Neraca Dagang Surplus, Kepercayaan Dunia Usaha Meningkat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kepercayaan pelaku usaha akan meningkat menyusul terjadinya surplus neraca perdagangan selama tujuh bulan secara beruntun. Surplus yang cukup besar tahun ini mendorong perbaikan neraca transaksi berjalan (current account) yang selama ini menjadi titik lemah fundamental ekonomi Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada November 2020 mengalami surplus sebesar USD2,62 miliar. Angka ini berasal dari selisih nilai ekspor Indonesia USD15,28 miliar dan impor USD12,66 miliar. (Baca: Ketika Musibah Datang sebagai Peringatan)
Ini merupakan surplus tujuh kali neraca dagang Indonesia pada tahun ini. Prestasi ini memperpanjang rentetan surplus setelah pada Oktober sudah mencatatkan enam kali.
“Jadi, surplus neraca dagang Indonesia ini disumbang oleh angka ekspor yang cukup tinggi. Di mana nilai ekspor November 2020 menjadi yang tertinggi sepanjang tahun ini,” kata Kepala BPS Suhariyanto, dalam paparan secara virtual, kemarin.
Dia juga menjelaskan, angka ini tercatat naik 6,3% dibandingkan bulan sebelumnya dan naik 9,5% dari tahun sebelumnya. Bahkan, jika ditarik ke belakang, ekspor ini tertinggi sejak Oktober 2018 yang saat itu tercatat sebesar USD15,91 miliar.
Sementara itu, nilai impor Indonesia pada November 2020 sebesar USD12,66 miliar. Apabila dibandingkan dengan Oktober 2020, impor terjadi peningkatan 17,4%. “Hal ini disumbang oleh kenaikan impor nonmigas dan migas,” ungkap dia. (Baca juga: 2 Olahraga Mudah untuk Turunkan Berat Badan dengan Cepat)
Suhariyanto mengungkapkan ekspor Indonesia pada November 2020 ditopang oleh beberapa sektor komoditas utama hingga nilainya tembus USD15,28 miliar. Beberapa sektor komoditas utama yang menopang di antaranya hasil pertanian, hasil hutan bukan kayu, pengolahan, perkebunan, hingga tambang. Ekspor migas tercatat meningkat 24,26% (mtm), pertanian 6,33% (mtm), dan tambang meningkat 33,33% (yoy).
“Jadi, penyumbang surplus terbesar minyak dan lemak hewan nabati, bahan bakar mineral, serta besi baja,” ujar Suhariyanto.
Dia juga menjelaskan, ekspor lemak dan minyak hewan/nabati mencapai USD449,4 juta, bahan bakar mineral sebesar USD268,5 juta, dan besi dan baja sebesar USD210,8 juta.
Kemudian, lanjut dia, secara pangsa ekspor, Amerika Serikat, China, dan Jepang masih menjadi tujuan ekspor terbesar dari Indonesia. Posisi neraca perdagangan Indonesia juga masih mencatat surplus terhadap AS sebesar USD948,7 juta, India sebesar USD603,8 juta, dan Filipina sebesar USD523 juta. “Namun, Indonesia masih mengalami defisit terhadap China sebesar USD527,6 juta,” ungkap dia. (Baca juga: Masker Wajah Mirip Power Ranger Cegah Infeksi Covid-19)
Pengamat Ekonomi Ryan Kiryanto menyebut lonjakan nilai ekspor sebesar USD15,28 miliar dipicu oleh kenaikan volume ekspor minyak sawit dan batu bara. Pada saat yang bersamaan terjadi kenaikan harga seiring dengan peningkatan permintaan minyak sawit dari India dan batu bara dari China. “Tentu, surplus transaksi perdagangan tersebut menggembirakan karena bisa menambah cadangan devisa,” kata Ryan.
Neraca perdagangan yang surplus ini, kata dia, juga meningkatkan kepercayaan pelaku pasar sehingga membantu apresiasi rupiah dan menahan capital flight jelang akhir tahun. “Ini terlihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menguat dan menembus level psikologis 6.000,” ucap dia.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan surplus neraca perdagangan disebabkan oleh tumbuhnya ekspor, sedangkan impor masih tertahan oleh pandemi.
