Perhatikan Produksi Dalam Negeri

Selasa, 23 Maret 2021 - 06:44 WIB
loading...
Perhatikan Produksi...
Masyarakat membeli daging sapi kepada pedagang di Pasar Kecapi, Bekasi. Foto/Eko Purwanto
A A A
JAKARTA- Mahalnya harga daging sapi selalu terulang menjelang Hari Raya Idul Fitri. Hal ini terjadi lantaran pemerintah tidak pernah menyelesaikan persoalan di inti masalahnya.

Menurut pengamat peternakan dari Universitas Padjajaran (Unpad) Rochadi Tawaf tahun ini diprediksi kenaikan harga daging sapi lebih parah dari sebelumnya. Banyak faktor yang memengaruhi mulai dari kebijakan dalam negeri yang kontra produktif, peningkatan permintaan dan persediaan yang kurang memadai.

Dia menyebut bahwa Indonesia memang kekurangan sapi. Hingga kini suplai peningkatan hanya terjadi di angka 1,3 persen saja per tahun. Sedangkan permintaan mencapai enam persen per tahun atau enam kali lipat dari ketersediaan.

“Tahun ini lebih parah atau boleh dikatakan memang mahal karena pemerintah tidak pernah menyelesaikan persoalan dengan inti masalah untuk daging sapi. Tiap road map yang dibuat sepertinya main-main dan tidak pernah diikuti apa yang dijadikan asumsi oleh ahli yang membuat,” katanya kepada KORAN SINDO.

Dia mencontohkan seharusnya Indonesia mengimpor 3,5 juta ekor sapi indukan selama 10 tahun berturut-turut. Artinya setiap tahun Indonesia mengimpor sebanyak 350.000 ekor sapi. Sayangnya hal itu tidak dilakukan dengan benar.

“Tapi ini nggak pernah diikuti. Setahun paling import hanya 3.000 sampai 6.000 ekor saja, padahal seharusnya 300.000 ekor per tahun,” bebernya.

Hal lain yang juga disoroti adalah kebijakan yang kontraproduktif. Misalnya dilarang menggunakan hormon untuk perkembangan sapi di dalam negeri. Tapi ternyata sapi yang diimpor menggunakan tambahan hormon. “Ini kan tidak konsisten. Kalau di Eropa melarang penggunaan hormonal maka dia melarang masuk sapi impor dari negara yang menggunaka hormon. Tapi di kita (Indonesia) nggak begitu,” tegas Rochadi.

Faktor lain adalah kebijakan menentukan harga. Dia mempertanyakan mengapa bukan kebijakan yang menentukan produksi karena penentuan harga sebagai akibat dari suplai dan demand. Ketika suplai banyak maka harga akan turun walaupun demand tinggi.

“Tapi ini kan dipatok harga. Artinya, jadi impor yang banyak. Jadi diwenangkan impor dan tidak diarahkan pada produksi dalam negeri. Padahal Presiden bilang cegah impor,” tambahnya.

Rochadi menuturkan, tahun ini lebih spesifik karena ada kebakaran hutan di Australia dan banjir di tahun 2019 dan 2020. Akibatnya, Australia harus melakukan seleksi terhadap populasi ternak yang akan diekspor ke Indonesia. Inilah yang menyebakbkan kenaikan harga lebih spesifik di tahun ini.

“Tahun ini lebih spesifik karena ada kebakaran hutan di Australia dan banjir di tahun 2019 dan 2020 akibatnya mereka shorted dan mereka harus memilih polulasinya dan ekspor ke Indonesia menurun. Akibatnya barang tidak ada, padahal kita perlu 600.000 ekor setahun. Jadi tida ada barang, itu yang jadi masalah, permintaan tinggi. Ini persoalan tahun ini akan lebih parah dari sebelumnya karena saat ini juga sudah mulai recovery. Demand sudah menggeliat tapi barang tidak ada, jadi harga naik,” ungkapnya.

Lebih detail dijelaskan untuk landed cost daging sapi hidup impor saat ini adalah Rp57.000 per kilogram. Sementara harga dalam negeri di peternak Rp47.000. Padahal biasanya harga daging import lebih murah dibanding daging lokal. “Sekarang harga impor lebih mahal dari lokal padahal stok dalam negeri kurang. Ini harga akan naik lagi karena demand meningkat. Ini terjadi pengurasan populasi kalau impor ngga masuk,” tambahnya.

