Mengandalkan Bansos, Membangkitkan Perekonomian

Kamis, 28 Januari 2021 - 05:54 WIB
loading...
Mengandalkan Bansos, Membangkitkan Perekonomian
Bantuan sosial (Bansos) yang sasaran penerimanya diperluas diharapkan mampu mengungkit daya beli masyarakat. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memastikan melanjutkan program bantuan sosial atau bansos di 2021. Langkah ini bukan sekadar untuk mengantipisasi kerentanan akibat persoalan sosial muncul akibat Covid-19, tapi juga menjadi andalan untuk membangkitkan perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat pandemi Covid-19 .

Selain Indonesia, program sama ternyata juga menjadi andalan banyak negara lainnya. Bahkan bukan hanya di negara berkembang saja, negara maju Jepang, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Prancis, dan Australia.

Di Tanah Air, Bansos yang menjadi satu paket progam penanganan Covid-19 memang bisa menjadi harapan utama, terutama untuk mendongkrak daya beli masyarakat, karena jumlah yang dianggarkan sangat besar. Besaran alokasi anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021 mencapai Rp553,09 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dari pagu semula yang ditetapkan dalam UU Undang-Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, yakni Rp365,5 triliun.

(Baca juga: Bansos Tunai Rp300 Ribu Dikirim Selama 4 Bulan, Sri Mulyani Masih Mikir Kelanjutannya )

Langkah pemerintah ini selaras dengan kebijakan strategis APBN 2021 yang diarahkan untuk mendukung percepatan pemulihan dan akselerasi pemulihan transformasi ekonomi . Karena itu, melalui program PEN, pemerintah terus melanjutkan program-program recovery atau pemulihan yang memungkinkan mampu mendorong kinerja industri, UMKM, serta meningkatkan daya beli masyarakat pada 2021.

Kebijakan pemerintah mengandalkan bansos sebagai instrumen penting kebangkitan ekonomi nasional mendapat dukungan penuh Ketua MPR Bambang Soesatyo. Dia pun meminta pemerintah untuk dapat merealisasikan anggaran penanganan Covid-19 dan PEN 2021 tersebut sesuai dengan program dan target yang sudah ditetapkan, dengan difokuskan pada empat aspek yakni kesehatan, perlindungan sosial, program prioritas kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

"Pemerintah harus memastikan program PEN juga diiringi dengan penanganan Covid-19 yang maksimal, mengingat pemulihan ekonomi dapat terwujud secara beriringan dengan menurunnya jumlah kasus Covid-19 serta kembali normalnya aktivitas-ekonomi masyarakat," katanya, kemarin.

(Baca juga: Siapa yang Berhak Menerima BLT Rp17,4 Juta Sekeluarga? Cek di Sini Bunda )

Dia juga menggariskan pentingnya komitmen kementerian dan lembaga khususnya Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk terus mendukung realisasi PEN dalam APBN 2021 secara optimal dan tepat sasaran agar upaya pemulihan dan pertumbuhan ekonomi dapat segera terwujud.

"Kami meminta pemerintah untuk memastikan bantuan sosial masyarakat yang telah dianggarkan dapat tersalurkan dengan baik dan tepat sasaran sesuai dengan jumlah yang ditentukan, serta dapat segera direalisasikan agar dapat membantu perekonomian masyarakat terus berputar sehingga dapat berdampak baik pada pemulihan ekonomi nasional," katanya.

Pengamat ekonomi Nailul Huda juga melihat bansos sebagai instrumen strategis meningkatkan perekonomian nasional, terutama untuk memacu daya beli masyarakat. Dia menggariskan, tujuan ini akan efektif jika bansos beralih dari produk ke tunai.

‘’Ini sangat menarik banget. Saya rasa BLT ini lebih efektif untuk mendorong perekonomian dibandingkan produk. Karena apa? BLT ini bisa meningkatkan multiplier ekonomi. Kalau dikasih uang bisa dibelanjakan di toko-toko sebelah,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Rabu (27/1/2021).

