Cegah Tuwir Sebelum Tajir, Dana Abadi SWF Jadi Pertaruhan Indonesia

Senin, 25 Januari 2021 - 10:32 WIB
loading...
Cegah Tuwir Sebelum...
LPI atau sovereign wealth fund (SWF) diharapkan akan menarik investasi asing untuk pembangunan dan menggenjot ekonomi nasional. Dimana Indonesia berisiko growing old before growing rich alias tuwir sebelum tajir. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF) diharapkan akan menarik investasi asing untuk pembangunan dan menggenjot ekonomi nasional. Mengutip laporan Bank Dunia tahun 2014 Indonesia: Avoiding the Trap, yaitu Indonesia berisiko growing old before growing rich alias tuwir sebelum tajir.

Pemerintah menargetkan di akhir Januari 2021 akan mulai mengoperasikan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF). Peran LPI akan menjadi sangat penting bagi Indonesia.



Karena menurut Kepala Makroekonomi dan Direktur Strategi Investasi, PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, saat ini Indonesia berkejaran dengan waktu sebelum kehilangan momentum bonus demografi. "Ini bahaya kalau pertumbuhan ekonomi kita hanya 6% dalam periode 2013-2030," kata Budi di Jakarta, Senin (25/1/2021).

Demi mencegah kemalangan itu tidak terjadi, Pemerintah berupaya memperkuat infrastruktur dan sumber daya manusia, mengikuti saran Bank Dunia (closing infrastructure and skill gaps).

Namun, Bahana TCW, juga melihat risiko perang dagang 2019 dan pandemi COVID-19 2020 telah memperburuk risiko saat penduduk Indonesia mulai menua di 2030. Upaya mempercepat penyediaan infrastruktur untuk memacu produktivitas dan daya saing telah memperberat kondisi keuangan perusahaan milik negara (BUMN).

"Negara ini harus bisa meningkatkan PDB per kapita yang saat ini sekitar USD4.500 per tahun, menjadi minimal USD12.000 per tahun dalam waktu 10 tahun hingga tahun 2030. Atau dibutuhkan pertumbuhan per tahun 10,3% dalam USD," katanya.

Karena itu dia mewanti-wanti SWF agar dikelola dengan benar. Karena beresiko bagi beban negara akan bertambah bila BUMN tersebut jatuh bangkrut dan meninggalkan infrastruktur yang belum membuahkan hasil.

Di samping itu, beban pembayaran bunga naik, dari sekitar 12% pendapatan negara menjadi 21%. "Sebuah beban yang luar biasa tinggi sehingga membatasi negara dalam berhutang,” ungkap Budi Hikmat.

Di atas kertas, saat ini dunia di tengah pandemi dibanjiri dengan limpahan likuiditas. Kelebihan likuiditas tercermin dengan rendahnya suku bunga, diyakini dapat memicu aset reflation selain pelemahan USD.

Konflik geopolitik dan antisipasi berulangnya pandemi memicu perubahan strategi bisnis dan jalur pasokan (supply chain). Indonesia yang memiliki segmen kelas menengah yang tengah tumbuh dan sumber daya alam yang melimpah dianggap memiliki kesempatan untuk menjadi bagian dari sistem rantai pasok baru.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1738 seconds (0.1#10.140)