Milenial pun Gandrung Bercocok Tanam

Senin, 05 April 2021 - 19:30 WIB
loading...
Milenial pun Gandrung Bercocok Tanam
foto ilustrasi
A A A
JAKARTA– Banyak pandangan yang mengatakan bahwa generasi muda dalam hal ini kalangan milenial tak mau menjadi petani. Namun, tren urban farming (bercocok tanam di perkotaan) menimbulkan fenomena baru. Sejumlah anak muda baik yang tergabung dalam komunitas maupun perorangan kini mulai senang bercocok tanam.

Fenomena ini tentu sebuah hal yang positif. Urban farming juga bisa menjadi pintu bagi kaum muda untuk lebih mengenal dan mencintai dunia pertanian, atau bahkan nantinya menjadi petani atau trennya dikenal dengan petani milenial. Tren urban farming kini bukan hanya untuk kemandirian pangan namun lebih bisnis. Sudah banyak kaum milenial memilih bidang pertanian sebagai peluang usaha baru.

“Dibutuhkan sosok sosok petani modern sukses yang dapat menginspirasi kaum muda untuk mau bertani. Sudah banyak, kaum muda yang hobi berkebun lalu merasakan manfaatnya. Biasanya mereka membuat komunitas yang menebar ilmu perlu disebarluaskan agar masyarakat terinspirasi," ujar peneliti Endang Tri Margawati dari Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI.

Endang menambahkan, jika seseorang sudah memiliki jiwa bisnis akan cepat menangkap kebutuhan pasar. Sekalipun mereka baru di bidang pertanian, sudah paham tanaman apa saja yang suatu saat bisa sangat diinginkan masyarakat atau paling tidak untuk kebutuhan diri sendiri. Seperti cabe yang seringkali tiba-tiba mahal harganya. “Pemerintah hingga saat ini pun sudah tepat mendukung untuk memberikan pelatihan yang tujuannya untuk memicu pergerakan ekonomi. Selain pelatihan bertani sekarang juga sudah banyak ilmu soal mengemas hasil pertanian, daripackaginghingga pemasaranonline," kata dia.

Membangun Komunitas

Bagi warga perkotaan tentunya tidak lagi ada alasan untuk tidak memulai giat bercocok tanam. Sebab, kini komunitas urban farming sudah menjamur terutama komunitas urban farming dari kalangan anak-anak muda. Mereka berkumpul untuk berbagi ilmu soal pertanian, hingga saling membantu menjual hasil pertanian sesama anggota komunitas. Para anggota komunitas pun bahkan membuat komunitas lagi untuk semakin meluaskan jejaring membantu para petani modern pemula dengan berbagai fokus mereka.

Seperti yang dilakukan Gibran Tragari, yang kini aktif di Indonesia Berkebun dan Depok Berkebun. Dengan komunitasnya ini, dirinya makin terpacu untuk terus berbagi ilmu dan pengalaman bercocok tanam, bahkan membuat komunitas baru lagi, yakni Sendalu Permaculture. Ada misi besar yang ingin dibawa Gibran bersama komunitasnya ini, yakni bercocok tanam sembari melestarikan lingkungan. Gibran menularkan konsep bercocok tanam ramah lingkungan, sepertipemilahan sampah, pengurangan konsumsi, hingga pengolahan sisa sampah organik untuk dijadikan kompos. Manajemen air juga diperhatikan. Di mana air yang digunakan akan ditampung untuk digunakan kembali, sedangkan sisanya dialirkan agar terserap ke dalam tanah.

“Banyak manfaat dari aktivitas urban farming ini salah satunya mampu membangun kemandirian pangan. Keuntungan urban farming dirasakan bermacam-macam tergantung kebutuhan. Misalnya para ibu mereka mulai bercocok tanam supaya tidak belanja sayuran lagi, sehingga dapat lebih hemat pengeluaran. Bagi aktivis lingkungan mereka memang memikirkan manfaat bagi lingkungan sekitar. Kalau kita berkebun berarti kita menyerap air, dapat mengurangi banjir," jelas Gibran.

Gibran mengakui, di situasi pandemi sekarang ini urban farming menjadi salah satu aktivitas paling masuk akal untuk menjaga kesehatan. "Olahraga membuat sehat. Tapi makanan yang dikonsumsi juga harus sehat. Maka banyak masyarakat kota yang mulai menanam sendiri untuk meyakinkan diri mereka, bahwa yang mereka konsumsi menyehatkan.