Sementara ekonom INDEF Agus Herta Sumarto mengatakan, kenaikan harga sembako pada saat Ramadan dan Hari Raya idul Fitri merupakan fenomena yang sifatnya rutinitas tahunan. Sebagai siklus tahunan maka kondisi ini seharusnya sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari.

Pemerintah harus sudah bisa memprediksi berapa permintaan pasar terhadap komoditas sembako menjelang datangnya bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri dan berapa ketersediaannya. Sehingga bisa diketahui ketersediaan komoditas sembako di pasar apakah terjadi surplus atau defisit.

“Jika terjadi suprlus maka pemerintah harus membuat kebijakan harga dasar sehingga petani bisa terlindungi. Jika yang terjadi adalah defisit maka pemerintah harus menambah pasokan mlketersediaan komoditas sembako di pasar sehingga konsumen terlindungi,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, menambah ketersediaan di pasar bisa melalui beberapa cara. Salah satunya yang bisa dilakukan dalam jangka pendek adalah melalui impor. Ditegaskan Agus impor saat paceklik bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan.

Bahkan impor di saat paceklik dan harga tinggi merupakan salah satu cara membangun ketahanan pangan nasional. Namun tentunya kebijakan impor ini harus didampingi dengan regulasi yang ketat sehingga tidak dimanfaatkan oleh para pemburu rente. Namun dalam jangka panjang, pemerintah harus bisa membangun teknologi pertanian yang bisa mengurangi pengaruh variabel musim.

Komoditas cabai harus bisa ditanam kapan saja tanpa dipengaruhi oleh musim hujan atau kemarau. Contohnya adalah dengan menanam cabai menggunakan teknologi rumah kaca sehingga tidak dipengaruhi oleh musim hujan atau musim kemarau. “Dengan tekonologi tersebut maka pasokan di pasar akan stabil sehingga harga sembako juga akan stabil,” ungkapnya.

Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pedagang Daging Indonesia (DPP APDI) Asnawi mengatakan, hingga saat ini Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan daging dalam negeri dari hasil produksi dalam negeri. Akibatnya kekurangannya harus ditutupi dari produk impor.

Untuk impor daging, Indonesia mendapat pesaing dari negara-negara lain. Ketika ada banyak kompetitor untuk impor daging, barang yang diinginkan sama, dan kondisi produksi berkurang, maka secara otomatis harga daging impor ketika tiba dan dijual di Indonesia akan naik.

"Walaupun Indonesia negara besar, selama lebih tiga dasawarsa atau hampir empat dasawarsa Indonesia adalah daging dan sapi dari Australia. Nah kalau memang kita sudah bergantung pada satu negara, terjadinya kompetitor, kita masih impor, otomatis kan perubahan harga terjadi. Daging dari Australia kan ada kenaikan, kalau begitu ada dong dampaknya ke sapi-sapi lokal naik," ujar Asnawi kepada KORAN SINDO, kemarin.

Dia mengungkapkan, sapi timbang hidup yang diimpor dari Australia sebelum Juli 2020 harganya sebesar USD2,8 per kilogram dikalikan sekitar Rp14.000 sehingga setara sekitar Rp39.200. Ketika masuk Agustus hingga September 2020 harganya sebesar USD3,2 per kilogram dikalikan sekitar Rp14.000 sehingga setara Rp44.800.

Dia menggariskan, para pedagang daging sapi termasuk di pasar-pasar Indonesia tidak pernah berniat menaikkan harga apalagi menjelang Ramadan 2021. Menurut Asnawi, selama masa pandemi Covid-19 termasuk menjelang Ramadan kali ini para pedagang daging malah lebih banyak tidak balik modal.

Bahkan kata dia, sudah ada lima perusahaan importir daging yang gulung tikar alias bangkrut. Sejumlah pedagang daging sapi di pasar-pasar banyak yang tidak berdagang. r ratna purnama/sabir laluhu
(bai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1063 seconds (0.1#10.140)