Soal Paspor Vaksin, Etika & Privasi Masih Jadi Kendala
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tak hanya di China, di beberapa negara lain juga sudah meluncurkan paspor vaksin digital, termasuk Israel, yang sejauh ini memiliki angka vaksinasi tertinggi di dunia. Februari lalu, Pemerintah Israel memperkenalkan 'paspor hijau' digital, sertifikat inokulasi yang memberikan keleluasaan pada warga yang sudah divaksinasi.
Dilansir dari ABC News, warga Israel yang telah divaksi diizinkan mengunjungi tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi warga yang belum divaksinasi, seperti bar, hotel, kolam renang dan gym. Meski begitu, skema serupa masih belum dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa karena adanya perdebatan etis terkait ketidaksetaraan dan data pribadi.
Namun Inggris dan Amerika Serikat, dua negara yang juga sudah melakukan vaksinasi besar-besaran, belum ada aplikasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Di Inggris, penambahan informasi warga ke dalam aplikasi Sistem Layanan Kesehatan Nasional (NHS) telah ditolak oleh 200.000 warganya melalui petisi, sehingga memaksa parlemen untuk memperdebatkannya kembali.
Menurut laporan BBC, warga yang menolak mengatakan tindakan ini akan menciptakan masyarakat dua kelas di mana beberapa orang dapat mengakses bantuan dan merasakan kebebasan, sementara yang lainnya tidak, terutama kaum marginal.
Di Amerika Serikat, Presiden Joe Biden masih bergerak hati-hati sejak menandatangani perintah eksekutif di bulan Januari, untuk melakukan digitisasi dan membagikan data vaksinasi. Masalah data pribadi tampaknya telah mengikis antusiasme pihak administrasi, melihat kejadian baru-baru ini di mana juru bicara AS menolak panggilan masuk dari industri pariwisata yang menuntut ketegasan mereka tentang hal ini.
"Sekarang fokus kami sebagai pemerintah AS adalah melakukan vaksinasi sebanyak mungkin," kata Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki. "Dan kami akan mempertimbangkan bagaimana menyimpan data itu di tengah semakin banyaknya orang yang divaksinasi. Namun, kami akan mengerahkan energi dan sumber daya kami," imbuhnya.
Dilansir dari ABC News, warga Israel yang telah divaksi diizinkan mengunjungi tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi warga yang belum divaksinasi, seperti bar, hotel, kolam renang dan gym. Meski begitu, skema serupa masih belum dilakukan di Amerika Serikat dan Eropa karena adanya perdebatan etis terkait ketidaksetaraan dan data pribadi.
Namun Inggris dan Amerika Serikat, dua negara yang juga sudah melakukan vaksinasi besar-besaran, belum ada aplikasi yang dikembangkan oleh pemerintah. Di Inggris, penambahan informasi warga ke dalam aplikasi Sistem Layanan Kesehatan Nasional (NHS) telah ditolak oleh 200.000 warganya melalui petisi, sehingga memaksa parlemen untuk memperdebatkannya kembali.
Menurut laporan BBC, warga yang menolak mengatakan tindakan ini akan menciptakan masyarakat dua kelas di mana beberapa orang dapat mengakses bantuan dan merasakan kebebasan, sementara yang lainnya tidak, terutama kaum marginal.
Di Amerika Serikat, Presiden Joe Biden masih bergerak hati-hati sejak menandatangani perintah eksekutif di bulan Januari, untuk melakukan digitisasi dan membagikan data vaksinasi. Masalah data pribadi tampaknya telah mengikis antusiasme pihak administrasi, melihat kejadian baru-baru ini di mana juru bicara AS menolak panggilan masuk dari industri pariwisata yang menuntut ketegasan mereka tentang hal ini.
"Sekarang fokus kami sebagai pemerintah AS adalah melakukan vaksinasi sebanyak mungkin," kata Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki. "Dan kami akan mempertimbangkan bagaimana menyimpan data itu di tengah semakin banyaknya orang yang divaksinasi. Namun, kami akan mengerahkan energi dan sumber daya kami," imbuhnya.
(nng)