Mengejar Realisasi Energi Baru dan Terbarukan

Kamis, 04 Februari 2021 - 06:18 WIB
loading...
Mengejar Realisasi Energi Baru dan Terbarukan
Energi terbarukan menjadi andalan di masa depan di tengah semakin terbatasnya sumber energi fosil. FOTO/WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Berbekal potensi sumber daya alam yang melimpah di sektor energi baru dan terbarukan (EBT) , Indonesia terus mengejar rasio penggunaan energi ramah lingkungan. Langkah ini diharapkan bisa menjadi solusi di tengah keterbatasan sumber energi fosil di dalam negeri.

Penggunaan EBT juga digadang-gadang menjadi salah satu upaya dalam mewujudkan lingkungan lebih bersih. Harapan ini tidak mustahil diwujudkan kendati dalam pelaksanaanya perlu upaya ekstra dari para pemangku kepentingan.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan, total potensi energi baru terbarukan di dalam negeri mencapai 417.800 MW. Itu terdiri atas potensi laut 17.900 MW, panas bumi 23.900 MW, bioenergi 32.600 MW, angin 60.600 MW, air 75.000 MW dan surya 207.800 MW.

(Baca juga: EBT KO vs Fosil, Kiai Ma'ruf: RI Perlu Belajar dari Jerman )

Namun, dari total potensi yang ada, realisasi penggunaan EBT secara nasional baru sekitar 10.467 MW pada tahun lalu atau 11% dari target pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2025 sebesar 23%. Diketahui, total kapasitas EBT pada 2025 secara keseluruhan mencapai sekitar 115.000 MW. Kondisi ini jelas menjadi pekerjaan rumah yang tidak gampang apalagi di tengah pandemi yang menyebabkan sejumlah proyek insfrastruktur kelistrikan tertunda.

Kondisi perkembangan EBT yang masih belum optimal ini mematik reaksi dari Wakil Presiden (Wapres) KH Ma’ruf Amin. Pada sebuah kesempatan di Jakarta, awal pekan ini, Maruf Amin menyebutkan bahwa pemanfaatan EBT menjadi salah satu program prioritas untuk mengurangi ketergantungan negara terhadap impor energi fosil.

(Baca juga: Komisi VII Geber UU EBT Selesai pada Oktober Tahun Ini )

Dia juga menyoroti bahwa saat ini Indonesia masih tergantung dengan energi fosil yang sebagian besar justru diimpor. Wapres mencontohkan, saat ini penggunaan elpiji yang 70% masih diimpor dari luar negeri.

"Ketergantungan kita terhadap energi fosil yang diimpor itu harus secara bertahap diganti dengan energi yang bersumber dari energi terbarukan yang tersedia secara lokal," katanya.

Dia menambahkan bahwa pemerintah telah menargetkan bauran energi terbarukan pada 2025 sebesar 23% dan terus ditingkatkan sampai 31% pada 2050. Pada kesempatan itu, Wapres membandingkan negara-negara lain yang berhasil mengadopsi EBT sebagai sumber energi utama.
(Baca juga: Hindari Pemadaman Bergilir Akibat Ketergantungan Batu Bara, Pakai EBT Mutlak )

Berdasarkan data yang dirilis Compare the Market, Jerman merupakan salah satu negara paling ambisius mengurangi penggunaan energi konvensional. Sejak 2019, Jerman telah mengurangi penggunaan batu bara dan energi nuklir dan menggantinya dengan angin, bioenergi, dan hidropower.

Jerman menanamkan investasi yang besar untuk memenuhi target yang ditetapkan Uni Eropa (UE). Sama seperti Jerman, Inggris juga mengurangi penggunaan batu bara sebesar 96% sejak 1970. Pada 2019, sekitar 40% energi yang digunakan di Inggris bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Angin (PLTA).

Amerika Serikat (AS) juga berupaya beralih pada energi terbarukan. Meski tidak semaju Jerman, sebesar 18% energi yang digunakan di AS berasal dari sumber energi terbarukan. Tapi, dalam anggaran 2020, alokasi dana untuk energi terbarukan turun dari USD2,3 miliar pada 2019 menjadi USD700 juta.

Islandia, Swedia, dan Norwegia, termasuk negara dengan penggunaan energi terbarukan terbesar di dunia di mana kontriibusi EBT terhadap pasokan energi di negaranya masing-masih di atas 40%. Hingga 2019, Islandia bahkan menggunakan energi terbarukan yang berasal dari hidropower dan panas bumi hampir 80%.

Islandia juga diakui sebagai negara dengan energi terbarukan terbesar di dunia. Jumlah energi terbarukan yang dihasilkan per tahun di Islandia sebesar 19 TWh atau 55.000 kWh per orang. Bandingkan dengan UE sebesar 6.000 kWh. Sumber energi terbarukan di Norwegia juga kini sudah mencapai 98%.

Sementara itu, Kenya telah menggunakan energi terbarukan sebesar 87% pada Januari 2020, sedangkan Uruguay sukses mengurangi jejak karbon tanpa subsidi. Dengan produksi yang memadai, aliran listrik di Uruguay jarang terputus. Investasi di bidang energi juga meningkat sekitar 15% dari PDB negara.

