Pakar Pangan IPB: 10 Tahun Pun Tak Cukup untuk Bisa Swasembada Gula

Jum'at, 08 Januari 2021 - 15:14 WIB
loading...
Pakar Pangan IPB: 10 Tahun Pun Tak Cukup untuk Bisa Swasembada Gula
Untuk bisa swasembada gula, pemerintah harus punya program yang masif, komprehensif, dan produksi harus digenjot luar biasa. (Foto: Dok. Sindonews)
A A A
BOGOR - Pakar Pangan dari IPB University Prof Dr Nuri Andarwulan menyebutkan gula pasir atau gula tebu termasuk salah sumber pangan penting yang dibutuhkan masyarakat. Kebutuhan gula konsumsi masyarakat Indonesia sekitar 6,5 juta ton per tahun, sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 2,3 juta ton.

Sehingga, demi mencukupi kebutuhan konsumsi, pemerintah Indonesia melakukan impor sebanyak 4,2 juta ton. Di sisi lain, pemerintah memiliki rencana berupa swasembada gula.

(Baca juga:Askrindo Kucurkan Dana Kemitraan Rp11,3 Miliar ke 123 Petani Tebu)

Menurutnya jika ingin swasembada gula, pemerintah harus punya program yang masif dan komprehensif, produksi harus digenjot luar biasa. Di Indonesia, hanya ada tiga industri yang mampu memproduksi gula dengan kualitas yang baik dari 41 industri yang ada.

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah kebutuhan bibit unggul tanaman tebu yang menghasilkan produktivitas tinggi dan tahan kekeringan. Dan yang lebih penting lagi adalah ketersediaan lahan.

(Baca juga:Mahasiswa UMM Rancang Alat Optimalisasi Sistem Panen Tebu)

“Oleh karena itu, swasembada ini tidak akan bisa dicapai meski dikerjakan hingga sepuluh tahun ke depan, Indonesia tidak akan sanggup. Untuk mengeluarkan izin bibit unggul transgenik pun membutuhkan 10-15 tahun,” ungkapnya dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/1/2021).

Menurutnya, varietas tanaman tebu unggul transgenik tahan kekeringan sudah mendapatkan izin di tahun 2019 dan harusnya ada program menanam, namun saat ini ada pandemi.

(Baca juga:Bea Cukai Bengkalis bersama Satpolair Tindak Penyelundupan 600 Karung Gula Pasir Asal Malaysia)

“Selain itu, kebutuhan akan lahan tahan kering juga menjadi tantangan. Harus pula dipikirkan teknologi pertaniannya, juga pabrik gula dengan teknologi yang memadai untuk menghasilkan gula dengan kualitas yang bagus atau setara gula impor,” jelasnya.

Terkait produk gula yang beredar di Indonesia, ia menyampaikan bahwa gula banyak jenisnya. Akan tetapi yang telah memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) ada tiga.

(Baca juga:HET Gula Pasir Rp12.500/Kg, Bulog Jateng Pasok Pedagang Pasar)

SNI Raw Sugar, SNI untuk gula kristal putih dan SNI untuk gula putih rafinasi. Gula putih rafinasi dalam kebijakan Indonesia tidak boleh dijual untuk ritel. Gula rafinasi ditujukan untuk kebutuhan industri.

Sementara itu, gula kristal putih mewadahi hasil produsen dalam negeri. Gula jenis ini boleh dijual retail termasuk di dalamnya untuk Usaha Kecil Menengah (UKM).

“Fakta di lapangan, gula kristal putih rafinasi juga disukai oleh retail dan juga UKM karena warna lebih putih dan kualitas lebih bagus, sehingga pengawasan kebocoran atau penjualan gula rafinasi ke pasar merupakan pekerjaan yang tidak sederhana,” tandasnya.

(Baca juga:Kemendag Gelar Operasi Pasar untuk Stabilkan Harga Gula Pasir di Bogor)

Untuk itu, program swasembada gula pasir seharusnya tidak menjadi kebijakan sesaat atau kebijakan lima tahunan. Akan tetapi harus menjadi kebijakan jangka panjang karena dilihat dari simpulnya yang berhubungan dengan hulu hingga hilir.

Mulai dari bibit, lahan dan upgrading teknologi yang jika dilakukan tentu dengan biaya tidak sedikit. Sementara saat ini gula produk impor jauh lebih murah dari produksi dalam negeri.

“Brasil dan Thailand bisa ekspor karena negara tersebut sudah menerapkan budidaya dan teknologi proses yang efisien,” imbuhnya.
(dar)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1513 seconds (0.1#10.140)