Sejahterakan Petani, Pemerintah Harus Pangkas Rantai Distribusi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sektor pertanian tumbuh positif di tengah pandemi Covid-19 . Petani butuh stabilitas harga. Badan Pusat Statistik (BPS) Mengungkapkan sektor pertanian mengalami pertumbuhan 2,59 persen pada kuartal tahun 2020.
Ini berbanding terbalik dengan sejumlah sektor yang nyungsep akibat hantaman pandemi Covid-19. Sektor tanaman pangan mengalami pertumbuhan paling tinggi, yakni 10,47 persen.
Kemudian, disusul oleh komoditas holtikultura sebesar 7,85 persen dan perkebunan tumbuh 1,13 persen. Kepala Departemen Penataan Produksi dan Kemahasiswaan Petani Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Rifai mengakui kegiatan produksi pertanian berjalan normal selama pandemi Covid-19.
“Tumbuh dan menjadi dasar kesejahteraan bagi masyarakat pedesaan karena disitulah ruang-ruang pekerjaan (yang ada),” ujarnya saat dihubungi SINDONews, Rabu (3/3/2021).
Rifai mengakui produksi pertanian pangan, seperti beras dan jagung, yang meningkat. Di Jawa Timur, saat ini tengah panen raya jagung. Masalahnya, harganya sedang turun menjadi Rp3.500 per kilogram (kg), padahal idealnya Rp4.000/kg. Produksi pertanian pangan masih didominasi Jawa, yakni 75%.
Sektor perkebunan, seperti kopi dan cokelat mengalami penurunan. Ini terkait dengan pasar sektor ini untuk industri, baik rumahan maupun manufaktur besar. Pada sektor itu permintaan menurun karena terdampak pandemi. Produksi secara massal pun menurun drastis. Para petani hanya berusaha menjaga tanamannya tetap baik sambil berharap pandemi segera berlalu.
Rifai mengatakan mereka membutuhkan bantuan pupuk bersubsidi untuk menjaga tanaman agar tidak rusak. Di sisi lain, permintaan pangan dari sektor rumah tangga itu tetap normal. Rifai menyebut ada petani yang memanfaatkan momen untuk memasok langsung pangan, seperti beras dan cabai, kepada rumah tangga.
API menyatakan pandemi sesungguhnya cukup mengganggu distribusi produksi pertanian. Hal itu dampak dari penerapan berbagai bentuk pembatasan sosial. Belum lagi, harga yang kadang-kadang turun dan pemasaran terhambat. “Muncul ide-ide baru dari petani untuk memasarkan secara daring,” ungkapnya.
Kelompok tani dari Tuban, Blitar, dan Bojonegoro, melakukan delivery order pangan untuk para pekerja dan rumah tangga di kawasan Sidoarjo dan Surabaya. API menyayangkan peran pemerintah yang masih minim dalam membantu dan mengkonsolidasikan produk-produk pertanian yang dihasilkan.
“Masyarakat justru punya inisiatif sendiri. Kan belum muncul selama Covid-19, pemerintah supaya harga enggak turun, membeli dari petani. Kemudian (produk) itu diarahkan untuk jaring pengaman pangan dalam situasi Covid-19. Satu-satunya yang dimiliki pemerintah untuk cadangan pangan itu di Bulog. Itu kecil sekali porsinya sebagai cadangan pangan,” jelas Rifai.
Cara lama petani bertahan tetap dilakukan. Mereka biasanya menyimpan sebagian hasil pertanian untuk konsumsi keluarga. Sisanya, dijual, entah melalui tengkulak atau membentuk kelompok dan jaringan pemasaran sendiri. Yang terakhir itu dilakukan agar petani mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan.
Pemerintah perlu membantu dalam distribusi dari ladang hingga konsumen. Jika tak dibantu, menurut Rifai, yang menikmati keuntungan itu mereka yang bekerja di tengah, seperti makelar. Bukan petani yang menggarap lahan dari nol hingga menghasilkan. Kadang mereka harus menanggung risiko gagal panen. Dia menegaskan distribusi itu memegang peranan vital dalam pertanian.
