Jaga Rasio Kredit Macet, Perbankan Perlu Berhati-Hati
loading...
A
A
A
Meski sangat positif, dia mengaku untuk menerapkan kebijakan ini, BRI tetap akan berhati-hati. BRI akan membuat mitigasi-mitigasi risiko antara lain dengan memperbaiki sistem scoring, pemilihan tipe kendaraan serta pemilihan segmentasi calon nasabah. "Pemilihan segmentasi calon nasabah mencakup fix income/non fix income, payroll, dan lain-lain," kata Aestika.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Jahja Setiaatmadja mengatakan, pihaknya bisa menerapkan DP (uang muka) 0% untuk sektor properti bagi konsumen seperti kebijakan yang telah dikeluarkan Bank Indonesia (BI).
Tapi, kata Jahja, penerapan tersebut tidak secara otomatis langsung berlaku. Musababnya, harus juga disertai dengan persyaratan yang sedang disusun BCA. "Bisa diterspkan dengan persyaratan yang akan kita buat, jadi tidak otomatis," ujar Jahja.
Berbeda dengan perbankan, menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno kebijakan DP 0% untuk automotif dan properti sangat sulit diterapkan. Pasalnya, hal ini bisa menimbulkan permasalahan baru seperti kredit macet. Alasannya, bagi perusahaan pembiayaan atau bank uang muka atau DP adalah jalan untuk memastikan bahwa kredit yang disalurkan tidak bermasalah di kemudian hari.
Jika DP dihilangkan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi masalah dalam perusahaan pembiayaan itu sendiri. "Permasalahannya bukan karena bebas DP, tetapi biaya yang harus dikeluarkan setiap bulannya. Kalau cicilannya besar, apa sanggup membayaranya dalam jangka waktu yang relatif lama. Dengan memaksakan mengambil cicilan berarti beban mereka akan tambah, apalagi memaksakan dengan berhutang," jelas Suwandi.
Pembebasan uang muka, lanjut dia, sebenarnya hanya mengalihkan biaya yang semula dibayarkan dalam bentuk DP ke cicilan bulanan. Contohnya, jika dalam skema normal pembayaran pertama pembelian mobil sebesar Rp50 juta dan selanjutnya Rp5 juta per bulan, maka bila dilakukan tanpa skema DP 0% cicilan kendaraan yang harus dibayarkan setiap bulannya akan naik menjadi Rp8 juta.
Terlebih, dalam situasi ekonomi yang belum pulih, dia menilai kebijakan ini akan berpotensi berbahaya untuk semua pihak, mulai dari bank, industri, sampai debitur itu sendiri. Karena potensi bahaya ini menurutnya sulit berharap kebijakan benar-benar bisa diterapkan dengan baik. "Masalah utamanya yaitu masih tingginya risiko penyaluran kredit. Pihak bank mungkin langsung berikan DP 0%, khawatir debitur tidak mampu mencicil akan merugikan pihak bank dan jadi NPL (non performing loan atau kredit macet)," tuturnya.
Suwandi menambahkan, selama ini kebijakan DP 0% sebenarnya diperbolehkan lewat peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nomor 35/POJK.05/2018. Namun ketentuan dalam pasal 20 beleid tersebut sulit diterapkan lantaran perusahaan multifinance menekan rasio pembiayaan bermasalah (NPF) bersih hingga 1%."Tetap harus ada syaratnya yaitu perusahaan pemberi harus sehat," tegas Suwandi.
Meskipun ada dampak negatif, kebijakan ini juga memiliki peluang keberhasilan. Kebijakan kredit tanpa uang muka bisa saja diterapkan pada nasabah korporasi. "Kita bisa menawarkan ke perusahaan, tidak perlu mengeluarkan uang muka, tinggal potong gaji kan lebih aman. Dengan begitu, lebih ada kepastian kredit tidak bermasalah meski dilakukan tanpa uang muka," pungkasnya. (aprilia s andyna/sabir saluhu/fw bahtiar/r ratna purnama)
Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Jahja Setiaatmadja mengatakan, pihaknya bisa menerapkan DP (uang muka) 0% untuk sektor properti bagi konsumen seperti kebijakan yang telah dikeluarkan Bank Indonesia (BI).
Tapi, kata Jahja, penerapan tersebut tidak secara otomatis langsung berlaku. Musababnya, harus juga disertai dengan persyaratan yang sedang disusun BCA. "Bisa diterspkan dengan persyaratan yang akan kita buat, jadi tidak otomatis," ujar Jahja.
Berbeda dengan perbankan, menurut Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno kebijakan DP 0% untuk automotif dan properti sangat sulit diterapkan. Pasalnya, hal ini bisa menimbulkan permasalahan baru seperti kredit macet. Alasannya, bagi perusahaan pembiayaan atau bank uang muka atau DP adalah jalan untuk memastikan bahwa kredit yang disalurkan tidak bermasalah di kemudian hari.
Jika DP dihilangkan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi masalah dalam perusahaan pembiayaan itu sendiri. "Permasalahannya bukan karena bebas DP, tetapi biaya yang harus dikeluarkan setiap bulannya. Kalau cicilannya besar, apa sanggup membayaranya dalam jangka waktu yang relatif lama. Dengan memaksakan mengambil cicilan berarti beban mereka akan tambah, apalagi memaksakan dengan berhutang," jelas Suwandi.
Pembebasan uang muka, lanjut dia, sebenarnya hanya mengalihkan biaya yang semula dibayarkan dalam bentuk DP ke cicilan bulanan. Contohnya, jika dalam skema normal pembayaran pertama pembelian mobil sebesar Rp50 juta dan selanjutnya Rp5 juta per bulan, maka bila dilakukan tanpa skema DP 0% cicilan kendaraan yang harus dibayarkan setiap bulannya akan naik menjadi Rp8 juta.
Terlebih, dalam situasi ekonomi yang belum pulih, dia menilai kebijakan ini akan berpotensi berbahaya untuk semua pihak, mulai dari bank, industri, sampai debitur itu sendiri. Karena potensi bahaya ini menurutnya sulit berharap kebijakan benar-benar bisa diterapkan dengan baik. "Masalah utamanya yaitu masih tingginya risiko penyaluran kredit. Pihak bank mungkin langsung berikan DP 0%, khawatir debitur tidak mampu mencicil akan merugikan pihak bank dan jadi NPL (non performing loan atau kredit macet)," tuturnya.
Suwandi menambahkan, selama ini kebijakan DP 0% sebenarnya diperbolehkan lewat peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nomor 35/POJK.05/2018. Namun ketentuan dalam pasal 20 beleid tersebut sulit diterapkan lantaran perusahaan multifinance menekan rasio pembiayaan bermasalah (NPF) bersih hingga 1%."Tetap harus ada syaratnya yaitu perusahaan pemberi harus sehat," tegas Suwandi.
Meskipun ada dampak negatif, kebijakan ini juga memiliki peluang keberhasilan. Kebijakan kredit tanpa uang muka bisa saja diterapkan pada nasabah korporasi. "Kita bisa menawarkan ke perusahaan, tidak perlu mengeluarkan uang muka, tinggal potong gaji kan lebih aman. Dengan begitu, lebih ada kepastian kredit tidak bermasalah meski dilakukan tanpa uang muka," pungkasnya. (aprilia s andyna/sabir saluhu/fw bahtiar/r ratna purnama)
(bai)