Jack Ma Tak Jelas Nasibnya, Ekonom Ini Ingatkan Soal Kritikan ke Pemerintah
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jack Ma , pebisnis kondang China dan tokoh e-commerce dunia, hingga kini tak jelas keberadaannya. Jack Ma dikabarkan sudah menghilang sejak Oktober 2020 lalu.
Sosial media tokoh bisnis yang pernah didapuk sebagai penasihat steering committee roadmap e-commerce Indonesia itu pada Agustus 2017 lalu itu pun tampak tidak terperbarui sejak bulan Oktober.
(Baca Juga: Inilah Ant Group, Perusahaan Milik Jack Ma yang Ditakuti Pemerintah China)
Menanggapi "hilangnya" pendiri Alibaba ini, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa apa yang menimpanya tak lepas dari kritiknya terhadap Pemerintah China.
"Sebenarnya kalau melihat dari apa yang dikritikkan, bukanlah sesuatu yang sangat radikal, Jack Ma mendorong adanya perubahan regulasi yang intinya mendukung perusahaan agar bisa berinovasi dan tumbuh," ujar Yusuf saat dihubungi MNC News Portal di Jakarta, Senin (4/1/2020).
(Infografik: Ini Penyebab Seteru Jack Ma dengan Presiden China Xi Jinping) Kritik lain yang dilontarkan Jack Ma adalah tentang kondisi perbankan yang dinilainya tidak baik. Pada dasarnya, lanjut Yusuf, kritik Ma adalah hal biasa dalam kehidupan berdemokrasi.
Namun, sambung dia, harus diakui bahwa China menganut sistem pemerintahan semisosialis dimana memang ada aturan-aturan ketat yang melarang warganya untuk menyampaikan kritik pada level tertentu ke pemerintah. Hal ini menurutnya bukanlah sesuatu yang baru, dan nilai-nilai demokratis tidak bisa sepenuhnya dilihat di China.
(Baca Juga: Selain Jack Ma, Presiden China Xi Jinping Pernah Sikat Dua Konglomerat Ini)
"Adapun pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kasus Jack Ma, bahwa sebenarnya kritik terhadap pemerintah itu merupakan hal yang lumrah. Dalam konteks Jack Ma, justru kritik ini justru disampaikan untuk mendorong perekonomian China yang lebih baik," ungkapnya.
Seharusnya, menurut Yusuf, ruang-ruang kritik seperti ini bisa membuka mata pemerintah dimana seharusnya mereka melakukan perbaikan. Ketika pemerintah menerima kritik juga harus terbuka, tidak defensif, dan juga dari sisi yang mengkritik perlu menyampaikan kritik secara konstruktif menggunakan data pendukung sehingga diskursusnya bisa bermuara terhadap perbaikan kebijakan yang lebih baik.
"Saya kira pelajaran kritik-mengkritik ini memang seharusnya bisa dijalankan pada negara-negara yang menganut sistem demokrasi, termasuk Indonesia," pungkasnya.
Sosial media tokoh bisnis yang pernah didapuk sebagai penasihat steering committee roadmap e-commerce Indonesia itu pada Agustus 2017 lalu itu pun tampak tidak terperbarui sejak bulan Oktober.
(Baca Juga: Inilah Ant Group, Perusahaan Milik Jack Ma yang Ditakuti Pemerintah China)
Menanggapi "hilangnya" pendiri Alibaba ini, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan bahwa apa yang menimpanya tak lepas dari kritiknya terhadap Pemerintah China.
"Sebenarnya kalau melihat dari apa yang dikritikkan, bukanlah sesuatu yang sangat radikal, Jack Ma mendorong adanya perubahan regulasi yang intinya mendukung perusahaan agar bisa berinovasi dan tumbuh," ujar Yusuf saat dihubungi MNC News Portal di Jakarta, Senin (4/1/2020).
(Infografik: Ini Penyebab Seteru Jack Ma dengan Presiden China Xi Jinping) Kritik lain yang dilontarkan Jack Ma adalah tentang kondisi perbankan yang dinilainya tidak baik. Pada dasarnya, lanjut Yusuf, kritik Ma adalah hal biasa dalam kehidupan berdemokrasi.
Namun, sambung dia, harus diakui bahwa China menganut sistem pemerintahan semisosialis dimana memang ada aturan-aturan ketat yang melarang warganya untuk menyampaikan kritik pada level tertentu ke pemerintah. Hal ini menurutnya bukanlah sesuatu yang baru, dan nilai-nilai demokratis tidak bisa sepenuhnya dilihat di China.
(Baca Juga: Selain Jack Ma, Presiden China Xi Jinping Pernah Sikat Dua Konglomerat Ini)
"Adapun pelajaran yang bisa kita dapatkan dari kasus Jack Ma, bahwa sebenarnya kritik terhadap pemerintah itu merupakan hal yang lumrah. Dalam konteks Jack Ma, justru kritik ini justru disampaikan untuk mendorong perekonomian China yang lebih baik," ungkapnya.
Seharusnya, menurut Yusuf, ruang-ruang kritik seperti ini bisa membuka mata pemerintah dimana seharusnya mereka melakukan perbaikan. Ketika pemerintah menerima kritik juga harus terbuka, tidak defensif, dan juga dari sisi yang mengkritik perlu menyampaikan kritik secara konstruktif menggunakan data pendukung sehingga diskursusnya bisa bermuara terhadap perbaikan kebijakan yang lebih baik.
"Saya kira pelajaran kritik-mengkritik ini memang seharusnya bisa dijalankan pada negara-negara yang menganut sistem demokrasi, termasuk Indonesia," pungkasnya.
(fai)