Tantangan Memaksimalkan Bonus Demografi
loading...
A
A
A
“Enggak akan kehilangan generasi. Lost generation itu kalau betul-betul tidak ada usaha melakukan pendidikan. Tidak ada usaha kesehatan. Jadi masyarakat dibiarkan tidak belajar, fasilitas kesehatan, dan segala macam itu baru lost generation. Itupun kalau dilaksanakan dalam jangka panjang,” ujarnya saat dihubungi KORAN SINDO, Kamis (28/01/21).
Dia menerangkan, tidak ada orang yang mengharapkan dan siap menghadapi kondisi pandemi seperti saat ini. Kondisi dunia pendidikan yang tidak menguntungkan karena keterbatasan gadget dan akses internet menjadi konsekuensi dari peristiwa yang mendadak.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR M Nabil Haroen meminta, pemerintah konsisten mempersiapkan demografi, terutama pada masa penting antara 2025-2035. Pemerintah sebenarnya sudah memiliki roadmap Indonesia Emas pada 2045.
“Bonus demografi bisa jadi tantangan. Akan tetapi, bisa jadi bencana jika tidak terkelola dengan baik,” ucapnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan kunci dalam menghadapi era teknologi informasi (TI) ini adalah mental, karakter, kreativitas, konsistensi, dan semangat belajar.
Nilai dasar itu, kata dia, harus dipupuk sejak di keluarga dan dikuatkan melalui pendidikan formal. Menurutnya, keinginan belajar yang tinggi itu akan mengantarkan generasi bangsa Indonesia menguasai kemampuan yang spesifik dan adaptif di era inovasi TI ini.
“Pemerintah harus memastikan sumber dan infrastruktur belajar bisa diakses dengan mudah dan murah. Bagaimana memberi akses internet sampai kawasan pedalaman dan kuota internet itu terjangkau,” ujarnya.
Dia menambahkan, di samping itu, harus ada upaya untuk mempermudah investor masuk Indonesia agar lapangan pekerjaan terbuka.
“Tapi, sekali lagi investor yang ramah lingkungan, yang kehadirannya menyejahterakan dan meningkatkan kualitas SDM generasi muda kita,” katanya.
Di bagian lain, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII) Nopitri Wahyuni mengatakan, tantangan demografi di masa pandemi adalah tingginya tingkat pengangguran disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan.
“Gelombang tingkat pengangguran tersebut juga diperburuk dengan banyaknya lulusan pendidikan vokasional atau pendidikan tinggi yang tidak terserap pula di dunia kerja di saat ekonomi sedang resesi,” kata Nopitri kepada KORAN SINDO, kemarin.
Dia menerangkan, tidak ada orang yang mengharapkan dan siap menghadapi kondisi pandemi seperti saat ini. Kondisi dunia pendidikan yang tidak menguntungkan karena keterbatasan gadget dan akses internet menjadi konsekuensi dari peristiwa yang mendadak.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR M Nabil Haroen meminta, pemerintah konsisten mempersiapkan demografi, terutama pada masa penting antara 2025-2035. Pemerintah sebenarnya sudah memiliki roadmap Indonesia Emas pada 2045.
“Bonus demografi bisa jadi tantangan. Akan tetapi, bisa jadi bencana jika tidak terkelola dengan baik,” ucapnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan kunci dalam menghadapi era teknologi informasi (TI) ini adalah mental, karakter, kreativitas, konsistensi, dan semangat belajar.
Nilai dasar itu, kata dia, harus dipupuk sejak di keluarga dan dikuatkan melalui pendidikan formal. Menurutnya, keinginan belajar yang tinggi itu akan mengantarkan generasi bangsa Indonesia menguasai kemampuan yang spesifik dan adaptif di era inovasi TI ini.
“Pemerintah harus memastikan sumber dan infrastruktur belajar bisa diakses dengan mudah dan murah. Bagaimana memberi akses internet sampai kawasan pedalaman dan kuota internet itu terjangkau,” ujarnya.
Dia menambahkan, di samping itu, harus ada upaya untuk mempermudah investor masuk Indonesia agar lapangan pekerjaan terbuka.
“Tapi, sekali lagi investor yang ramah lingkungan, yang kehadirannya menyejahterakan dan meningkatkan kualitas SDM generasi muda kita,” katanya.
Di bagian lain, peneliti bidang sosial The Indonesian Institute (TII) Nopitri Wahyuni mengatakan, tantangan demografi di masa pandemi adalah tingginya tingkat pengangguran disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan.
“Gelombang tingkat pengangguran tersebut juga diperburuk dengan banyaknya lulusan pendidikan vokasional atau pendidikan tinggi yang tidak terserap pula di dunia kerja di saat ekonomi sedang resesi,” kata Nopitri kepada KORAN SINDO, kemarin.