Terinspirasi A.T Mahmud, Sayur Kendal Pelihara Lingkungan Hidup Lewat Bacaan

Rabu, 27 Januari 2021 - 17:52 WIB
loading...
Terinspirasi A.T Mahmud, Sayur Kendal Pelihara Lingkungan Hidup Lewat Bacaan
Pemasok sayuran segar dari petani lokal, Sayur Kendal menyadari pentingnya menanamkan kecintaan terhadap lingkungan hidup sedari dini. Terinspirasi A.T Mahmud, Sayur Kendal pelihara lingkungan hidup lewat bacaan. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Pemasok sayuran segar dari petani lokal, Sayur Kendal menyadari pentingnya menanamkan kecintaan terhadap lingkungan hidup sedari dini. Terinspirasi A.T Mahmud, Sayur Kendal pelihara lingkungan hidup lewat bacaan.

"Kita kehilangan A.T. Mahmud, karena dia mengingatkan kita bahwa anak-anak telah beranjak dewasa tanpa melalui kekanak-kanakannya. Komponis lagu anak yang berpulang 11 tahun lalu ini telah menunjukkan betapa anak-anak kita telah menjadi miniatur orang dewasa: menyanyikan lagu cinta orang dewasa, menari dan berpakaian sebagaimana orang dewasa," ucap CEO Sayur Kendal, Fredi Rao.



Sosok seperti A.T. Mahmud telah mendudukkan anak pada tempatnya: dunia anak yang ajaib, serba mungkin, dengan imajinasi yang tidak bertepi. Dan Tasya, penyanyi dengan suara masih kekanak-kanakan itu kini ia sudah mengantungi gelar S2—seolah-olah mewakili gadis kecil di dalam “Totto-chan” karya Tetsuko Kuroyanagi yang senang melamun, suka berbicara kepada burung, dan menatap ke luar jendela.

Di antara ratusan lagu gubahan A.T Mahmud, ada "Pelangi-Pelangi", "Bintang Kejora," "Cemara", "Pemandangan", atau "Ambilkan Bulan Bu" yang merupakan refleksi eksplorasi si anak akan fenomena alam. Di sinilah ia menggambarkan sawah seperti permadani dan gunung yang berpayung awan dalam "Pemandangan", atau gerak cemara seperti tangan penari dalam “Cemara.”

Ada lonjakan kegembiraan seorang anak kota ketika paman mengajaknya berlibur di desa dalam "Paman Datang." Terbayang sudah hal-hal menyenangkan seperti mandi di sungai, turun ke sawah, dan menggiring kerbau ke kandang.

Apa yang terjadi di dunia sastra anak mungkin tidak “sedramatis” di dunia musik anak. Ada puluhan, bahkan ratusan penulis yang dengan senang hati menyebut dirinya penulis cerita anak. Namun jelas kita kehilangan sosok seperti Toha Mochtar, Trim Sutedja, Abdul Hadi W.M, Leila S. Chudori, Julius Siyaranamual, Mohamad Sobary, atau Arswendo Atmowiloto dan lain-lain yang pernah menumpahkan kreativitas sastranya untuk dunia kecil yang sarat imajinasi dan rasa ingin tahu itu pada 1980-1990’an.

Di tangan mereka dongeng itu menjadi sastra. Dan mereka sadar, usia 6 – 11 tahun merupakan sebuah ‘golden periode’. Masa yang bakal menentukan apakah si anak akan menjadi manusia yang produktif atau konsumtif, kreatif atau pasif, imajinatif atau mekanistis, punya sensitivitas yang tinggi terhadap pelestarian alam atau meletakkan faktor komersil di atas segalanya.

Memang sudah saatnya kita membicarakan masalah lingkungan hidup. Tatkala pembabatan hutan kemudian menerbitkan banjir yang tak terbayangkan, dan sisa-sisa penambangan menciptakan danau-danau buatan di Kalimantan, sastra pun layak berwarna “hijau.” Termasuk sastra anak yang, misalnya, berkisah tentang seorang raksasa vegetarian –tubuhnya setinggi tugu Monas, dan sepatunya seukuran bus kota-- yang sekonyong-konyong masuk kota.

Dia terpaksa turun gunung karena pohon-pohon pinus yang merupakan makanan kegemarannya, digusur-ditebang pengembang yang berencana mendirikan villa. Tentu saja dongeng yang mengandung pesan “hijau” dan disampaikan dalam tata bahasa yang apik dan narasi indah itu sangat diperlukan.

Sastra Hijau itu Kaya
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1419 seconds (0.1#10.140)