Hasil menanam sendiri memang jelas akan lebih sehat karena untuk dikonsumsi sendiri. Sehingga kita menjadi lebih tahu apa yang terjadi pada tanaman yang kita tanam. Adanya kekhawatiran bahwa hasil panen dari urban farming tidak sehatkarena di perkotaan banyak polusi, hujan asam dan lainnya. Menurut Gibran itu hanya kekhawatiran tak mendasar. “Jika dibandingkan dengan sayuran yang kita tidak tahu di mana ditanamnya dan siapa yang menanam, itu yang seharusnya membuat kita lebih khawatir. Bisa saja penggunaaan pestisida yang sangat banyak. Sementara, jika menanam sendiri dipastikan kita tidak mungkin akan menggunakan bahan seperti itu. Soal polusi, dapat disiasati oleh para pelaku urban farming ini dengan selalu mengontrol posisi tanaman agar jauh dari polusi,” ulasnya.

Adapun tanaman favorit para petani kota ini biasanya dimulai dari tanaman yang mudah ditanam dan dikonsumsi sehari-hari seperti bayam dan kangkung.Di Sendalu Permaculture fokus di tanaman tahunan, sehingga tidak perlu ditanam berkali-kali karena dapat dipanen terus menerus setelah 8 bulan masa penanaman selama ekosistemnya terjaga. Tanaman tahunan ini yaitu katuk, serai, pandan, bunga telang, singkong, bayam brazil, daun papaya jepang atau gedi, pepaya, dan beberapa jenis empon-emponan.

"Tapi sebenarnya masih banyak lagi (komoditas yang ditanam di urban farming) seperti daun mint. Kami juga ingin mereka yang melakukan urban farming dapat mengonsumsi sayuran yang lebih beragam. Banyak bibit juga yang kami mulai jual untuk memudahkan mereka yang ingin mencoba banyak jenis sayuran," ungkap Gibran.

Merambah Pertanian Skala Besar

Urban farming ini juga sangat besar prospek bisnisnya. Bahkan di komunitas besar seperti Indonesia Berkebun ada pasar kebun keliling. Sama seperti pasar tani yang dibuat oleh pemerintah, namun pasar kebun yang digagas komunitas urban farming masih dalam lingkup kecil. “Persediaan juga masih terbatas karena lahan kecil. Namun setidaknya hasil bercocok tanam dari para anggota dapat langsung dijual. Misalnya kolang kaling, teh rosela dan lainnya. Secara ekonomi memang tidak terlalu besar karena produk tidak banyak. Tapi yang saya lihat menarik, ketika kita mulai jualan suatu produk. Itu menjadi inspirasi bagi anggota lainnya. Semua dapat dimulai dari rumah misalnya buat teh rosela, dapat rosela dari menanam di rumah sendiri," jelas Gibran.

Direktur Utama Pandu Tani Indonesia (Patani) Sarjan Tahir mengatakan, tren urban farming saat pandemi bisa dijadikan momentum bagi masyarakat terutama kalangan milenial menyalurkan hobi bercocok tanam dan ke depannya sangat komersial. Bisnis urban farming, ujar Sarjan, sangat berpeluang karena di komunitas saling berbagi dan menginpirasi untuk sama-sama menekuni hobi yang dapat menambah penghasilan.

“Secara komersial (urban farming) sangat menjanjikan. Di beberapa tempat terutama kediaman (halaman rumah) bisa jadi lahan pertanian sekaligus store untuk jualan bibit, tanaman, ikan dan lain-lain. Pola seperti ini ini sangat menguntungkan bagi kaum muda mengisi waktu yang produktif. Ini bisa masuk kategori ekonomi kreatif, karena seni bisnis yang dijalankan anak muda ini unik dan penuh kreasi olahan. Seperti menanam tanaman hias dan komoditi pelengkap dapur mulai sayur-sayuran, cabe, dan banyak lagi, termasuk variasi tanaman organik yang terintegrasi dengan budidaya ikan,” kata Sarjan.

Maraknya aktivitas urban farming di kalangan milenial sesuatu yang positif. Pemerintah, tukas Sarjan, perlu mendorong melalui sosialisasi, pelatihan, sampai penyaluran pembiayaan seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan lainnya. “Dibanding dengan tanaman petani pada umumnya yang hanya mengandalkan waktu panen tertentu, pengalaman yang didapat dari urban farming ini ganda, bisa komersil dan bisa sebagai hiburan/rekreasi di rumah. Urban farming lebih bervariasi,” ujar Sarjan.

