S&P Turunkan Prospek Utang, Sri Mulyani Akui Beban APBN Meningkat
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga pemeringkat kredit Standard & Poor's Global Ratings (S&P) menurunkan prospek (outlook) utang jangka panjang Indonesia dari sebelumnya 'Stabil' menjadi 'Negatif' akibat pandemi virus corona.
Meski demikian, dalam laporan tersebut, S&P mengatakan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat. Selain itu, S&P menilai kebijakan pemerintah adaptif dan responsif terhadap perubahan kondisi.
Terkait penurunan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kebijakan pemerintah telah mampu menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang sedang berkembang saat ini.
"Namun kebijakan tersebut mengakibatkan peningkatan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai dampak dari bertambahnya kebutuhan pembiayaan melalui utang dan meningkatnya beban utang," ujar Menkeu di Jakarta, Sabtu (18/4/2020).
Meningkatnya beban APBN akibat dari bertambahnya kebutuhan pembiayaan melalui utang dan meningkatnya beban utang. Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN hingga Maret 2020 mencapai Rp76,4 triliun atau 0,45% terhadap Produk Domestik Bruto.
Lanjut Sri Mulyani, hal ini sebagai upaya penanganan pandemi Covid-19, dimana pemerintah dan otoritas terkait mengambil langkah–langkah yang bersifat luar biasa (extraordinary actions) secara cepat.
"Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona dalam upaya menjaga akuntabilitas dan memberikan landasan hukum dalam upaya penanggulangan Covid-19," katanya.
Perppu ini antara lain ditindaklanjuti pemerintah dengan mengambil kebijakan pelebaran batas defisit anggaran guna mengantisipasi peningkatan anggaran belanja dalam penanganan dampak Covid-19. Beleid itu juga sebagai upaya pemerintah mencegah krisis ekonomi dan keuangan.
Dalam mendukung pelaksanaan Perppu tersebut, Bank Indonesia (BI) dapat mengambil tindakan tak biasa. Salah satunya, dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. "BI berfungsi sebagai last resort untuk membantu pemerintah membiayai penanganan dampak Covid-19, dalam hal mekanisme pasar tidak terpenuhi," ujarnya.
Hal tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pemerintah dengan BI No. 190/KMK.08/2020 dan No.22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tentang Skema dan Mekanisme Koordinasi Pembelian Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana Untuk Menjaga Kesinambungan Pengelolaan Keuangan Negara sebagai dasar pelaksanaan kehati-hatian fiskal (fiscal prudence) pemerintah.
Meski demikian, dalam laporan tersebut, S&P mengatakan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat. Selain itu, S&P menilai kebijakan pemerintah adaptif dan responsif terhadap perubahan kondisi.
Terkait penurunan tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kebijakan pemerintah telah mampu menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang sedang berkembang saat ini.
"Namun kebijakan tersebut mengakibatkan peningkatan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai dampak dari bertambahnya kebutuhan pembiayaan melalui utang dan meningkatnya beban utang," ujar Menkeu di Jakarta, Sabtu (18/4/2020).
Meningkatnya beban APBN akibat dari bertambahnya kebutuhan pembiayaan melalui utang dan meningkatnya beban utang. Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN hingga Maret 2020 mencapai Rp76,4 triliun atau 0,45% terhadap Produk Domestik Bruto.
Lanjut Sri Mulyani, hal ini sebagai upaya penanganan pandemi Covid-19, dimana pemerintah dan otoritas terkait mengambil langkah–langkah yang bersifat luar biasa (extraordinary actions) secara cepat.
"Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona dalam upaya menjaga akuntabilitas dan memberikan landasan hukum dalam upaya penanggulangan Covid-19," katanya.
Perppu ini antara lain ditindaklanjuti pemerintah dengan mengambil kebijakan pelebaran batas defisit anggaran guna mengantisipasi peningkatan anggaran belanja dalam penanganan dampak Covid-19. Beleid itu juga sebagai upaya pemerintah mencegah krisis ekonomi dan keuangan.
Dalam mendukung pelaksanaan Perppu tersebut, Bank Indonesia (BI) dapat mengambil tindakan tak biasa. Salah satunya, dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. "BI berfungsi sebagai last resort untuk membantu pemerintah membiayai penanganan dampak Covid-19, dalam hal mekanisme pasar tidak terpenuhi," ujarnya.
Hal tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pemerintah dengan BI No. 190/KMK.08/2020 dan No.22/4/KEP.GBI/2020 tanggal 16 April 2020 tentang Skema dan Mekanisme Koordinasi Pembelian Surat Utang Negara dan/atau Surat Berharga Syariah Negara di Pasar Perdana Untuk Menjaga Kesinambungan Pengelolaan Keuangan Negara sebagai dasar pelaksanaan kehati-hatian fiskal (fiscal prudence) pemerintah.
(bon)