Perubahan Subsidi BBM ke BLT Ditanggapi Skeptis, Ini Alasannya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rencana pemerintah mengganti bentuk subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi bantuan langsung tunai (BLT) ditanggapi skeptis oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti.
Dia menilai, pemberian BLT tidak cukup untuk menopang kebutuhan hidup masyarakat, sementara pengurangan subsidi BBM justru berpotensi meningkatkan biaya transportasi, yang pada akhirnya mendorong naik inflasi.
"BLT tidak cukup. Yang harus dilakukan adalah stabilisasi harga agar tidak terjadi kenaikan inflasi. Pengurangan subsidi BBM berpotensi meningkatkan biaya transportasi yang akan meningkatkan inflasi. Pelemahan daya beli telah terjadi selama 5 bulan berturut turut," katanya saat dihubungi, Sabtu (5/10/2024).
Esther menyebutkan, beberapa inflasi berdasarkan kelompok pengeluaran masih di atas inflasi umum. Inflasi transportasi bahkan sangat tinggi dan mengkhawatirkan karena menjadi salah satu penyebab memburuknya daya beli. Karena itu, Esther mengatakan tidak heran jika jumlah kelas menengah terus turun.
Dirinya pun menekankan pentingnya menurunkan suku bunga dan gunakan instrumen moneter seperti giro wajib minimun. Investasi kebijakan moneter juga menurutnya harus fokus pada stabilitas harga bukan hanya nilai tukar.
"Stabilitas harga tidak hanya di level nasional tapi juga di level daerah karena karakteristik inflasi regional setiap daerah berbeda. Akumulasi surplus sebesar Rp312 triliun seharusnya bisa digunakan untuk intervensi kebijakan moneter untuk stabilisasi harga sampai ke daerah," tandasnya.
Dia menilai, pemberian BLT tidak cukup untuk menopang kebutuhan hidup masyarakat, sementara pengurangan subsidi BBM justru berpotensi meningkatkan biaya transportasi, yang pada akhirnya mendorong naik inflasi.
"BLT tidak cukup. Yang harus dilakukan adalah stabilisasi harga agar tidak terjadi kenaikan inflasi. Pengurangan subsidi BBM berpotensi meningkatkan biaya transportasi yang akan meningkatkan inflasi. Pelemahan daya beli telah terjadi selama 5 bulan berturut turut," katanya saat dihubungi, Sabtu (5/10/2024).
Esther menyebutkan, beberapa inflasi berdasarkan kelompok pengeluaran masih di atas inflasi umum. Inflasi transportasi bahkan sangat tinggi dan mengkhawatirkan karena menjadi salah satu penyebab memburuknya daya beli. Karena itu, Esther mengatakan tidak heran jika jumlah kelas menengah terus turun.
Dirinya pun menekankan pentingnya menurunkan suku bunga dan gunakan instrumen moneter seperti giro wajib minimun. Investasi kebijakan moneter juga menurutnya harus fokus pada stabilitas harga bukan hanya nilai tukar.
"Stabilitas harga tidak hanya di level nasional tapi juga di level daerah karena karakteristik inflasi regional setiap daerah berbeda. Akumulasi surplus sebesar Rp312 triliun seharusnya bisa digunakan untuk intervensi kebijakan moneter untuk stabilisasi harga sampai ke daerah," tandasnya.
(fjo)