(Baca juga: Pak Anies, Kenapa yang Tidak Tinggal Sesuai KTP dan KK Bisa Dapat Bansos? )

Dengan pemberian tunai, perputaran uang akan berada di masyarakat. Berbeda dengan bansos berupa sembako yang uangnya hanya berputar pada kalangan tertentu saja. Peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ini mengatakan pemerintah juga harus menambah bantuan untuk sektor UMKM, baik dari sisi besaran uang maupun penerima.

“Ekonomi kita ditopang oleh UMKM. Tenaga kerja banyak diserap UMKM, dan pelaku usaha itu banyak UMKM. Refocusing anggaran PEN seharusnya ini lebih ke UMKM dengan berbagai skema. Kalau itu dijalankan, UMKM dan BLT, pertumbuhan ekonomi akan lebih baik,” prediksinya.

Dia kemudian menuturkan, pelaku usaha informasi, seperti UMKM, ini memang sangat terdampak pandemi Covid-19. Mereka, menurut Nailul, membutuhkan bantuan permodalan. Sejak tahun lalu, pemerintah mengalirkan dana 2,4 juta untuk setiap UMKM. Totalnya ada 12 juta UMKM yang mendapatkan. “Menurut survei, 22 persen UMKM mengeluhkan permodalan. Artinya, modal untuk berproduksi habis. Skema pemberiannya bisa seperti BLT,” tutur Nailul.

Lebih dari itu, poandemi Covid-19 ini telah membuat perekonomian Indonesia dan banyak negara terkontraksi. Akibatnya, banyak pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), dirumahkan, dan gajinya dipotong. Untuk mendongkrak konsumsi mereka, dibutuhkan bantuan pemerintah. Besaran BLT dari pemerintah variatif antara Rp300.000-600.000 per keluarga.

Nailul Huda menilai jumlah Rp600.000 itu kurang untuk satuan keluarga. Lepas dari itu, dia meminta pemerintah memperbaiki data dan validasi calon penerima agar BLT tepat sasaran. Jika datanya akurat, ada kemungkinan data penerima itu bisa berkurang. Nah, sisa anggaran itu bisa dialihkan kepada orang-orang yang belum menerima bantuan.

Dalam skema PEN, BLT ini akan diberikan selama enam bulan. “Ini kurang. Kalaupun ada vaksin dan sebagainya, mobilitas orang enggak langsung cepat. Artinya, perekonomian akan berjalan tidak secepat yang diharapkan. Vaksin tidak semuanya, tahun ini berapa persen, ini akan menahan laju mobilitas penduduk. Ketika masih tertahan, otomatis pandemi ini masih ada tahun ini. Artinya, bantuan itu harus ditambah lagi jangka waktunya,” pungkasnya.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto dalam webinar bertajuk 'Akselerasi Pemulihan Ekonomi' (26/1) telah menegaskan pemerintah terus berupaya mempercepat pemulihan ekonomi yang terdampak COVID-19. Di 2021 ini, pemerintah menyediakan alokasi anggaran Rp 553,09 triliun untuk percepatan pemulihan ekonomi (PCPEN) dengan cara memberikan bantuan sosial (bansos) di beberapa sektor untuk mendongkrak daya beli masyarakat.

"Artinya pemerintah sudah melihat bahwa pemulihan ekonomi di 2021 ini memerlukan support yang sama dengan 2020 karena dilihat pandemi COVID sampai menyelesaikan vaksinasi selama 1 tahun, maka sebelum mencapai herd immunity maka beberapa sektor terus harus didukung,’’ ujar Airlangga.

Pada momen tersebut dia memaparkan sejumlah program yang menjadi andalan. Antara lain 7 program bansos dengan anggaran sebesar Rp 150,96 triliun; bantuan untuk di sektor kesehatan sebesar Rp 104,70 triliun;, bantuan program prioritas juga akan dilanjutkan di 2021 dengan anggaran Rp 141,36 triliun dari yang tahun sebelumnya hanya Rp 66,59 triliun. Bantuan itu untuk dukungan pariwisata, ketahanan pangan atau

Program prioritas dimaksud meliputi food estate, pengembangan ICT, pinjaman ke daerah dan subsidi pinjaman daerah pada kegiatan berbasis padat karya, hingga untuk pengembangan kawasan industri di Jawa Utara.Juga untuk dukungan UMKM yang jumlah anggarannya menjadi Rp 173,17 triliun, lebih banyak dari tahun sebelumnya sebesar Rp 156,06 triliun.

