Sejumlah Negara di Dunia Terus Membuka Akses Wisata
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sudah siapkah sektor wisata dunia kembali digerakkan? Pertanyaan ini selalu mengarah pada sisi keamanan, apakah dunia sudah benar-benar aman dari pandemi Covid-19 atau justru hanya akan memperparah kembali pandemi?
Secara faktual, sejumlah negara masih memilih menutup perbatasan dan penerbangan udara karena pandemi Covid-19 , seperti Malaysia, Selandia Baru, India, dan Filipina. Namun, di sisi lain sejumlah negara sudah membuka wilayahnya untuk para turis seperti Maladewa, Sri Lanka, dan Thailand.
Di luar itu, ada juga yang memilih membuka sebagian wilayahnya seperti Singapura dan China. Selain itu, ada banyak negara seperti Australia, China, Indonesia, dan Thailand yang terus menghidupkan destinasi wisata bagi wisatawan domestik.
Namun demikian, sebagian negara di dunia yang sudah membuka wilayahnya bagi orang asing tetap memberlakukan sejumlah aturan khusus mulai dari karantina pribadi, pengajuan tes Covid-19 dengan hasil negatif, dan memberikan bukti asuransi kesehatan. Setiap negara juga memiliki regulasi sendiri dalam mengelola pariwisata saat pandemi.
Thailand misalnya. Semua wisatawan asing yang masuk harus menjalani karantina selama dua minggu di hotel yang ditunjuk, setelah itu mereka bisa bebas berkeliling negara itu selama 60 hari. Adapun Maladewa yang membuka perbatasan sejak Juni 2020 tidak menerapkan karantina. Mereka hanya mensyaratkan pengunjung menunjukkan bukti pemesanan hotel, mengisi deklarasi kesehatan, dan wajib mengenakan masker selama di sana.
Bagaimana pula dengan Indonesia? Selama pandemi Covid-19, pemerintah memutuskan menutup akses bagi wisatawan internasional. Rencananya, pariwisata untuk wisatawan internasional kembali dibuka npada Juni dan Juli mendatang. Tentunya itu dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Itu pun dilaksanakan dengan kerja sama travel bubble atau free covid corridor dengan beberapa negara.
Kepala Biro Komunikasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisatan dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Agustini Rahayu membenarkan pemerintah memang mewacanakan pada Juni atau Juli 2020 akan membuka kembali Bali bagi wisatawan mancanegara dalam konsep perluasan travel corridor arrangement.
Namun dia menggariskan, wacana tersebut telah disampaikan Presiden Joko Widodo saat melakukan peninjauan vaksinasi di Bali pada 16 Maret lalu dengan catatan jika tahapan pra kondisi untuk menuju wacana tersebut menunjukkan kinerja positif.
"Saat ini kami bersama kementerian/lembaga terkait terus berupaya keras menyiapkan tahapan-tahapan yang dimaksud untuk terus dilaporkan kepada Presiden. Untuk itu kami mendorong agar penerapan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin benar-benar dijalankan dengan penuh tanggung jawab oleh seluruh masyarakat," ucap Ayu.
Ayu menuturkan, di awal pandemi dan sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo, maka Kemenparekraf melakukan berbagai program mitigasi atas dampak pandemi Covid-19 yang bertujuan untuk membangun ketahanan dan menyelamatkan perekonomian, khususnya di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Seiring dengan adaptasi dan penyesuaian terhadap perkembangan keadaan Covid-19, maka Kemenparekraf mulai melakukan percepatan kesiapan destinasi serta pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif untuk memasuki era adaptasi kebiasaan baru. Untuk itu, ada sejumlah langkah yang telah dan sedang dilakukan pemerintah termasuk Kemenparekraf demi menghidupkan industri pariwisata saat pandemi.
"Berbagai program stimulus disiapkan bagi pelaku maupun industri di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif untuk bertahan di tengah pandemi. Seperti program dana hibah pariwisata, program padat karya, Up-Skilling dan Re-Skilling pelaku parekraf, (dan) sertifikasi Indonesia Care," tegas Ayu kepada KORAN SINDO, di Jakarta, kemarin.
