Lelang 5G Dibatalkan, Indosat dan Tri Perlu Tinjau Ulang Konsolidasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembatalan lelang 5G oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dinilai bisa menggangu iklim investasi sektor telekomunikasi . Bahkan, rencana konsolidasi antara PT Indosat Tbk (ISAT) dengan PT Hutchinson 3 Indonesia bisa ditinjau ulang atau malah batal jika tidak menguntungkan kedua belah pihak.
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencabut keputusan hasil lelang blok pita frekuensi radio 2,3 GHz pada rentang 2.360-2390 MHz. Frekuensi tersebut direncanakan akan dipakai untuk menggelar jaringan 5G di Indonesia.
Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menilai bagi kedua operator tersebut, tentu saja konsolidasi merupakan sesuatu yang serius. Namun pascakeputusan Kominfo tersebut, membuat perkembangan terbaru ini akan juga sedikit banyak memengaruhi rencana dan kalkulasi dari kedua operator.
"Rencana yang tadinya mulus bisa jadi ada diskusi kembali. Meski peluang konsolidasi tetap besar tapi pembatalan hasil lelang membuat strategi ke depan berubah," ujar Heru saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Rabu (27/1/2021).
Namun dia juga meyakini posisi Tri masih akan tetap memberikan nilai tawar yang tinggi kedepannya. Namun masih harus ditunggu perkembangan kesepakatan kedua belah pihak. "Secara bisnis dan kepemilikan frekuensi Tri dinilai masih tetap menarik. Meski kita tidak tahu detail yang diakusisi Tri atau Indosat. Atau konsolidasinya berupa penggunaan frekuensi bersama," lanjutnya.
Heru melanjutkan, pembatalan lelang tersebut tentu dipantau dunia internasional sehingga berhubungan dengan kepercayaan investor luar negeri. "Lelang ini dilakukan tahun 2020. Artinya, semua operator sudah berhitung, termasuk punya perencanaan. Ini perlu penjelasan yang lebih rinci bagi masyarakat terutama investor," ungkapnya.
Menurut dia, frekuensi menjadi salah satu alat kompetisi bagi operator sehingga tiap operator akan berlomba-lomba mendapatkan frekuensi sebanyak-banyak. Apalagi kebutuhan masyarakat akan internet semakin tinggi.
"Sehingga kalau dibatalkan, operator akan berhitung lagi. Proses negosiasi akan diulang lagi, apakah akan ada revisi atau tidak. Kalau misalnya konsolidasinya seperti apa kita belum tahu," tuturnya.
Dia menuturkan, sebenarnya kehadiran 5G tidak terlalu berpengaruh kepada operator karena 2,3 GHz bukan frekuensi yang cocok untuk 5G saat ini. Bahkan di beberapa negara jaringan 5G digunakan pada frekuensi 3,5 GHz dan 2,5-2,6 GHz.
"Sebenarnya 5G adalah sebuah evolusi. Jadi sebuah keniscayaan untuk teknologi agar bergerak ke 5G. Cuma apakah sekarang tepat?" tandasnya.
Sementara Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Nonot Harsono mengingatkan pita frekuensi 2,3 dalam keputusan pemerintah tersebut tidak sama dengan pita 5G.
"Jangan disamakan 2,3 dan 5G. Walaupun tidak mendapatkan tambahan 10 MHz di pita 2,3 GHz, itu tidak berdampak pada Tri. Sama sekali tidak berpengaruh. Kecuali itu dibuat-buat seolah penting," jelas Nonot.
Dia juga menambahkan untuk pita 2300 MHz, Indosat tidak punya 30MHz seperti yang dimiliki TSEL dan SmartFren. Karena itu dia menilai konsolidasi tetap penting untuk dilanjutkan. "Keduanya harus mau bergabung karena sekarang ini masa sulit," tegasnya.
Sebelumnya, manajemen Indosat dan Hutchinson belum mengungkapkan secara gamblang rencana konsolidasi kedua perusahaan. Chief Financial Officer Indosat, Eyas Naif Assaf mengungkapkan, hingga saat ini belum ada progres yang signifikan terkait kerja sama Indosat dan Tri.