International Renewable Energy Agency (IRENA) memprediksi energi terbarukan akan mencapai 86% di seluruh dunia pada 2050. “Tren penggunaan energi terbarukan terus meningkat. Dengan mewabahnya Covid-19, kita semakin tersadar perlunya energi yang lebih ramah lingkungan dan bersih,” ungkap IRENA.

Pemerintah Indonesia sebenarnya juga terus berupaya meningkatkan kapasitas EBT dalam memenuhi kebutuhan energi nasional. Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, untuk tahun ini pemerintah menatgetkan penambahan kapasitas terpasang pembangkit EBT meningkat menjadi 12.009 MW.

Menurut Arifin, arah kebijakan energi ke depan adalah memanfaatkan sumber daya energi yang terdapat di dalam negeri. Hal ini dilakukan agar dapat mencapai target pemenuhan bauran EBT pada bauran energi nasional sebesar 23% di tahun 2025.

"Ke depannya, kita harus memanfaatkan sumber-sumber energi di dalam negeri dan tentu saja kita melihat kecenderungan energi yang dihasilkan tenaga surya makin lama semakin kompetitif," ungkap dia di Jakarta, Kamis (07/01) lalu.

Perlu Political Will
Pengamat energi Mamit Setiawan mengungkapkan, kontribusi EBT di Indonesia memang masih jauh dari target yang ditetapkan dalam RUEN. Kendati demikian, dia sudah melihat adanya beberapa kemajuan dalam pengembangan EBT. Dia pun berpendapat, sudah saatnya kebijakan pemerintah terkait EBT semakin digencarkan.

“Saya kira sudah saatnya bahwa pemerintah harus berfikir lebih maju lagi terkait pengembangan EBT ini. Karena beberapa tahun terakhir ini EBT masih dianggap seperti ‘anak tiri’. Di mana kita lihat banyak kebijakan strategis yang belum terlalu diatur oleh pemerintah selama ini,” kata Mamit yang juga Direktur Eksekutif Energy Watch ini.

Seiring berjalan waktu, Mamit melihat pemerintah sudah mulai sadar untuk mengurangi gas emisi kaca. Dilihat mulai adanya kesepakatan Presiden dan kebijakan yang disiapkan untuk mengembangkan kemajuan EBT.

“Seperti misalnya saya melihat dalam rangka peningkatan EBT, pemerintah sekarang sudah mengeluarkan beberapa peraturan baik itu keputusan menteri ESDM maupun sedang merancang aturan presiden terkait dengan tarif EBT yang sedang disiapkan,” ungkapnya.

Dia menambahkan, salah satu bentuk keseriusan pemerintah adalah dengan mendorong Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan. Yaitu dengan mengadakan program untuk mengganti pembangkit yang menggunakan solar dengan pembangkit yang lebih ramah lingkungan seperti PLTS dan PLTU.

“Selain itu terkait dengan UU EBT, pemerintah juga cukup serius mempersiapkan karena memang sudah ada peningkatan skala prioritas terhadap EBT,” tegasnya.

Namun, Mamit pesimistis target 23% bauran EBT pada 2025 bisa tercapai. Pasalnya, program 35.000 MW yang sekarang berjalan sudah direvisi dalam RUPLT menjadi 30.000 MW di mana 90% adalah menggunakan batubara.

“Jadi untuk mengejar 23%dengan kondisi saat ini berat sekali, bahkan nggak mungkin. Kecuali ada langkah revolusioner, ada kebijakan progresif yang tiba-tiba bisa menaikkan EBT saat ini. Misal dengan pembangunan PLTS yang masif, atau PLTU yang sekarang udah lama operasi itu diganti dengan pembangkit memakai EBT, memakai biomas atau sumber energi lain,” tambahnya.

Masih minimnya bauran EBT di Indonesia juga tak lepas dari belum adanya payung hukum terkait energi terbarukan. Diketahui, DPR saat ini masih terus menggodok RUU EBT yang ditargetkan rampung di Oktober 2021.

“Yang menjadi kunci dalam mengembangkan EBT di Tanah Air adalah political will. Kalau bicara sumber daya, Indonesia tidak kalah. Kita memiliki sumber panas bumi nomor dua di dunia. Tinggal political will seperti apa yang diputuskan,” tegasnya.

Sementara itu Guru Besar Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia (MIPA UI) Rosari Saleh berpendapat, sejak ditargetkan dalam RUEN, Indonesia baru mencapai target kurang dari 12%. Sehingga, kata dia, kondisi ini harus memacu semangat untuk terus mencapai target yang ditetapkan.

“Kalau kita memandang masa depan di negara-negara maju, bisa jadi targetnya bukan semata lingkungan tetapi ujung-ujungnya konsekuensi ekonomi,” katanya

Dia menegaskan, UU EBT diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan pertimbangan bagi investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Rosari juga tidak menyangkal jika EBT termasuk investasi yang mahal sehingga perlu insentif kepada pelaku usaha.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0817 seconds (0.1#10.140)