Masalah klasiknya, kadang petani sudah terikat dengan tengkulak karena saat mulai menggarap meminjam uang dari tengkulak. Ini yang membuat kesejahteraan petani sulit beranjak dari garis kemiskinan.
Tidak sedikit petani yang akhirnya tidak mengharapkan anaknya menjadi petani. Rifai memaparkan hitungan bagaimana petani dapat hidup layak dengan pendapatan sekitar Rp3.500.000 per bulan.
Pertama, keuntungan harga jual gabah kering harus ada margin 30 persen. Dia menyebut harga gabah kering panen itu minimal Rp4.000/kg. “Saat ini, kebetulan saya di Lamongan, sekarang turun menjadi Rp3.400-3.500/kg,” katanya. Kedua, AFI mengungkapkan petani harus menggarap, baik tanah sendiri maupun milik orang lain sekitar 3-4 hektar.
“Baru bisa hidup normal dan punya pendapatan Rp3.500.000/bulan. Kalau yang digarap seperempat (hektar) atau 2.000 meter persegi, mereka kadang bertani bukan soal bisa menjamin hidup atau tidak, tapi lahan itu menjadi identitas dan ada budaya yang melekat. Misalnya, warisan jadi sayang kalau tidak digarap,” katanya.
Luas lahan pertanian sawah Indonesia sekitar 7,5 juta hektar. API menyatakan masih ada cadangan lahan yang bisa digarap dalam rangka ekstensifikasi. Rifai mengatakan produksi gabah Indonesia bisa mencapai 7-8 ton per ke hektar. Bahkan, ada yang bisa 12 ton. Dia mengungkapkan di Vietnam produksi 5-6 ton per hektar.
Bedanya, mereka jumlah lahan luas dan penduduk tidak sebanyak Indonesia. Kini, Vietnam menjadi eksportir beras. AFI yakin Indonesia bisa swasembada asal ada komitmen dari negara. Pemerintah harus melakukan reforma agraria dalam rangka memperbaiki struktur cadangan lahan abadi untuk produksi pangan.
“Kalau enggak segera direalisasikan. Kita tinggal menunggu waktu menjadi negara pengimpor beras terbesar. Semakin lama, lahan (pertanian) tergerus oleh konversi lahan. Dari lahan sawah menjadi perumahan, jalan, dan infrastruktur,” pungkasnya.
Ini berbanding terbalik dengan sejumlah sektor yang nyungsep akibat hantaman pandemi Covid-19. Sektor tanaman pangan mengalami pertumbuhan paling tinggi, yakni 10,47 persen.
Kemudian, disusul oleh komoditas holtikultura sebesar 7,85 persen dan perkebunan tumbuh 1,13 persen. Kepala Departemen Penataan Produksi dan Kemahasiswaan Petani Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Rifai mengakui kegiatan produksi pertanian berjalan normal selama pandemi Covid-19.
“Tumbuh dan menjadi dasar kesejahteraan bagi masyarakat pedesaan karena disitulah ruang-ruang pekerjaan (yang ada),” ujarnya saat dihubungi SINDONews, Rabu (3/3/2021).
Baca Juga
Rifai mengakui produksi pertanian pangan, seperti beras dan jagung, yang meningkat. Di Jawa Timur, saat ini tengah panen raya jagung. Masalahnya, harganya sedang turun menjadi Rp3.500 per kilogram (kg), padahal idealnya Rp4.000/kg. Produksi pertanian pangan masih didominasi Jawa, yakni 75%.
Sektor perkebunan, seperti kopi dan cokelat mengalami penurunan. Ini terkait dengan pasar sektor ini untuk industri, baik rumahan maupun manufaktur besar. Pada sektor itu permintaan menurun karena terdampak pandemi. Produksi secara massal pun menurun drastis. Para petani hanya berusaha menjaga tanamannya tetap baik sambil berharap pandemi segera berlalu.
Rifai mengatakan mereka membutuhkan bantuan pupuk bersubsidi untuk menjaga tanaman agar tidak rusak. Di sisi lain, permintaan pangan dari sektor rumah tangga itu tetap normal. Rifai menyebut ada petani yang memanfaatkan momen untuk memasok langsung pangan, seperti beras dan cabai, kepada rumah tangga.