“Ekspor bisa lebih awal bangkit karena beberapa negara tujuan ekspor sudah mulai pulih perekonomiannya seperti China. Di sisi lain, juga terjadi kenaikan harga komoditas berorientasi ekspor asal Indonesia, khususnya batu bara, nikel, dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO),” katanya. (Baca juga: Guardiola: Arsenal Harus Percaya Pada Arteta)
Dia menyebut dampak positif tersebut akan lebih bagus apabila tren surplus neraca perdagangan dan juga surplus neraca transaksi berjalan (current account) bisa dipertahankan dalam jangka panjang. Surplus neraca perdagangan yang cukup besar tahun ini mendorong perbaikan current account yang selama ini menjadi titik lemah fundamental ekonomi Indonesia.
“Dengan current account yang lebih sehat maka rupiah akan lebih stabil. Hal ini lebih lanjut akan mengurangi risiko investasi di Indonesia. Aliran modal masuk ke Indonesia diharapkan akan lebih besar,” tandasnya.
Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menilai harga minyak mentah memang cenderung menguat sepanjang bulan November lalu. “Itu yang membuat kinerja ekspor migas naik 27,4% dibandingkan bulan sebelumnya,” ujarnya. (Baca juga: Lawan Juragan Kakap, Produk UMKM Siap Konsolidasi)
Sementara ekspor nonmigas juga positif karena adanya pemulihan permintaan di negara utama seperti China naik 16%, Jepang 11,6%, dan India 10%. Sementara ekspor ke AS masih terkontraksi sebesar -1,88%.
Dari kinerja impor tumbuh cukup tinggi, yakni 17,4% dibandingkan Oktober. Menurut dia, kondisi ini yang menyebabkan surplus perdagangan menurun. “Adanya kenaikan impor barang modal sebesar 31,5% mengindikasikan proyek-proyek yang dikerjakan BUMN bidang konstruksi kembali digenjot. Salah satunya untuk pembelian mesin-mesin,” sebut dia. (Lihat videonya:
Sementara impor bahan baku naik 13% bukti industri manufaktur kembali bergairah. Akan tetapi, perlu dicermati adanya kenaikan impor barang konsumsi sebesar 25,5% berkorelasi dengan persiapan pedagang menyambut Harbolnas. (Kunthi Fahmar Sandy)
Lihat Juga: Dukung Ekonomi Nasional dan MBG, Kementerian Koperasi Gelar Cooperatives Business Forum 2024
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan pada November 2020 mengalami surplus sebesar USD2,62 miliar. Angka ini berasal dari selisih nilai ekspor Indonesia USD15,28 miliar dan impor USD12,66 miliar. (Baca: Ketika Musibah Datang sebagai Peringatan)
Ini merupakan surplus tujuh kali neraca dagang Indonesia pada tahun ini. Prestasi ini memperpanjang rentetan surplus setelah pada Oktober sudah mencatatkan enam kali.
“Jadi, surplus neraca dagang Indonesia ini disumbang oleh angka ekspor yang cukup tinggi. Di mana nilai ekspor November 2020 menjadi yang tertinggi sepanjang tahun ini,” kata Kepala BPS Suhariyanto, dalam paparan secara virtual, kemarin.
Dia juga menjelaskan, angka ini tercatat naik 6,3% dibandingkan bulan sebelumnya dan naik 9,5% dari tahun sebelumnya. Bahkan, jika ditarik ke belakang, ekspor ini tertinggi sejak Oktober 2018 yang saat itu tercatat sebesar USD15,91 miliar.
Sementara itu, nilai impor Indonesia pada November 2020 sebesar USD12,66 miliar. Apabila dibandingkan dengan Oktober 2020, impor terjadi peningkatan 17,4%. “Hal ini disumbang oleh kenaikan impor nonmigas dan migas,” ungkap dia. (Baca juga: 2 Olahraga Mudah untuk Turunkan Berat Badan dengan Cepat)
Suhariyanto mengungkapkan ekspor Indonesia pada November 2020 ditopang oleh beberapa sektor komoditas utama hingga nilainya tembus USD15,28 miliar. Beberapa sektor komoditas utama yang menopang di antaranya hasil pertanian, hasil hutan bukan kayu, pengolahan, perkebunan, hingga tambang. Ekspor migas tercatat meningkat 24,26% (mtm), pertanian 6,33% (mtm), dan tambang meningkat 33,33% (yoy).
