Ada Apa di Balik Niatan Impor Beras

Senin, 15 Maret 2021 - 21:53 WIB
loading...
A A A
Namun, beras tersebut hanya tersalurkan sekitar 450 ribu ton dari alokasi sebanyak 900 ribu ton. Sisanya, hingga kini sebanyak 275.811 ton beras impor tahun 2018 masih tersimpan di gudang Bulog dengan 106.642 ton di antaranya sudah mengalami turun mutu.

Rencananya kata Buwas, beras sisa impor tahun 2018 tersebut akan diolah menjadi tepung yang akan ditangani oleh Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian. Namun menurutnya, Bulog sudah mendapatkan penugasan impor beras 1 juta ton kendati sisa impor beras tahun 2018 belum diselesaikan.

Dia menyebut, Bulog telah kehilangan pangsa pasar sebesar 2,6 juta ton beras per tahun dikarenakan Program Rastra (beras untuk keluarga sejahtera) diganti oleh pemerintah menjadi Bantuan Pangan Nontunai (BPNT). Yang tadinya masyarakat mendapatkan bansos berupa beras dari Bulog, kini diberikan bantuan secara nontunai yang bisa dibelanjakan sendiri oleh masyarakat penerima manfaat di warung-warung yang bekerja sama dengan Kementerian Sosial.

Namun, jika memang harus impor, Budi Waseso mengatakan pihaknya siap untuk menampung beras hingga 3,6 juta ton sesuai kapasitas gudang Bulog di seluruh Indonesia. Namun, ia meminta agar ada pangsa pasar untuk menyalurkan beras yang diserap. "Kalau kami membeli sebanyak apapun kami siap, asalkan hilirnya dipakai," katanya.

Distribusi Produk

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengatakan, rencana impor beras harus didasarkan pada data. Sementara, BPS telah menyatakan stok pangan dalam negeri masih aman.

"Impor pangan itu bukan sesuatu yang haram, diperbolehkan di Undang-Undang Pangan, tapi ada prasayaratnya, kalau kebutuhan dalam negeri tidak mencukupi. Sementara BPS menyatakan bahwa ketersediaan beras cukup, bahkan sektor pertanian satu-satunya yang tumbuh selama pandemi," ujarnya.

Menjadi tidak rasional, kata dia, jika wacana itu justru digulirkan jelang musim panen. Artinya, yang terjadi bukan masalah komunikasi, melainkan abai dari data BPS. Sementara Presiden Jokowi berulang kali mengatakan, data yang digunakan adalah data BPS.

Menurutnya, pengumpulan data BPS sudah cukup akurat karena menggunakan metodologi Kerangka Sampel Area (KSA) yang menggunakan citra satelit, dan bukan berdasarkan asumsi-asumsi.

"Impor harus didukung data valid, bukan pertimbangan perburuan rente, dan bukan hanya masalah harga. Memang harga dalam negeri punya disparitas yang tinggi dari harga internasional, ini karena biaya produksi di dalam negeri cukup mahal," katanya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1093 seconds (0.1#10.140)