API menyatakan pandemi sesungguhnya cukup mengganggu distribusi produksi pertanian. Hal itu dampak dari penerapan berbagai bentuk pembatasan sosial. Belum lagi, harga yang kadang-kadang turun dan pemasaran terhambat. “Muncul ide-ide baru dari petani untuk memasarkan secara daring,” ungkapnya.
Kelompok tani dari Tuban, Blitar, dan Bojonegoro, melakukan delivery order pangan untuk para pekerja dan rumah tangga di kawasan Sidoarjo dan Surabaya. API menyayangkan peran pemerintah yang masih minim dalam membantu dan mengkonsolidasikan produk-produk pertanian yang dihasilkan.
“Masyarakat justru punya inisiatif sendiri. Kan belum muncul selama Covid-19, pemerintah supaya harga enggak turun, membeli dari petani. Kemudian (produk) itu diarahkan untuk jaring pengaman pangan dalam situasi Covid-19. Satu-satunya yang dimiliki pemerintah untuk cadangan pangan itu di Bulog. Itu kecil sekali porsinya sebagai cadangan pangan,” jelas Rifai.
Cara lama petani bertahan tetap dilakukan. Mereka biasanya menyimpan sebagian hasil pertanian untuk konsumsi keluarga. Sisanya, dijual, entah melalui tengkulak atau membentuk kelompok dan jaringan pemasaran sendiri. Yang terakhir itu dilakukan agar petani mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan.
Pemerintah perlu membantu dalam distribusi dari ladang hingga konsumen. Jika tak dibantu, menurut Rifai, yang menikmati keuntungan itu mereka yang bekerja di tengah, seperti makelar. Bukan petani yang menggarap lahan dari nol hingga menghasilkan. Kadang mereka harus menanggung risiko gagal panen. Dia menegaskan distribusi itu memegang peranan vital dalam pertanian.
Masalah klasiknya, kadang petani sudah terikat dengan tengkulak karena saat mulai menggarap meminjam uang dari tengkulak. Ini yang membuat kesejahteraan petani sulit beranjak dari garis kemiskinan.
Tidak sedikit petani yang akhirnya tidak mengharapkan anaknya menjadi petani. Rifai memaparkan hitungan bagaimana petani dapat hidup layak dengan pendapatan sekitar Rp3.500.000 per bulan.
Pertama, keuntungan harga jual gabah kering harus ada margin 30 persen. Dia menyebut harga gabah kering panen itu minimal Rp4.000/kg. “Saat ini, kebetulan saya di Lamongan, sekarang turun menjadi Rp3.400-3.500/kg,” katanya. Kedua, AFI mengungkapkan petani harus menggarap, baik tanah sendiri maupun milik orang lain sekitar 3-4 hektar.
“Baru bisa hidup normal dan punya pendapatan Rp3.500.000/bulan. Kalau yang digarap seperempat (hektar) atau 2.000 meter persegi, mereka kadang bertani bukan soal bisa menjamin hidup atau tidak, tapi lahan itu menjadi identitas dan ada budaya yang melekat. Misalnya, warisan jadi sayang kalau tidak digarap,” katanya.
Luas lahan pertanian sawah Indonesia sekitar 7,5 juta hektar. API menyatakan masih ada cadangan lahan yang bisa digarap dalam rangka ekstensifikasi. Rifai mengatakan produksi gabah Indonesia bisa mencapai 7-8 ton per ke hektar. Bahkan, ada yang bisa 12 ton. Dia mengungkapkan di Vietnam produksi 5-6 ton per hektar.
Bedanya, mereka jumlah lahan luas dan penduduk tidak sebanyak Indonesia. Kini, Vietnam menjadi eksportir beras. AFI yakin Indonesia bisa swasembada asal ada komitmen dari negara. Pemerintah harus melakukan reforma agraria dalam rangka memperbaiki struktur cadangan lahan abadi untuk produksi pangan.
“Kalau enggak segera direalisasikan. Kita tinggal menunggu waktu menjadi negara pengimpor beras terbesar. Semakin lama, lahan (pertanian) tergerus oleh konversi lahan. Dari lahan sawah menjadi perumahan, jalan, dan infrastruktur,” pungkasnya.
(ind)