Sebagai informasi, saat ini ekonomi Tanah Air sudah memberikan indikator perbaikan. Hal ini terlihat dari sejumlah indikator tersebut tercermin dalam Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada Desember 2020 lalu yang masuk ke zona ekspansi. Selain itu, ada Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) serta harga-harga komoditas juga berangsur membaik, dan mulai naik didorong oleh adanya perbaikan permintaan (demand).

Jepang Paling Responsif

Pandemi virus korona (Covid-19) juga menyebabkan banyak negara lain melakukan aksi belanja untuk darurat dan penyelamatan untuk memperlambat dan menghambat kontraksi ekonomi terburuk sejak 1930-an. Berdasarkan analisis Dana Moneter Internasional (IMF) , sejak 7 April lalu, negara di berbagai dunia sudah menyepakati dana darurat sebesar USD4,5 triliun.

Siapa yang paling agresif? “Respons yang paling agresif adalah Jepang dengan memberikan paket bantuan dan antisipasi Covid-19 sebesar 20% dari ekonomi negara tersebut atau Pendapatan Domestik Bruto (PDB),” ungkap pakar ekonomi Universitas Columbia, Ceyhun Elgin.

Langkah sama juga dilakukan Amerika Serikat (AS) yang mengalokasikan anggaran 14% dari PDB, Australia pada kisaran 11%, Kanada hanya 8,4%, Inggris mengalokasikan 5%, Kolumbia sekitar 1,5% dan Gambia sekitar 0,6% dari PDB. Di negara Eropa, dana darurat Covid-19 digunakan untuk menjamin pinjaman baru bagi pengusaha yang terdampak lockdown sehingga mencegah perusahaan mengalami kebangkrutan. Di AS juga melakukan hal yang sama.

Respons dan strategi yang ditempuh setiap negara berbeda-beda. AS dan Jepang memiliki pengelolaan pembiayaan baik karena investor tertarik membeli obligasi yang dikeluarkan pemerintah. “Semua negara memiliki paket berbeda, mereka mungkin memiliki dampak yang beragam dan menciptakna hasil yang beragam,” ungkapnya.

Selain perusahaan, bantuan langsung tunai juga diberikan kepada warga miskin dan orang yang bekerja di sektor informal. Warga yang terdampak lockdown juga akan mendapatkan bantuan. Misalnya, Kanada memberikan bantuan USD1.400 per bulan bagi warga yang kehilangan pekerjaan karena pandemi selama empat bulan. Adapun Kosta Rika memberikan bantuan USD220 per bulan bagi warga yang kehilangan pekerjaan, sedangkan Singapura memberikan bantuan tunai senilai USD422, dan Jepang memberikan USD931

Sedangkan di Eropa, kebanyakan negara mengandalkan program jaringan keamanan sosial yang sudah kuat. Misalnya, di Inggris menggunakan kredit universal untuk bisa memenuhi kebutuhhan warganya. “Itu bertujuan untuk menstabilkan ekonomi,” kata Paolo Mauro, deputi direktur Dana Moneter Internasional, dilansir BBC.

Strategi lain yang digunakan pemerintah adalah membantu membayar kredit perusahaan yang terdampak pandemi. Itu berharap menjadikan perusahaan tidka melakukan pemutusan hubungan kerja dan ekonomi tetap bergerak. Belanda bahka mengganti 90% gaji karyawan bagi perusahaan tertentu, sedangkan Prancis mengganti 84% gaji karyawan yang terdampak pandemi.

“Memberikan subsidi gaji sangat masuk akal jika lockdown diberlakukan secara singkat,” kata Daniel Bunn, wakil presiden Tax Foundation, think tank asal Washington. Namun, subsidi gaji tidak akan efektif jika pandemi berlangsung lama.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1454 seconds (0.1#10.140)