"Tidak ada dampak material terhadap operasional, hukum kondisi keuangan dan/atau kelangsungan usaha perusahaan. Pemegang saham (pada) 28 Desember 2020 sudah (menyepakati) mengenai transaksi tersebut melalui legally MoU," jelas Naif.
Seperti diketahui, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencabut keputusan hasil lelang blok pita frekuensi radio 2,3 GHz pada rentang 2.360-2390 MHz. Frekuensi tersebut direncanakan akan dipakai untuk menggelar jaringan 5G di Indonesia.
Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menilai bagi kedua operator tersebut, tentu saja konsolidasi merupakan sesuatu yang serius. Namun pascakeputusan Kominfo tersebut, membuat perkembangan terbaru ini akan juga sedikit banyak memengaruhi rencana dan kalkulasi dari kedua operator.
"Rencana yang tadinya mulus bisa jadi ada diskusi kembali. Meski peluang konsolidasi tetap besar tapi pembatalan hasil lelang membuat strategi ke depan berubah," ujar Heru saat dihubungi MNC Portal Indonesia, Rabu (27/1/2021).
Namun dia juga meyakini posisi Tri masih akan tetap memberikan nilai tawar yang tinggi kedepannya. Namun masih harus ditunggu perkembangan kesepakatan kedua belah pihak. "Secara bisnis dan kepemilikan frekuensi Tri dinilai masih tetap menarik. Meski kita tidak tahu detail yang diakusisi Tri atau Indosat. Atau konsolidasinya berupa penggunaan frekuensi bersama," lanjutnya.
Heru melanjutkan, pembatalan lelang tersebut tentu dipantau dunia internasional sehingga berhubungan dengan kepercayaan investor luar negeri. "Lelang ini dilakukan tahun 2020. Artinya, semua operator sudah berhitung, termasuk punya perencanaan. Ini perlu penjelasan yang lebih rinci bagi masyarakat terutama investor," ungkapnya.
Menurut dia, frekuensi menjadi salah satu alat kompetisi bagi operator sehingga tiap operator akan berlomba-lomba mendapatkan frekuensi sebanyak-banyak. Apalagi kebutuhan masyarakat akan internet semakin tinggi.
"Sehingga kalau dibatalkan, operator akan berhitung lagi. Proses negosiasi akan diulang lagi, apakah akan ada revisi atau tidak. Kalau misalnya konsolidasinya seperti apa kita belum tahu," tuturnya.
Dia menuturkan, sebenarnya kehadiran 5G tidak terlalu berpengaruh kepada operator karena 2,3 GHz bukan frekuensi yang cocok untuk 5G saat ini. Bahkan di beberapa negara jaringan 5G digunakan pada frekuensi 3,5 GHz dan 2,5-2,6 GHz.
"Sebenarnya 5G adalah sebuah evolusi. Jadi sebuah keniscayaan untuk teknologi agar bergerak ke 5G. Cuma apakah sekarang tepat?" tandasnya.
Sementara Ketua Bidang Infrastruktur Broadband Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) Nonot Harsono mengingatkan pita frekuensi 2,3 dalam keputusan pemerintah tersebut tidak sama dengan pita 5G.
"Jangan disamakan 2,3 dan 5G. Walaupun tidak mendapatkan tambahan 10 MHz di pita 2,3 GHz, itu tidak berdampak pada Tri. Sama sekali tidak berpengaruh. Kecuali itu dibuat-buat seolah penting," jelas Nonot.
Dia juga menambahkan untuk pita 2300 MHz, Indosat tidak punya 30MHz seperti yang dimiliki TSEL dan SmartFren. Karena itu dia menilai konsolidasi tetap penting untuk dilanjutkan. "Keduanya harus mau bergabung karena sekarang ini masa sulit," tegasnya.
Sebelumnya, manajemen Indosat dan Hutchinson belum mengungkapkan secara gamblang rencana konsolidasi kedua perusahaan. Chief Financial Officer Indosat, Eyas Naif Assaf mengungkapkan, hingga saat ini belum ada progres yang signifikan terkait kerja sama Indosat dan Tri.
"Tidak ada dampak material terhadap operasional, hukum kondisi keuangan dan/atau kelangsungan usaha perusahaan. Pemegang saham (pada) 28 Desember 2020 sudah (menyepakati) mengenai transaksi tersebut melalui legally MoU," jelas Naif.
(fai)