Soal Pajak Pulsa dan Token Listrik, Anggota DPR Gerinda: Membebani dan Sangat Lucu
loading...
A
A
A
Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPR-RI ini memaparkan, pada kuartal II-2020 sektor infokom mampu tumbuh 10,83% (yoy) dan kuartal III-2020 tumbuh10,61% (yoy). Selain itu, sektor infokom juga memiliki porsi yang cukup besar pada struktur PDB di kuartal II dan III-2020 yaitu masing-masing 4,66% dan 4,56%, lebih tinggi dibanding sektor jasa keuangan dan asuransi, transportasi dan pergudangan, akomodasi dan makan minum, dan lain-lain.
"Pemerintah tidak boleh berlaku diskriminatif. Di satu sisi mengucurkan berbagai insensif perpajakan kepada perusahaan-perusahaan besar. Namun pada waktu bersamaan makin intensif memungut pajak dari rakyat kecil," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan bahwa DPR-RI sudah menyetujui UU Cipta Kerja termasuk di dalamnya klaster perpajakan. Untuk itu, seyogyanya aturan turunan yang akan dibuat pemerintah harus lebih mengarah kepada ekstensifikasi, bukan intensifikasi. Harus jelas roadmap ekstensifikasi perpajakan, termasuk juga berapa target penambahan wajib pajak baru.
"DPR prihatin dengan realisasi penerimaan pajak yang selalu meleset dari target dan juga makin turunnya angka tax ratio pajak terhadap PDB. Tapi, wajib pajak yang sudah taat pajak tidak terus-terusan ditodong pajak. Semoga dengan ekstensifikasi istilah tradisi 'berburu pajak di kebun binatang' bisa berakhir," harapnya. ( Baca juga:Pilkada 2022 Ditunda, Jokowi Bisa Satu-satunya Kepala Daerah yang Jadi Presiden )
Menurut Hergun, alih-alih memajaki pulsa, kartu perdana, token dan voucer yang notabene menjadi hajat hidup rakyat di saat pandemi, sebaiknya ada dasar kebijakan penetapan target pajak kepada masing-masing Kanwil DJP yang lebih realistis untuk dapat diraih. Karena target satu Kanwil Pajak saja tidak tercapai maka secara otomatis raihan pajak dalam rangka menutupi APBN pun akan timpang.
"Pemerintah tidak boleh berlaku diskriminatif. Di satu sisi mengucurkan berbagai insensif perpajakan kepada perusahaan-perusahaan besar. Namun pada waktu bersamaan makin intensif memungut pajak dari rakyat kecil," ujarnya.
Selain itu, dia menambahkan bahwa DPR-RI sudah menyetujui UU Cipta Kerja termasuk di dalamnya klaster perpajakan. Untuk itu, seyogyanya aturan turunan yang akan dibuat pemerintah harus lebih mengarah kepada ekstensifikasi, bukan intensifikasi. Harus jelas roadmap ekstensifikasi perpajakan, termasuk juga berapa target penambahan wajib pajak baru.
"DPR prihatin dengan realisasi penerimaan pajak yang selalu meleset dari target dan juga makin turunnya angka tax ratio pajak terhadap PDB. Tapi, wajib pajak yang sudah taat pajak tidak terus-terusan ditodong pajak. Semoga dengan ekstensifikasi istilah tradisi 'berburu pajak di kebun binatang' bisa berakhir," harapnya. ( Baca juga:Pilkada 2022 Ditunda, Jokowi Bisa Satu-satunya Kepala Daerah yang Jadi Presiden )
Menurut Hergun, alih-alih memajaki pulsa, kartu perdana, token dan voucer yang notabene menjadi hajat hidup rakyat di saat pandemi, sebaiknya ada dasar kebijakan penetapan target pajak kepada masing-masing Kanwil DJP yang lebih realistis untuk dapat diraih. Karena target satu Kanwil Pajak saja tidak tercapai maka secara otomatis raihan pajak dalam rangka menutupi APBN pun akan timpang.
(uka)