“Jadi, penyumbang surplus terbesar minyak dan lemak hewan nabati, bahan bakar mineral, serta besi baja,” ujar Suhariyanto.
Dia juga menjelaskan, ekspor lemak dan minyak hewan/nabati mencapai USD449,4 juta, bahan bakar mineral sebesar USD268,5 juta, dan besi dan baja sebesar USD210,8 juta.
Kemudian, lanjut dia, secara pangsa ekspor, Amerika Serikat, China, dan Jepang masih menjadi tujuan ekspor terbesar dari Indonesia. Posisi neraca perdagangan Indonesia juga masih mencatat surplus terhadap AS sebesar USD948,7 juta, India sebesar USD603,8 juta, dan Filipina sebesar USD523 juta. “Namun, Indonesia masih mengalami defisit terhadap China sebesar USD527,6 juta,” ungkap dia. (Baca juga: Masker Wajah Mirip Power Ranger Cegah Infeksi Covid-19)
Pengamat Ekonomi Ryan Kiryanto menyebut lonjakan nilai ekspor sebesar USD15,28 miliar dipicu oleh kenaikan volume ekspor minyak sawit dan batu bara. Pada saat yang bersamaan terjadi kenaikan harga seiring dengan peningkatan permintaan minyak sawit dari India dan batu bara dari China. “Tentu, surplus transaksi perdagangan tersebut menggembirakan karena bisa menambah cadangan devisa,” kata Ryan.
Neraca perdagangan yang surplus ini, kata dia, juga meningkatkan kepercayaan pelaku pasar sehingga membantu apresiasi rupiah dan menahan capital flight jelang akhir tahun. “Ini terlihat dari pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang menguat dan menembus level psikologis 6.000,” ucap dia.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan surplus neraca perdagangan disebabkan oleh tumbuhnya ekspor, sedangkan impor masih tertahan oleh pandemi.
“Ekspor bisa lebih awal bangkit karena beberapa negara tujuan ekspor sudah mulai pulih perekonomiannya seperti China. Di sisi lain, juga terjadi kenaikan harga komoditas berorientasi ekspor asal Indonesia, khususnya batu bara, nikel, dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO),” katanya. (Baca juga: Guardiola: Arsenal Harus Percaya Pada Arteta)
Dia menyebut dampak positif tersebut akan lebih bagus apabila tren surplus neraca perdagangan dan juga surplus neraca transaksi berjalan (current account) bisa dipertahankan dalam jangka panjang. Surplus neraca perdagangan yang cukup besar tahun ini mendorong perbaikan current account yang selama ini menjadi titik lemah fundamental ekonomi Indonesia.
“Dengan current account yang lebih sehat maka rupiah akan lebih stabil. Hal ini lebih lanjut akan mengurangi risiko investasi di Indonesia. Aliran modal masuk ke Indonesia diharapkan akan lebih besar,” tandasnya.
Pengamat ekonomi Bhima Yudhistira menilai harga minyak mentah memang cenderung menguat sepanjang bulan November lalu. “Itu yang membuat kinerja ekspor migas naik 27,4% dibandingkan bulan sebelumnya,” ujarnya. (Baca juga: Lawan Juragan Kakap, Produk UMKM Siap Konsolidasi)
Sementara ekspor nonmigas juga positif karena adanya pemulihan permintaan di negara utama seperti China naik 16%, Jepang 11,6%, dan India 10%. Sementara ekspor ke AS masih terkontraksi sebesar -1,88%.
Dari kinerja impor tumbuh cukup tinggi, yakni 17,4% dibandingkan Oktober. Menurut dia, kondisi ini yang menyebabkan surplus perdagangan menurun. “Adanya kenaikan impor barang modal sebesar 31,5% mengindikasikan proyek-proyek yang dikerjakan BUMN bidang konstruksi kembali digenjot. Salah satunya untuk pembelian mesin-mesin,” sebut dia. (Lihat videonya:
Sementara impor bahan baku naik 13% bukti industri manufaktur kembali bergairah. Akan tetapi, perlu dicermati adanya kenaikan impor barang konsumsi sebesar 25,5% berkorelasi dengan persiapan pedagang menyambut Harbolnas. (Kunthi Fahmar Sandy)
Lihat Juga: Dukung Ekonomi Nasional dan MBG, Kementerian Koperasi Gelar Cooperatives Business Forum 2024
(ysw)