnya membangun optimisme. Sudah saatnya kita untuk meningkatkan ekonomi," imbuhnya.
Perry mengungkapkan, belum turunnya suku bunga kredit karena perbankan masih meningkatkan pencadangan terkait dengan risiko kredit yang juga meningkat di tengah pandemi. "Risiko kredit itu meningkat dan itu tentu saja sejumlah bank meningkatkan kebutuhan untuk pencadangan risiko kredit. Ini faktor-faktor penyebab suku bunga kredit belum turun," urainya. (Baca juga: Tips Agar Anak Betah di Rumah Selama Pandemi)
Peneliti Indef Nailul Huda menilai, langkah BI dalam menurunkan suku bunga bisa dibilang berani di tengah kondisi pandemi. Apalagi di tengah kemungkinan besar ekonomi AS yang membaik usai Joe Biden terpilih menjadi presiden Amerika Serikat (AS). Namun, Huda meyakini penurunan suku bunga itu akan membawa efek positif ke sektor riil dan bisa menggenjot permintaan kredit yang saat ini masih lesu. "Kita harap perbankan dapat merespons dengan menurunkan suku bunga kreditnya serta bisa meningkatkan konsumsi masyarakat," desaknya.
Hal yang perlu diwaspadai dari kebijakan tersebut, ujar Huda, dampak negatifnya Indonesia bukan negara yang menarik sebagai tempat investasi di sektor keuangan. "Imbal balik (yield) menjadi rendah. Akibatnya permintaan rupiah akan turun dan bisa menyebabkan rupiah terkapar," sebutnya.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai BI memanfaatkan ruang untuk menurunkan suku bunga lebih awal. Inflasi yang rendah dan nilai tukar yang menguat didukung aliran modal masuk membuat BI percaya diri menurunkan suku bunga. "Tampaknya BI benar-benar berupaya mendorong pemulihan ekonomi dengan menurunkan suku bunga acuan," katanya.
Dengan turunnya suku bunga pada bulan ini Piter pun meyakini bulan depan BI akan menahan suku bunga acuan. "Dan menyisakan setidaknya penurunan 25 basis poin lagi pada tahun depan," ramalnya. (Lihat videonya: Bupati Bogor Ade Yasin Terkonfirmasi Positif Covid-19)
Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan bunga acuan menjadi 3,75% diharapkan dapat membuat laju bunga simpanan lebih rendah. Dengan demikian berdampak pada berpindahnya dana deposan di perbankan ke investasi secara riil. "Intermediasi perbankan diperkirakan akan membaik, khususnya terkait kinerja pertumbuhan kredit," katanya.
Dia menuturkan, biaya pinjaman juga bisa lebih rendah sehingga pelaku usaha bisa memanfaatkan kredit perbankan untuk meningkatkan ekspansi usaha pada 2021. "Bunga acuan yang menurun merupakan insentif bagi sektor riil," sebut Bhima. (Kunthi Fahmar Sandy/Rina Anggraeni)
(ysw)