Selanjutnya, Kemenparekraf bersama industri juga tengah melakukan percepatan pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Langkah ini sebagai salah satu prasyarat utama dibukanya kembali pariwisata dan ekonomi kreatif secara penuh.
Selain itu, Kemenparekraf juga terus menekankan pelaksanaan protokol kesehatan dengan ketat dan disiplin. "Untuk saat ini yang memungkinkan untuk pergerakan wisatawan hanyalah wisatawan nusantara, karena pintu perbatasan untuk warga negara asing masih terbatas," ujarnya.
Dia kemudian menuturkan, hingga kini ada dua pertimbangan dari pemerintah tidak membuka pariwisata bagi wisatawan internasional seperti dilakukan Thailand dan Maladewa. Pertama, pembukaan bagi wisatawan internasional tentunya membutuhkan tahapan-tahapan. Salah satunya dengan memperhatikan data-data perkembangan angka Covid-19.
Kedua, saat ini kesiapan destinasi serta pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif menjadi prioritas utama Kemenparekraf dengan mendorong pergerakan wisatawan nusantara terlebih dahulu.
"Baru kemudian bertahap untuk wisatawan mancanegara. Indonesia akan membuka pariwisata bagi wisatawan internasional jika tahapan-tahapan persiapan telah berjalan dengan baik. Kemenparekraf bersama kementerian/lembaga terus berupaya agar sektor pariwisata dapat kembali bergeliat sepenuhnya. Tahapan-tahapan ini akan terus dilaporkan perkembangannya ke Presiden untuk difinalisasi," bebernya.
Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menegaskan pemerintah akan terus menerapkan adaptasi pariwisata dalam situasi adaptasi kebiasaan baru ini. Apalagi, pariwisata di masa pandemi dan pasca pandemi nanti bakal berbeda dengan pariwisata pra pandemi.
Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Budi Santoso Sukamdani menandaskan, pemerintah Indonesia memang tidak punya pilihan lain selain membatasi pergerakan orang untuk menekan dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Apalagi saat ini kondisi Indonesia belum bisa dibilang sukses mengendalikan penyebaran Covid-19.
Di sisi lain dia mengakui ada beberapa negara tertentu yang berhasil mengatasi masalah pandemi karena dari awal sudah ekstra hati-hati, seperti Taiwan, Vietnam, dan Thailand. Meski demikian, mereka pada akhirnya hanya mengandalkan wisatawan domestik.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini lantas menuturkan, penerapan protokol kesehatan di Tanah Air sudah sangat ketat. Dia menunjuk, setiap orang yang hendak bepergian, misalnya ketika akan menggunakan pesawat harus lebih dulu melakukan tes Covid-19 dan harus negatif. Dengan kondisi ini, dia melihat filter untuk mencegah penyebarluasan pandemi sebenarnya sudah ada.
Presiden Direktur PT Hotel Sahid Jaya International Tbk ini melanjutkan, jika pemerintah tak berani melonggarkan pergerakan orang secara bertahap, maka pasti berat bagi sektor pariwisata dan pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi Hariyadi, seberapapun stimulus dikucurkan pemerintah pasti tak akan kuat dan bertahan lama.
Dia menyodorkan beberapa daerah yang bisa dilakukan pelonggaran secara bertahap. Misalnya Bali. Menurut Hariyadi, sebetulnya Bali sudah bisa dibuka bagi wisatawan mancanegara. Apalagi Bali merupakan satu pulau yang terpisah dengan pulau lainnya.
"Jadi harusnya Bali sudah bisa dibuka, Bintan juga. Jadi memang harus ada keberanian dari pemerintah untuk mulai bertahap membuka, termasuk untuk wisman (wisatawan mancanegara, wisman itu kan di-testing juga. Jadi nggak ada masalah," ujarnya.
Hariyadi membeberkan, sepanjang wisman telah melalui tes Covid-19 dan dinyatakan negatif maka seharusnya sudah bisa masuk berwisata di Indonesia. Sesaat setelah tiba di daerah yang didatangi, maka wisman bisa diwajibkan lebih dulu menjalani karantina mandiri di penginapannya. Misalnya waktu karantina mandiri selama 5 hari. Berikutnya pemerintah daerah atau instansi setempat bersama Satgas Covid-19 melakukan pengawasan secara ketat selama proses tersebut.
