Sejahterakan Petani, Pemerintah Harus Pangkas Rantai Distribusi

Jum'at, 05 Maret 2021 - 04:44 WIB
loading...
A A A
Kelompok tani dari Tuban, Blitar, dan Bojonegoro, melakukan delivery order pangan untuk para pekerja dan rumah tangga di kawasan Sidoarjo dan Surabaya. API menyayangkan peran pemerintah yang masih minim dalam membantu dan mengkonsolidasikan produk-produk pertanian yang dihasilkan.

“Masyarakat justru punya inisiatif sendiri. Kan belum muncul selama Covid-19, pemerintah supaya harga enggak turun, membeli dari petani. Kemudian (produk) itu diarahkan untuk jaring pengaman pangan dalam situasi Covid-19. Satu-satunya yang dimiliki pemerintah untuk cadangan pangan itu di Bulog. Itu kecil sekali porsinya sebagai cadangan pangan,” jelas Rifai.

Cara lama petani bertahan tetap dilakukan. Mereka biasanya menyimpan sebagian hasil pertanian untuk konsumsi keluarga. Sisanya, dijual, entah melalui tengkulak atau membentuk kelompok dan jaringan pemasaran sendiri. Yang terakhir itu dilakukan agar petani mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan.

Pemerintah perlu membantu dalam distribusi dari ladang hingga konsumen. Jika tak dibantu, menurut Rifai, yang menikmati keuntungan itu mereka yang bekerja di tengah, seperti makelar. Bukan petani yang menggarap lahan dari nol hingga menghasilkan. Kadang mereka harus menanggung risiko gagal panen. Dia menegaskan distribusi itu memegang peranan vital dalam pertanian.



Masalah klasiknya, kadang petani sudah terikat dengan tengkulak karena saat mulai menggarap meminjam uang dari tengkulak. Ini yang membuat kesejahteraan petani sulit beranjak dari garis kemiskinan.

Tidak sedikit petani yang akhirnya tidak mengharapkan anaknya menjadi petani. Rifai memaparkan hitungan bagaimana petani dapat hidup layak dengan pendapatan sekitar Rp3.500.000 per bulan.

Pertama, keuntungan harga jual gabah kering harus ada margin 30 persen. Dia menyebut harga gabah kering panen itu minimal Rp4.000/kg. “Saat ini, kebetulan saya di Lamongan, sekarang turun menjadi Rp3.400-3.500/kg,” katanya. Kedua, AFI mengungkapkan petani harus menggarap, baik tanah sendiri maupun milik orang lain sekitar 3-4 hektar.

“Baru bisa hidup normal dan punya pendapatan Rp3.500.000/bulan. Kalau yang digarap seperempat (hektar) atau 2.000 meter persegi, mereka kadang bertani bukan soal bisa menjamin hidup atau tidak, tapi lahan itu menjadi identitas dan ada budaya yang melekat. Misalnya, warisan jadi sayang kalau tidak digarap,” katanya.

Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2398 seconds (0.1#10.140)