Sebagai organisasi nirlaba yang selama ini konsen dengan sektor pertanian dan petani, Sarjan memastikan organisasi Pandu Tani yang dipimpinnya tentu turut berkontribusi akan kemajuan dunia pertanian terutama di kalangan anak muda. Bahkan, Pandu Tani sudah membentuk kelompok petani milenial untuk mendorong agar muncul petani-petani dari kalangan anak muda. Di saat kita sedang krisis SDM yang mau bertani, hal ini tentu ini menjadi tantangan. Maka itulah Pandu Tani terdorong untuk memotivasi anak-anak muda menjadi petani milenial, sekaligus menciptakan kemitraan pelaku usaha dan kelompok tani dari kalangan anak muda.

“Pandu Tani membuat organisasi sayap yakni Patani Milenial, yang di dalamnya para pelaku usaha dari anak-anak muda. Ini untuk wadah anak-anak muda di pedesaan melakukan kegiatan kemitraan yang saling menguntungkan. Kegiatan ini sedang dijalankan di Sumatera Selatan dengan komoditi karet, dan Sulawesi Selatan dengan komoditi jagun. Itupun baru permulaan, sambil sedang disiapkan market place pertanian dan digitalisasi suluh untuk monitoring kinerja Petugas Penyuluh Lapangan (PPL),” pungkas Sarjan.

Satu Warga Diberi Dua Tanaman

Menjadi petani bagi para kaum urban bukan hanya inisiasi dari para komunitas. Pemerintah pun mengajak masyarakat untuk mulai berkebun agar kemandirian pangan tercipta dan membuka peluang usaha. Pelaksana Tugas Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) Provinsi DKI Jakarta Suharini Eliawati mengatakan,antusiasme milenial sangat tinggi untuk terjun menjadi petani. Maka itulah, pihaknya menggandeng milenial untuk pengembanganurban farming. “Kami punya data milenial pegiat urbang farmingby name by address. Ada 817 petani milenial di Jakarta. Umur mereka di bawah 33 tahun. Dulu petanikandipersepsikan berusia 55 tahun ke atas, sekarang tidak lagi,” ujarnya kepada KORAN SINDO, Sabtu (3/4).

Uniknya lagi, kata Suharini, para milenial urban farmer tersebut sangat pintar melihat peluang. Ia mencontohkan salah satu pegiat urban farming di Ibu Kota bernama Anto. Menurutnya, anak muda ini pintar dalam memilih jenis tanaman yang akan ditanam termasuk pasar yang disasar. “Dia itu menanam sayur yang harganya tinggi. Bekerja sama dengan kafe Italia yang ada di Jakarta ini. Menyuplai tanaman basil, sekilo harganya sampai Rp60.000. Dia budidayakan itu, kami juga bantu lancarkan pemasarannya,” ujarnya.

Kepala Seksi Pertanian Perkotaan, Dinas KPKP Provinsi DKI Jakarta menambahkan, saat ini Pemprov DKI terus menggerakkan warganya untuk bercocok tanam. Dukungan seperti memberi pelatihan hingga pemberian bibit tanaman secara gratis pun dilakukan. Bahkan saat ini satu orang warga DKI berhak mendapat dua bibit tanaman. Jika ingin mendapat lebih banyak bibit, masyarakat dapat mengajukan surat permohonan kepada Dinas KPKP atau kantor kecamatan setempat. "Dukungan lain, kami memberikan pembinaan. Ada penyuluh pertanian dan satuan pelaksana yang bertugas di setiap kecamatan di DKI Jakarta. Sejak 2019 mulai gencar ke anak muda dan ibu rumah tangga. Kami ajarkan bercocok tanam melalui hidroponik," ujar Taufik.

Tak hanya itu, Dinas KPKP DKI Jakarta bekerja sama dengan Dinas Pemuda dan Olahraga juga Dinas Sosial dan Budaya memberikan 300 unit rak hidroponik. Banyak perwakilan Karang Taruna yang sudah dilatih kini menjadi mentor di wilayahnya masing-masing. Karena lahan bercocok tanam tidak banyak di Jakarta, dibuat desain tata pertanian perkotaan 2018-2030. Sasaran lahan yang digunakan yakni sekolah, perkantoran, rumah susun, Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). "Seperti di kantor-kantor Balai Kota di DKI ada lahan pertanian. Kami sebut Balkot Farm meskipun kecil dapat menjadi inspirasi perkantoran di Jakarta. Menggunakan hidroponik, polybag dan lainnya jenis tanamannya pun beragam bukan hanya tanaman biasa tapi sayuran, tanaman toga dan buah. ananda nararya/bakti munir/hendri irawan
(dar)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.5046 seconds (0.1#10.140)