"Jadi bisa aja kan dikarantina dengan paket yang cukup kompetitif lah harganya, begitu. Karena menurut saya, nggak apa-apa lah wisman itu membuang hari 5 hari untuk dikarantina. Misalnya di Bali, ya, menurut sih nggak apa-apa," katanya.
Sementara itu, epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono berpendapat membuka wisata saat masih pandemi seperti ini adalah hal berbahaya.Pasalnya, pembukaan wisata saat masih pandemi berdampak pada penambahan angka kasus penularan Covid-19.
‘’Bahaya karena saat ini status wabahnya belum turun menjadi endemis. Buka wisata kalau kasusnya sudah tidak wabah lagi. Semua daerah harus menurunkan status wabah menjadi endemis. Dengan kontak tracing yang benar,’’ katanya.
Dia menandaskan. jika pemerintah ingin membuka kembali sektor pariwisata, sebaiknya menunggu turunnya status wabah menjadi endemis terlebih dahulu. Jika ini tidak dilakukan maka bisa berdampak buruk pada tingginya penularan. Dalam pandangannya, saat ini belum tepat jika membuka wisata terlebih untuk wisatawan mancanegara.
Lebih jauh dia menegaskan, bila nanti pariwisata dibuka, maka prosedur kesehatan harus diterapkan secara ketat. Misalnya dilakukan tes antigen, menunjukkan surat bebas Covid-19 hingga penerapan protokol kesehatan yang berlaku. Kendati demikian, itu pun masih tetap beresiko akan menambah angka kasus juga.
Apalagi untuk membuka pariwista untuk wisman, harus melakukan pertimbangan secara lebih mendalam. Dia mencontohkan Thailand dan Malaysia yang menerapkan prosedur ketat bagi wisman, dalam hal ini karantina masing-masing 14 dan 10 hari.
’’Kalau Indonesia nggak memberlakukan karantina, kalaupun iya (karantina) cuma empat hari. Seharusnya indonesia menolak semuanya. Kalau mau membuka wisata luar negeri ya harus karantina 10 hari,’’ tegasnya.
Secara faktual, sejumlah negara masih memilih menutup perbatasan dan penerbangan udara karena pandemi Covid-19 , seperti Malaysia, Selandia Baru, India, dan Filipina. Namun, di sisi lain sejumlah negara sudah membuka wilayahnya untuk para turis seperti Maladewa, Sri Lanka, dan Thailand.
Di luar itu, ada juga yang memilih membuka sebagian wilayahnya seperti Singapura dan China. Selain itu, ada banyak negara seperti Australia, China, Indonesia, dan Thailand yang terus menghidupkan destinasi wisata bagi wisatawan domestik.
Namun demikian, sebagian negara di dunia yang sudah membuka wilayahnya bagi orang asing tetap memberlakukan sejumlah aturan khusus mulai dari karantina pribadi, pengajuan tes Covid-19 dengan hasil negatif, dan memberikan bukti asuransi kesehatan. Setiap negara juga memiliki regulasi sendiri dalam mengelola pariwisata saat pandemi.
Thailand misalnya. Semua wisatawan asing yang masuk harus menjalani karantina selama dua minggu di hotel yang ditunjuk, setelah itu mereka bisa bebas berkeliling negara itu selama 60 hari. Adapun Maladewa yang membuka perbatasan sejak Juni 2020 tidak menerapkan karantina. Mereka hanya mensyaratkan pengunjung menunjukkan bukti pemesanan hotel, mengisi deklarasi kesehatan, dan wajib mengenakan masker selama di sana.
Bagaimana pula dengan Indonesia? Selama pandemi Covid-19, pemerintah memutuskan menutup akses bagi wisatawan internasional. Rencananya, pariwisata untuk wisatawan internasional kembali dibuka npada Juni dan Juli mendatang. Tentunya itu dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Itu pun dilaksanakan dengan kerja sama travel bubble atau free covid corridor dengan beberapa negara.
Kepala Biro Komunikasi Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisatan dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) Agustini Rahayu membenarkan pemerintah memang mewacanakan pada Juni atau Juli 2020 akan membuka kembali Bali bagi wisatawan mancanegara dalam konsep perluasan travel corridor arrangement.
