Awas, Pengawasan Lemah Bisa Bikin Rokok Murah Merajalela
loading...
A
A
A
JAKARTA - Keberadaan rokok murah di pasar dikhawatirkan tetap merajalela akibat lemahnya kebijakan pengawasan harga jual rokok. Target penurunan prevalensi perokok muda dengan menaikkan cukai terancam tidak tercapai bila pengawasan harga jual rokok belum optimal.
Peneliti Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) Adi Musharianto menjelaskan, kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) saat ini memungkinkan harga jual rokok di bawah 85% harga pada pita cukai atau Harga Jual Eceran (HJE) yang telah ditetapkan. Akibatnya, perusahaan, terutama yang berskala besar berbondong-bondong menjual produknya jauh di bawah harga banderol.
"Percuma saja cukai rokok naik sampai 23% kalau realisasi HJE-nya disunat sampai puluhan persen," ujar Adi di Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Variabel kenaikan cukai yang tidak diikuti kebijakan pengawasan harga yang optimal itu dinillai sebagai kebijakan yang tidak selaras dan menciderai upaya pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia. Ia pun meminta pemerintah meninjau kebijakan pengawasan harga ini dan memastikan pabrikan rokok tunduk terhadap ketentuan cukai dan HJE yang telah ditetapkan.
"Variabel kenaikan cukai itu seharusnya menurunkan variabel prevalensi merokok, faktanya prevalensi turun sedikit atau inelastis dengan kenaikan cukai, bahkan prevalensi bisa naik akibat ada kebijakan lain yang tidak searah," kata Adi
Merebaknya peredaran rokok murah di Indonesia juga diamini Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Cukai Kudus Gatot Sugeng Wibowo yang mengakui pandemi Covid-19 membuat daya beli masyarakat melemah, sehingga mereka mengalihkan konsumsinya ke produk yang lebih murah.
"Di Kudus ada satu perusahaan yang turun golongan dari golongan I menjadi golongan II yaitu PT Nojorono Tobacco International. Sementara pabrikan yang bertahan pada golongan I adalah PT Djarum. "Alasannya omzet penjualan turun akibat pelemahan daya beli, selain itu kenaikan tarif cukai sehingga harga rokok dinaikkan semakin mahal," kata Gatot.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, perusahaan rokok di Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah produksi rokoknya dalam satu tahun. Perusahaan di golongan I dengan produksi lebih dari 3 miliar batang setahun dikenakan tarif cukai rokok tertinggi. Adapun golongan II dan III dengan produksi kurang dari 3 miliar batang setahun dikenakan tarif cukai yang lebih rendah.
Kenaikan produksi di golongan 2 dan 3 ini diprediksi tak hanya membuat konsumsi rokok murah naik, namun juga mengurangi pendapatan negara dari cukai rokok. Gatot memprediksi, kontribusi pabrik rokok golongan II dan III rata-rata naik menjadi antara 30-45%, namun belum dapat menutup kekurangan (shortfall) penerimaan cukai dari penurunan penjualan rokok golongan I.
Peneliti Center of Human and Economic Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD) Adi Musharianto menjelaskan, kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) saat ini memungkinkan harga jual rokok di bawah 85% harga pada pita cukai atau Harga Jual Eceran (HJE) yang telah ditetapkan. Akibatnya, perusahaan, terutama yang berskala besar berbondong-bondong menjual produknya jauh di bawah harga banderol.
"Percuma saja cukai rokok naik sampai 23% kalau realisasi HJE-nya disunat sampai puluhan persen," ujar Adi di Jakarta, Selasa (9/3/2021).
Variabel kenaikan cukai yang tidak diikuti kebijakan pengawasan harga yang optimal itu dinillai sebagai kebijakan yang tidak selaras dan menciderai upaya pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia. Ia pun meminta pemerintah meninjau kebijakan pengawasan harga ini dan memastikan pabrikan rokok tunduk terhadap ketentuan cukai dan HJE yang telah ditetapkan.
"Variabel kenaikan cukai itu seharusnya menurunkan variabel prevalensi merokok, faktanya prevalensi turun sedikit atau inelastis dengan kenaikan cukai, bahkan prevalensi bisa naik akibat ada kebijakan lain yang tidak searah," kata Adi
Merebaknya peredaran rokok murah di Indonesia juga diamini Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai (KPPBC) Tipe Madya Cukai Kudus Gatot Sugeng Wibowo yang mengakui pandemi Covid-19 membuat daya beli masyarakat melemah, sehingga mereka mengalihkan konsumsinya ke produk yang lebih murah.
Baca Juga
"Di Kudus ada satu perusahaan yang turun golongan dari golongan I menjadi golongan II yaitu PT Nojorono Tobacco International. Sementara pabrikan yang bertahan pada golongan I adalah PT Djarum. "Alasannya omzet penjualan turun akibat pelemahan daya beli, selain itu kenaikan tarif cukai sehingga harga rokok dinaikkan semakin mahal," kata Gatot.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 198/2020 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, perusahaan rokok di Indonesia dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan jumlah produksi rokoknya dalam satu tahun. Perusahaan di golongan I dengan produksi lebih dari 3 miliar batang setahun dikenakan tarif cukai rokok tertinggi. Adapun golongan II dan III dengan produksi kurang dari 3 miliar batang setahun dikenakan tarif cukai yang lebih rendah.
Kenaikan produksi di golongan 2 dan 3 ini diprediksi tak hanya membuat konsumsi rokok murah naik, namun juga mengurangi pendapatan negara dari cukai rokok. Gatot memprediksi, kontribusi pabrik rokok golongan II dan III rata-rata naik menjadi antara 30-45%, namun belum dapat menutup kekurangan (shortfall) penerimaan cukai dari penurunan penjualan rokok golongan I.
(fai)