Tantangan Memaksimalkan Bonus Demografi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Besarnya jumlah penduduk berusia produktif yang mencapai 70,2% dari total populasi di Tanah Air diyakini menjadi modal besar dalam menopang pembangunan nasional. Namun, untuk mewujudkannya memerlukan strategi jitu agar melimpahnya kelompok usia produktif bisa memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi perekonomian.
Masalahnya, di masa pandemi Covid-19 yang masih belum mereda, keberadaan kelompok berusia produktif ini justru terancam. Pandemi telah berdampak pada bertambahnya jumlah pengangguran, berkurangnya lapangan kerja, hingga kehilangan pendapatan masyarakat akibat terpangkasnya peluang ekonomi dan jam kerja.
(Baca juga: Ada 184 Juta Penduduk Muslim Dewasa di 2025, Erick Thohir: Pasar Besar bagi BSI )
Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diliris pekan lalu, penduduk produktif di Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk (SP) 2020 mencapai 70,2% dari total polulasi 270,2 juta jiwa per September lalu. Artinya, ada sekitar 194,5 juta jiwa yang masuk usia produktif di rentang usia 15-64 tahun. Data BPS ini sedikit berbeda dengan angka yang disampaikan dalam sistem Administrasi Kependudukan (Adminduk) 2020 yang sebesar 271,35 juta jiwa per Desember lalu.
Kondisi ini, ujar Kepala BPS Suhariyanto, menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam masa bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya tahun ini. Menurut dia, data tersebut akan bermanfaat tidak hanya untuk membuat perencanaan di masa kini tetapi juga mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa depan.
(Baca juga: Memanfaatkan Penduduk Produktif di Masa Pandemi )
Meski terdapat perbedaan jumlah jiwa, namun data BPS dan Adminduk yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sesungguhnya sudah menyatu. Perbedaan tersebut wajar karena perhitungannya memiliki selisih dua bulan.
Di samping itu, adanya perbedaan angka jumlah penduduk tersebut karena perhitungan BPS berdasarkan de facto, sementara Adminduk menggambarkan secara de jure. Perbedaan ini di antaranya karena adanya penduduk yang tinggal sementara di kota lain karena alasan pendidikan/kuliah, atau bekerja.
Lalu, bagaimana seharusnya Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi sebesar itu? Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui, bonus demografi bagaikan pisau bermata dua. Menurut Ida, jika dapat mengelola dengan baik maka hal akan menjadi berkah demografi yang sangat penting untuk menopang pembangunan ekonomi.
“Tetapi, di sisi yang lain jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi musibah demografi karena dapat mengakibatkan ledakan angka pengangguran,” kata Ida kepada KORAN SINDO, Kamis, (28/01/21).
Masalahnya, di masa pandemi Covid-19 yang masih belum mereda, keberadaan kelompok berusia produktif ini justru terancam. Pandemi telah berdampak pada bertambahnya jumlah pengangguran, berkurangnya lapangan kerja, hingga kehilangan pendapatan masyarakat akibat terpangkasnya peluang ekonomi dan jam kerja.
(Baca juga: Ada 184 Juta Penduduk Muslim Dewasa di 2025, Erick Thohir: Pasar Besar bagi BSI )
Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS) yang diliris pekan lalu, penduduk produktif di Indonesia berdasarkan Sensus Penduduk (SP) 2020 mencapai 70,2% dari total polulasi 270,2 juta jiwa per September lalu. Artinya, ada sekitar 194,5 juta jiwa yang masuk usia produktif di rentang usia 15-64 tahun. Data BPS ini sedikit berbeda dengan angka yang disampaikan dalam sistem Administrasi Kependudukan (Adminduk) 2020 yang sebesar 271,35 juta jiwa per Desember lalu.
Kondisi ini, ujar Kepala BPS Suhariyanto, menunjukkan bahwa Indonesia masih dalam masa bonus demografi yang diperkirakan mencapai puncaknya tahun ini. Menurut dia, data tersebut akan bermanfaat tidak hanya untuk membuat perencanaan di masa kini tetapi juga mengantisipasi apa yang akan terjadi di masa depan.
(Baca juga: Memanfaatkan Penduduk Produktif di Masa Pandemi )
Meski terdapat perbedaan jumlah jiwa, namun data BPS dan Adminduk yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sesungguhnya sudah menyatu. Perbedaan tersebut wajar karena perhitungannya memiliki selisih dua bulan.
Di samping itu, adanya perbedaan angka jumlah penduduk tersebut karena perhitungan BPS berdasarkan de facto, sementara Adminduk menggambarkan secara de jure. Perbedaan ini di antaranya karena adanya penduduk yang tinggal sementara di kota lain karena alasan pendidikan/kuliah, atau bekerja.
Lalu, bagaimana seharusnya Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi sebesar itu? Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah mengakui, bonus demografi bagaikan pisau bermata dua. Menurut Ida, jika dapat mengelola dengan baik maka hal akan menjadi berkah demografi yang sangat penting untuk menopang pembangunan ekonomi.
“Tetapi, di sisi yang lain jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi musibah demografi karena dapat mengakibatkan ledakan angka pengangguran,” kata Ida kepada KORAN SINDO, Kamis, (28/01/21).