EBT KO vs Fosil, Kiai Ma'ruf: RI Perlu Belajar dari Jerman
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) Maruf Amin mengatakan Indonesia masih terus tergantung dengan energi fosil yang sebagian besar justru diimpor. Seperti elpiji, sebanyak 70% masih diimpor dari luar negeri sedangkan negara lain sudah mulai beralih ke energi terbarukan (ET).
"Ketergantungan kita terhadap energi fosil yang diimpor itu harus secara bertahap diganti dengan energi yang bersumber dari energi terbarukan yang tersedia secara lokal," katanya di acara Dies Natalis ke-5 Universitas Pertamina, Senin (1/2/2021).
Dia mengatakan berdasarkan Dewan Energi Nasional (DEN) bauran energi nasional tahun 2019 sebesar 37,15% dari batubara. Kemudian 33,58% dari minyak bumi dan 20,13% dari gas bumi. Sementara itu 9,15% dari Energi Baru Terbarukan (EBT).
Maruf menekankan bahwa pemanfaatan energi terbarukan menjadi salah satu program prioritas untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap impor energi fosil. Namun saat ini target penggunaan energi terbarukan masih jauh dari target.
"Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan pada tahun 2025 sebesar 23% dan terus ditingkatkan sampai 31% tahun 2050. Namun saat ini kita masih jauh dari target tersebut, karena pemanfaatan energi baru terbarukan saat ini masih berada di kisaran 9,15%," ujarnya
Dia menyebut bahwa Indonesia perlu belajar dari beberapa negara yang telah sukses dalam pemanfaatan energi baru terbarukan seperti Jerman. Di mana bauran energi primer dari EBT telah mencapai 85% dari energi nasionalnya.
"Sebagian besar EBT di Jerman merupakan energi dari tenaga surya, angin, sampah biomassa, dan hidro-elektrik. Hal ini tentunya tidak lepas dari riset, inovasi dan investasi dari Pemerintah Jerman yang menyatakan bahwa tahun 2050 semua energi berasal dari energi hijau dan bersih," paparnya.
Dia menyebut bahwa sumber EBT di Indonesia tidak kalah dengan Jerman. Menurutnya potensi EBT di Indonesia cukup besar. Terutama dari energi Surya, angin dan hidro-elektrik.
"Posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, tentu memiliki potensi energi surya berlimpah, namun belum dikelola secara maksimal. Hal ini dapat kita lihat dari penggunaan energi surya, energi angin dan hidro-elektrik yang belum banyak dimanfaatkan sektor industri atau perumahan," katanya
"Oleh karena itu, selain investasi saya ingin menekankan pentingnya riset dan inovasi untuk industri energi Indonesia. Target bauran energi dengan energi terbarukan pada tahun 2025 tidak akan tercapai jika riset dan inovasi tidak turut serta ditingkatkan," lanjutnya.
"Ketergantungan kita terhadap energi fosil yang diimpor itu harus secara bertahap diganti dengan energi yang bersumber dari energi terbarukan yang tersedia secara lokal," katanya di acara Dies Natalis ke-5 Universitas Pertamina, Senin (1/2/2021).
Dia mengatakan berdasarkan Dewan Energi Nasional (DEN) bauran energi nasional tahun 2019 sebesar 37,15% dari batubara. Kemudian 33,58% dari minyak bumi dan 20,13% dari gas bumi. Sementara itu 9,15% dari Energi Baru Terbarukan (EBT).
Maruf menekankan bahwa pemanfaatan energi terbarukan menjadi salah satu program prioritas untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap impor energi fosil. Namun saat ini target penggunaan energi terbarukan masih jauh dari target.
"Pemerintah menargetkan bauran energi terbarukan pada tahun 2025 sebesar 23% dan terus ditingkatkan sampai 31% tahun 2050. Namun saat ini kita masih jauh dari target tersebut, karena pemanfaatan energi baru terbarukan saat ini masih berada di kisaran 9,15%," ujarnya
Dia menyebut bahwa Indonesia perlu belajar dari beberapa negara yang telah sukses dalam pemanfaatan energi baru terbarukan seperti Jerman. Di mana bauran energi primer dari EBT telah mencapai 85% dari energi nasionalnya.
"Sebagian besar EBT di Jerman merupakan energi dari tenaga surya, angin, sampah biomassa, dan hidro-elektrik. Hal ini tentunya tidak lepas dari riset, inovasi dan investasi dari Pemerintah Jerman yang menyatakan bahwa tahun 2050 semua energi berasal dari energi hijau dan bersih," paparnya.
Dia menyebut bahwa sumber EBT di Indonesia tidak kalah dengan Jerman. Menurutnya potensi EBT di Indonesia cukup besar. Terutama dari energi Surya, angin dan hidro-elektrik.
"Posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa, tentu memiliki potensi energi surya berlimpah, namun belum dikelola secara maksimal. Hal ini dapat kita lihat dari penggunaan energi surya, energi angin dan hidro-elektrik yang belum banyak dimanfaatkan sektor industri atau perumahan," katanya
"Oleh karena itu, selain investasi saya ingin menekankan pentingnya riset dan inovasi untuk industri energi Indonesia. Target bauran energi dengan energi terbarukan pada tahun 2025 tidak akan tercapai jika riset dan inovasi tidak turut serta ditingkatkan," lanjutnya.
(nng)