Catatan Akhir Tahun ALFI: Tetap Jaga Optimisme

Jum'at, 25 Desember 2020 - 19:27 WIB
loading...
A A A
"Imbas Covid-19 juga telah memengaruhi perilaku industri logistik dimana backward and forward linkage sektor logistik kepada industri sangat kuat. Ini artinya, jika ada penurunan atau kenaikan aktivitas industri, maka aktivitas logistik akan mengalami penurunan atau kenaikan yang lebih besar," ucap Yukki.

Pada pertengahan Oktober 2020, telah ditandatangani Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) oleh 15 negara yang terdiri dari 10 negara ASEAN ditambah China, Jepang, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru. RCEP juga menyampaikan ukuran-ukuran ekonomi dari fakta ke 15 negara tersebut, antara lain; merepresentasikan 29,6% populasi dunia, 27,4% perdagangan dunia dan 30,2% PDB dunia serta 29,8% FDI dunia.

Yukki mengatakan, hal tersebut menunjukkan market size yang sangat besar, termasuk peluang yang juga besar, sehingga isu-isu mengenai daya saing menjadi keniscayaan.

Sementara itu, memasuki kuartal terakhir di tahun 2020, pebisnis logistik dan pemangku kepentingannya dikejutkan dengan persoalan international shipment yang dipicu masalah kelangkaan peti kemas/kontainer. Padahal selama ini, international shipment sangat dipengaruhi oleh perdagangan dari dan ke Amerika Serikat (AS). Sementara di sisi lain, angkutan intra-Asia dianggap kurang menguntungkan (shallow margin) sehingga secara urutan daya tarik angkutan adalah menuju AS, Eropa, baru kemudian intra-Asia.

Kelangkaan peti kemas juga dialami sejumlah negara di Asia termasuk Indonesia yang disebabkan (salah satunya) akibat faktor menurunnya perdagangan global termasuk aktivitas ekspor AS mengakibatkan industri shipping global merasionalisasi biaya dengan melakukan pending shipment/omission.

Yukki memaparkan, persoalan tersebut semakin rumit, tatkala importasi oleh AS yang tidak diimbangi dengan kegiatan ekspornya, sehingga mengakibatkan peti kemas eks-impor tertahan di negara itu dan terjadi kelangkaan peti kemas secara global, termasuk di Indonesia.

(Baca Juga: Menciptakan Ekosistem Logistik dan Maritim Kelas Dunia, Mungkinkah?)

Di sisi lain, wacana intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan peti kemas tersebut kurang efektif apabila menggunakan insentif karena memerlukan biaya besar. "Pasalnya, kondisi semacam ini secara alami akan normal lagi pada saat perdagangan duna sudah pulih kembali sesuai mekanisme pasar," kata Yukki.

Dia juga mengungkapkan, mahalnya angkutan untuk international shipment atau incompetitiveness angkutan dari dan ke Indonesia, cenderung dipengaruhi perilaku industri dan perdagangan Indonesia, dimana importasinya adalah heavy cargo yang menggunakan peti kemas berukuran 20 kaki, sementara untuk ekspor umumnya menggunakan peti kemas 40 kaki seperti pada pengapalan komoditas alas kaki, elektronik dan furnitur. Sehingga, setiap kali kegiatan impor harus merepo peti kemas 20 kaki dan untuk keperluan ekspor harus mendatangkan peti kemas kosong 40 kaki yang semuanya diperhitungkan dalam tatif angkut atau freight.

"Namun, di balik semua tantangan dan persoalan yang telah sama-sama kita hadapi di sepanjang tahun 2020, dapat diambil hikmahnya sebagai modal motivasi pelaku usaha khususnya disektor logistik dalam melangkah pada tahun depan," pungkasnya.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1927 seconds (0.1#10.140)