Mengungkit Sektor Konsumsi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah bersama otoritas terkait –yakni Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) - berupaya melakukan berbagai cara untuk menggerakkan sektor konsumsi melalui berbagai kebijakan. Harapannya, daya beli masyarakat bisa terdongkrak yang kemudian bermuara membantu pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi covid-19
Dalam dua pekan terakhir, pemerintah tercatat mengeluarkan dua kebijakan penting. Kebijakan dimaksud antara lain relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor yang rencaannya berlaku mulai 1 Maret 2021. Kebijakan lainnya adalah penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) menjadi 3,5% yang disertai pemberlakuan uang muka 0% untuk kredit kendaraan bermotor dan properti.
Dengan kebijakan tersebut, pemerintah berharap bisa memacu sektor automotif dan properti. Langkah ini strategis karena kedua sektor ini memiliki multiplier effect yang sangat besar, baik secara langsung maupun tidak langsung.
‘’Dengan DP nol persen bagi properti dan kendaraan bermotor, BI berharap kebijakan ini menjadi pengungkit bagi perekonomian nasional. Kebijakan ini merupakan bentuk sinergi dengan kebijakan lain dari OJK dan pemerintah,’’ ujar Asisten Gubernur BI Departemen Kebijakan Makroprudensial Juda Agung, kepada KORANSINDO, kemarin.
Untuk diketahui, stimulus yang diberikan kepada masyarakat untuk properti berlaku untuk semua properti, seperti rumah tapak, rumah susun (rusun), dan rumah toko (ruko).
Adapun relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk sektor automotif sepanjang 2021 berlaku bagi kendaraan bermotor 1.500 cc ke bawah kategori sedan berpenggeran 4x2. Rencananya, kebijakan ini mulai berlaku 1 Maret dan akan berakhir 31 Desember 2021. Hanya saja, tidak semua bank bisa memberikan uang muka nol persen. Hanya bank yang non-performing loan (NPL) kurang dari 5%.
Namun, BI belum bisa memastikan pada kuartal berapa kebijakan gabungan akan membawa dampak seperti diharapkan. Juda Agung menyebut ada faktor lain yang menentukan dalam pengajuan kredit ini, yakni harus ada peningkatan mobilitas masyarakat.
Persoalannya, selama pandemi Covid-19 pemerintah memang membatasi pergerakan orang. Belum lagi suku bunga kredit di bank-bank nasional masih tinggi. Bahkan, ada yang masih double digit. Karena itu Juda Agung meminta bank-bank nasional merespons dengan cepat penurunan suku bunga acuan ini.
“Ini yang membuat orang ragu-ragu meminta kredit karena suku bunga masih tinggi,” katanya.
Dalam dua pekan terakhir, pemerintah tercatat mengeluarkan dua kebijakan penting. Kebijakan dimaksud antara lain relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan bermotor yang rencaannya berlaku mulai 1 Maret 2021. Kebijakan lainnya adalah penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) menjadi 3,5% yang disertai pemberlakuan uang muka 0% untuk kredit kendaraan bermotor dan properti.
Dengan kebijakan tersebut, pemerintah berharap bisa memacu sektor automotif dan properti. Langkah ini strategis karena kedua sektor ini memiliki multiplier effect yang sangat besar, baik secara langsung maupun tidak langsung.
‘’Dengan DP nol persen bagi properti dan kendaraan bermotor, BI berharap kebijakan ini menjadi pengungkit bagi perekonomian nasional. Kebijakan ini merupakan bentuk sinergi dengan kebijakan lain dari OJK dan pemerintah,’’ ujar Asisten Gubernur BI Departemen Kebijakan Makroprudensial Juda Agung, kepada KORANSINDO, kemarin.
Untuk diketahui, stimulus yang diberikan kepada masyarakat untuk properti berlaku untuk semua properti, seperti rumah tapak, rumah susun (rusun), dan rumah toko (ruko).
Adapun relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk sektor automotif sepanjang 2021 berlaku bagi kendaraan bermotor 1.500 cc ke bawah kategori sedan berpenggeran 4x2. Rencananya, kebijakan ini mulai berlaku 1 Maret dan akan berakhir 31 Desember 2021. Hanya saja, tidak semua bank bisa memberikan uang muka nol persen. Hanya bank yang non-performing loan (NPL) kurang dari 5%.
Namun, BI belum bisa memastikan pada kuartal berapa kebijakan gabungan akan membawa dampak seperti diharapkan. Juda Agung menyebut ada faktor lain yang menentukan dalam pengajuan kredit ini, yakni harus ada peningkatan mobilitas masyarakat.
Persoalannya, selama pandemi Covid-19 pemerintah memang membatasi pergerakan orang. Belum lagi suku bunga kredit di bank-bank nasional masih tinggi. Bahkan, ada yang masih double digit. Karena itu Juda Agung meminta bank-bank nasional merespons dengan cepat penurunan suku bunga acuan ini.
“Ini yang membuat orang ragu-ragu meminta kredit karena suku bunga masih tinggi,” katanya.