Jangan Bingung Memilih Hunian yang Diinginkan
loading...
A
A
A
HUNIAN yang semakin variatif membuat masyarakat sulit menentukan pilihan yang tepat. Misalnya, memilih antara tinggal di apartemen atau rumah tapak.
Baik rumah tapak maupun apartemen sebenarnya memiliki keunggulan dan kelemahan.Terlebih, di wilayah Jabodetabek kecuali Jakarta, permintaan properti untuk rumah tapak masih lebih tinggi daripada hunian vertikal atau apartemen. Di wilayah Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi, konsumen masih lebih meminati rumah tapak.
Hal ini dipertegas oleh pengamat bisnis properti Panangian Simanungkalit. Menurutnya, tinggal di apartemen belum menjadi pilihan utama bagi konsumen karena terpengaruh oleh perbandingan harga beli yang bersaing antara kedua properti tersebut. Harga apartemen di wilayah kota penyangga seperti Depok dan Bekasi rata-rata masih tinggi dibanding harga rumah tapak di wilayah tersebut yang sebenarnya masih memiliki lahan cukup untuk rumah tapak.
"Konsumen akan memilih apartemen apabila harganya diperkirakan sepertiga dari harga membeli rumah tapak," jelasnya.
Berdasarkan catatan dari Panangian School, kebutuhan jenis properti yang terintegrasi dengan pusat transportasi umum atau transit oriented development (TOD) menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat perkotaan. Harga apartemen yang ditawarkan para pengembang di kawasan penyangga berkisar antara Rp500 jutaan untuk tipe studio terkecil. Padahal, harga jual rumah tapak di sekitar kawasan tersebut ditawarkan mulai dari Rp300 jutaan.
"Semakin mahal apartemen yang ditawarkan pengembang di kota penyangga, maka tujuan untuk mengurangi backlog (kekurangan pasokan) semakin menjauh," tutur Panangian.
Panangian menambahkan, hal ini berbeda dengan dua atau tiga tahun yang lalu saat harga apartemen di TOD masih ditawarkan dengan harga Rp250 juta sampai Rp300 jutaan, dan saat itu pasar pun merespons dengan cukup baik.
"Berbeda dengan sekarang pasar pembeli end user tidak mampu lagi untuk menjangkau harga tersebut, dan tergantikan dengan pasar investor yang membeli apartemen tersebut untuk disewakan lagi," tambahnya.
Bila menilai keduanya dari segi fasilitas, rumah tapak tentu kalah jauh dari apartemen. Biasanya, hunian vertikal tersebut telah dilengkapi berbagai fasilitas seperti kolam renang, peralatan fitnes, dan taman. Sedangkan komplek perumahan yang tidak begitu mewah jarang memberikan fasilitas tersebut.
"Sulit sekali mengukur kenyamanan antara rumah tapak dan apartemen, karena tergantung dari tiap-tiap orang. Tetapi, karena ukurannya yang terbilang mungil, apartemen tentu tidak nyaman ditinggali bersama keluarga dengan anak lebih dari dua, walaupun apartemen tersebut memiliki dua atau tiga kamar," jelas arsitek Deni Indra.
Baik rumah tapak maupun apartemen sebenarnya memiliki keunggulan dan kelemahan.Terlebih, di wilayah Jabodetabek kecuali Jakarta, permintaan properti untuk rumah tapak masih lebih tinggi daripada hunian vertikal atau apartemen. Di wilayah Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi, konsumen masih lebih meminati rumah tapak.
Hal ini dipertegas oleh pengamat bisnis properti Panangian Simanungkalit. Menurutnya, tinggal di apartemen belum menjadi pilihan utama bagi konsumen karena terpengaruh oleh perbandingan harga beli yang bersaing antara kedua properti tersebut. Harga apartemen di wilayah kota penyangga seperti Depok dan Bekasi rata-rata masih tinggi dibanding harga rumah tapak di wilayah tersebut yang sebenarnya masih memiliki lahan cukup untuk rumah tapak.
"Konsumen akan memilih apartemen apabila harganya diperkirakan sepertiga dari harga membeli rumah tapak," jelasnya.
Berdasarkan catatan dari Panangian School, kebutuhan jenis properti yang terintegrasi dengan pusat transportasi umum atau transit oriented development (TOD) menjadi salah satu alternatif bagi masyarakat perkotaan. Harga apartemen yang ditawarkan para pengembang di kawasan penyangga berkisar antara Rp500 jutaan untuk tipe studio terkecil. Padahal, harga jual rumah tapak di sekitar kawasan tersebut ditawarkan mulai dari Rp300 jutaan.
"Semakin mahal apartemen yang ditawarkan pengembang di kota penyangga, maka tujuan untuk mengurangi backlog (kekurangan pasokan) semakin menjauh," tutur Panangian.
Panangian menambahkan, hal ini berbeda dengan dua atau tiga tahun yang lalu saat harga apartemen di TOD masih ditawarkan dengan harga Rp250 juta sampai Rp300 jutaan, dan saat itu pasar pun merespons dengan cukup baik.
"Berbeda dengan sekarang pasar pembeli end user tidak mampu lagi untuk menjangkau harga tersebut, dan tergantikan dengan pasar investor yang membeli apartemen tersebut untuk disewakan lagi," tambahnya.
Bila menilai keduanya dari segi fasilitas, rumah tapak tentu kalah jauh dari apartemen. Biasanya, hunian vertikal tersebut telah dilengkapi berbagai fasilitas seperti kolam renang, peralatan fitnes, dan taman. Sedangkan komplek perumahan yang tidak begitu mewah jarang memberikan fasilitas tersebut.
"Sulit sekali mengukur kenyamanan antara rumah tapak dan apartemen, karena tergantung dari tiap-tiap orang. Tetapi, karena ukurannya yang terbilang mungil, apartemen tentu tidak nyaman ditinggali bersama keluarga dengan anak lebih dari dua, walaupun apartemen tersebut memiliki dua atau tiga kamar," jelas arsitek Deni Indra.