Merger dan Akuisisi Perbankan Tingkatkan Daya Saing

Kamis, 07 Januari 2021 - 08:11 WIB
loading...
Merger dan Akuisisi Perbankan Tingkatkan Daya Saing
Merger dan akuisisi perbankan jadi salah satu cara agar daya saing lebih kuat. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong industri perbankan menjalankan upaya konsolidasi baik melalui merger ataupun akuisisi . Konsolidasi perlu dilakukan untuk menciptakan struktur perbankan yang kuat, memperbesar skala usaha serta peningkatan daya saing melalui kemampuan inovasi.

Selain itu konsolidasi diyakini dapat berkontribusi signifikan dalam perekonomian nasional. Sebagai landasan tujuan tersebut, OJK menerbitkan Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tanggal 16 Maret 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang berlaku sejak diundangkan pada 17 Maret 2020.

Pengamat ekonomi dan perbankan yang juga Staf Ahli OJK Ryan Kiryanto mengatakan, spirit POJK.03/2020 adalah untuk meningkatkan daya saing dan kontribusi sektor perbankan terhadap perekonomian nasional. (Baca juga:Merger Bank Syariah BUMN Diharapkan Bisa Bersaing dengan Malaysia)

"Konsolidasinya bisa dilakukan secara organic growth yang butuh waktu lama dan atau secara non organic growth antara lain melalui merger dan atau akuisisi yang butuh waktu lebih cepat," katanya saat dihubungi di Jakarta, kemarin.

Menurut Ryan, pilihan konsolidasi terpulang kembali kepada pemilik, pemegang saham dan pengurus setiap bank."Yang juga harus dipahami, tidak ada batasan ideal berapa jumlah bank yang layak beroperasi karena yang menjadi preferensi adalah competitive advantage setiap bank yang diukur dari indikator besaran modal inti, kuatnya likuiditas, kualitas aset yang bagus dan efisiensi operasional yang optimal sehingga masuk kategori sound banks," jelas dia.

Maka dari itu, sambung Ryan, penting bagi setiap bank untuk secara terencana memperbaiki permodalan, likuiditas, aset berkualitas dan efisiensi operasional melalui digitalisasi. Adapun POJK Konsolidasi ini merupakan kebijakan strategis OJK yang telah ditetapkan sejak awal tahun 2020 dan sangat relevan dengan dinamika perekonomian yang saat ini tertekan akibat downside risk dari penyebaran Covid-19 yang dihadapi seluruh dunia termasuk Indonesia.

Ryan mengungkapkan, penerbitan POJK Konsolidasi dapat menjadi momentum dan landasan bagi industri perbankan untuk meningkatkan skala usaha serta peningkatan daya saing melalui peleburan, penggabungan dan pengambilalihan.

Terpisah, pengamat perbankan dari Binus University Doddy Ariefianto mengatakan, jumlah bank di Indonesia saat ini masih bisa diefisiensikan karena masih terlalu banyak. Per oktober 2020 saja sudah mencapai 110 bank umum yang beroperasi, 13 di antarnya bank BUKU I dengan modal di bawah Rp1 triliun dan sebanyak 60-an bank ada di BUKU II.

"Jadi kita bicara dimana lebih dari separuhnya sekitar 60%-70% itu bank yang dapat dikatakan tergolong kecil," kata Doddy.

Menurut dia, bisnis bank merupakan bisnis yang heavy capital sehingga untuk survive dan mampu berkembang salah satu caranya adalah mempunyai modal yang besar. "Jadi wacana konsolidasi mengurangi jumlah bank dan menjadikan setiap individu bank menjadi besar itu adalah re-efisiensi industri bank. Saya sendiri welcome ya dengan kebijakan konsolidasi ini, jadi caranya dengan menaikan jumlah modal minimun," beber Doddy.

Dia menegaskan, konsolidasi perbankan juga dibutuhkan agar bisa bersaing di kancah global. Untuk bisa bersaing tentu harus mempunyai modal yang besar sehingga memiliki daya tahan. “Bisnis bank itu merupakan highly regulated salah satu regulasinya adalah mempersyaratkan permodalan yang tebal,” katanya.

Dia mencontohkan jika bisnis selain bank seperti restoran atau supermarket ingin tutup bisa dilakukan kapan saja. Namun tidak bisa dengan bisnis bank yang perlu kehati-hatian jika ingin menutupnya. “Penutupan bank itu bukan hal yang gampang makanya menutup bank itu harus hati hati," jelas dia.

Persaingan Tinggi

Lebih lanjut Doddy mengatakan, dinamika persaingan industri perbankan di Indonesia cukup tinggi. Hal tersebut bisa ditandaian dengan adanya perang suku bunga antar bank.

"Sering sekali adanya episode perang suku bunga dan biasanya terjadi ketika ada pengetatan moneter seperti BI Rate naik. Nah disitu ada perang suku bunga, namanya perang jadi kompetitif," ujar dia.

Menurut Doddy, sebenarnya ada suatu leadership di industri perbankan baik dari sisi simpanan atau pinjaman meskipun tidak stabil. Meskipun terjadi pengetatan moneter, dimana likuditas bank tiba-tiba mengering namun perbankan tetap saja saling berebutan untuk mengambil dana yang ada dengan kata lain bunga.

"Jadi dengan kondisi ini, dimana konsolidasi sekalipun masih ada, itu jumlah bank BUKU 3 dan BUKU 4 masih sekitar 35. Dan dengan jumlah tersebut intensitas persiangan masih tinggi," katanya.

Di Indonesia, lanjut Dody, dengan kondisi industri perbankan yang merupakan salah satu paling menguntungkan di dunia, membuat bank-bank global mengincar untuk masuk Indonesia.

"Kalau dalam kondisi normal ya bukan kondisi sekarang itu kita punya NIM 5%, ROA di atas 2%, equity itu sekitar 20% dan di dunia tidak sampai 10 negara yang seperti ini. Makanya bank dari global yang ingin masuk ke Indonesia itu banyak," tandasnya.
(bai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1087 seconds (0.1#10.140)