Kepala BPPSDM Kementan Ajak Jaga Ketahanan Pangan dengan Percepatan Tanam
loading...
A
A
A
"Dalam intensifikasi, kita bisa memanfaatkan tekologi. Karena, teknologi pertanian berkembang cepat dan kita sedang menuju pertanian 4.0. Untuk ekstensifikasi, negara kita sangat luas, ada lahan kering, lahan sawah, lahan rawa, lahan perkebunan. Diversifikasi pangan atau pangan lokal kita juga melimpah, ada ubi jalar, ubi kayu, dan masih banyak lagi. Ini yang harus diperkuat," paparnya.
Dedi kembali menegaskan jika hal paling penting untuk dilakukan saat ini adalah percepatan tanam di lahan eksisting, seperti di lahan sawah, lahan kering, juga lahan rawa.
"Di lahan ini, percepatan harus dilakukan. Kita baru saja panen raya, beras kita surplus. Jangan lengah, selesai panen olah tanah, dan harus langsung tanam lagi. Gunakan alsintan biar pengolahan lahan lebih cepat, manfaatkan pengairan bisa dengan air hujan, dan manfaatkan cahaya matahari. Saprotan juga harus tersedia seperti benih, pupuk, pestisida, juga optimalisasi lahan pekarangan," katanya.
Lahan pekarangan Indonesia sangat luas. Masyarakat bisa menerapkan teknologi family farming dan bisa bercocok tanam di rumah. Teknik lain yang bisa dilakukan adalah melakukan vertical farming seperti tanaman hidroponik dan urban farming dengan memanfaatkan gang-gang bahkan atap gedung.
"Kuncinya ketersediaan air dan cahaya yang memadai. Dengan rajin tanam, selain memenuhi kebutuhan pangan juga meningkatkan imunitas," kata Dedi lagi.
Untuk memperkuat ketahanan pangan, percepatan tanam juga bisa dilakukan di lahan perhutanan sosial dengan melakukan intercroping atau tumpang sari antara tanaman lahan dan tanaman hutan. Juga melakukan intergrated farming antara ternak (domba, sapi, kambing dan lain-lain), dengan tanaman hutan, dan cara argoforestry, tergantung kebiasaan petani.
"Kita juga bisa memanfaatkan lahan Perhutani di Jawa milik PTP atau BUMN, serta lahan Inhutani di luar Jawa. Di lahan ini juga bisa dilakukan tumpang sari antara tanaman pangan dengan tanaman perhutani," paparnya.
Lahan rawa juga bisa dimaksimalkan untuk meningkatkan produktivitas pangan. Apalagi, Indonesia memiliki lahan rawa yang luas. Potensinya lebih dari 10 juta hektar. Di lahan rawa, kita bisa melakukan intergrated farming dan korporasi.
"Di lahan rawa ada ternak seperti itik, juga padi. Air di lahan rawa berlimpah untuk melakukan cocok tanam, tapi bisa digunakan untuk ternak ikan atau bebek. Ingat bebek bisa menghasilkan telor dan daging yang bisa berguna buat ketahanan pangan,” katanya.
Lahan rawa juga bisa untuk korporasi. Artinya, petani bekerja on farm off farm. Petani bukan hanya di lapangan, tapi juga belajar menjual dan mengolah hasil panen dengan baik. Karena, nilainya akan bertambah. Dedi mengingatkan agar petani tidak menjual gabah karena harganya murah. Lebih baik diolah dahulu menjadi beras.
Dedi kembali menegaskan jika hal paling penting untuk dilakukan saat ini adalah percepatan tanam di lahan eksisting, seperti di lahan sawah, lahan kering, juga lahan rawa.
"Di lahan ini, percepatan harus dilakukan. Kita baru saja panen raya, beras kita surplus. Jangan lengah, selesai panen olah tanah, dan harus langsung tanam lagi. Gunakan alsintan biar pengolahan lahan lebih cepat, manfaatkan pengairan bisa dengan air hujan, dan manfaatkan cahaya matahari. Saprotan juga harus tersedia seperti benih, pupuk, pestisida, juga optimalisasi lahan pekarangan," katanya.
Lahan pekarangan Indonesia sangat luas. Masyarakat bisa menerapkan teknologi family farming dan bisa bercocok tanam di rumah. Teknik lain yang bisa dilakukan adalah melakukan vertical farming seperti tanaman hidroponik dan urban farming dengan memanfaatkan gang-gang bahkan atap gedung.
"Kuncinya ketersediaan air dan cahaya yang memadai. Dengan rajin tanam, selain memenuhi kebutuhan pangan juga meningkatkan imunitas," kata Dedi lagi.
Untuk memperkuat ketahanan pangan, percepatan tanam juga bisa dilakukan di lahan perhutanan sosial dengan melakukan intercroping atau tumpang sari antara tanaman lahan dan tanaman hutan. Juga melakukan intergrated farming antara ternak (domba, sapi, kambing dan lain-lain), dengan tanaman hutan, dan cara argoforestry, tergantung kebiasaan petani.
"Kita juga bisa memanfaatkan lahan Perhutani di Jawa milik PTP atau BUMN, serta lahan Inhutani di luar Jawa. Di lahan ini juga bisa dilakukan tumpang sari antara tanaman pangan dengan tanaman perhutani," paparnya.
Lahan rawa juga bisa dimaksimalkan untuk meningkatkan produktivitas pangan. Apalagi, Indonesia memiliki lahan rawa yang luas. Potensinya lebih dari 10 juta hektar. Di lahan rawa, kita bisa melakukan intergrated farming dan korporasi.
"Di lahan rawa ada ternak seperti itik, juga padi. Air di lahan rawa berlimpah untuk melakukan cocok tanam, tapi bisa digunakan untuk ternak ikan atau bebek. Ingat bebek bisa menghasilkan telor dan daging yang bisa berguna buat ketahanan pangan,” katanya.
Lahan rawa juga bisa untuk korporasi. Artinya, petani bekerja on farm off farm. Petani bukan hanya di lapangan, tapi juga belajar menjual dan mengolah hasil panen dengan baik. Karena, nilainya akan bertambah. Dedi mengingatkan agar petani tidak menjual gabah karena harganya murah. Lebih baik diolah dahulu menjadi beras.