Namun dia menggariskan, wacana tersebut telah disampaikan Presiden Joko Widodo saat melakukan peninjauan vaksinasi di Bali pada 16 Maret lalu dengan catatan jika tahapan pra kondisi untuk menuju wacana tersebut menunjukkan kinerja positif.
"Saat ini kami bersama kementerian/lembaga terkait terus berupaya keras menyiapkan tahapan-tahapan yang dimaksud untuk terus dilaporkan kepada Presiden. Untuk itu kami mendorong agar penerapan protokol kesehatan yang ketat dan disiplin benar-benar dijalankan dengan penuh tanggung jawab oleh seluruh masyarakat," ucap Ayu.
Ayu menuturkan, di awal pandemi dan sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo, maka Kemenparekraf melakukan berbagai program mitigasi atas dampak pandemi Covid-19 yang bertujuan untuk membangun ketahanan dan menyelamatkan perekonomian, khususnya di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.
Seiring dengan adaptasi dan penyesuaian terhadap perkembangan keadaan Covid-19, maka Kemenparekraf mulai melakukan percepatan kesiapan destinasi serta pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif untuk memasuki era adaptasi kebiasaan baru. Untuk itu, ada sejumlah langkah yang telah dan sedang dilakukan pemerintah termasuk Kemenparekraf demi menghidupkan industri pariwisata saat pandemi.
"Berbagai program stimulus disiapkan bagi pelaku maupun industri di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif untuk bertahan di tengah pandemi. Seperti program dana hibah pariwisata, program padat karya, Up-Skilling dan Re-Skilling pelaku parekraf, (dan) sertifikasi Indonesia Care," tegas Ayu kepada KORAN SINDO, di Jakarta, kemarin.
Selanjutnya, Kemenparekraf bersama industri juga tengah melakukan percepatan pelaksanaan vaksinasi Covid-19. Langkah ini sebagai salah satu prasyarat utama dibukanya kembali pariwisata dan ekonomi kreatif secara penuh.
Selain itu, Kemenparekraf juga terus menekankan pelaksanaan protokol kesehatan dengan ketat dan disiplin. "Untuk saat ini yang memungkinkan untuk pergerakan wisatawan hanyalah wisatawan nusantara, karena pintu perbatasan untuk warga negara asing masih terbatas," ujarnya.
Dia kemudian menuturkan, hingga kini ada dua pertimbangan dari pemerintah tidak membuka pariwisata bagi wisatawan internasional seperti dilakukan Thailand dan Maladewa. Pertama, pembukaan bagi wisatawan internasional tentunya membutuhkan tahapan-tahapan. Salah satunya dengan memperhatikan data-data perkembangan angka Covid-19.
Kedua, saat ini kesiapan destinasi serta pelaku usaha pariwisata dan ekonomi kreatif menjadi prioritas utama Kemenparekraf dengan mendorong pergerakan wisatawan nusantara terlebih dahulu.
"Baru kemudian bertahap untuk wisatawan mancanegara. Indonesia akan membuka pariwisata bagi wisatawan internasional jika tahapan-tahapan persiapan telah berjalan dengan baik. Kemenparekraf bersama kementerian/lembaga terus berupaya agar sektor pariwisata dapat kembali bergeliat sepenuhnya. Tahapan-tahapan ini akan terus dilaporkan perkembangannya ke Presiden untuk difinalisasi," bebernya.
Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menegaskan pemerintah akan terus menerapkan adaptasi pariwisata dalam situasi adaptasi kebiasaan baru ini. Apalagi, pariwisata di masa pandemi dan pasca pandemi nanti bakal berbeda dengan pariwisata pra pandemi.
Ketua Umum Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Budi Santoso Sukamdani menandaskan, pemerintah Indonesia memang tidak punya pilihan lain selain membatasi pergerakan orang untuk menekan dan memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Apalagi saat ini kondisi Indonesia belum bisa dibilang sukses mengendalikan penyebaran Covid-19.
Di sisi lain dia mengakui ada beberapa negara tertentu yang berhasil mengatasi masalah pandemi karena dari awal sudah ekstra hati-hati, seperti Taiwan, Vietnam, dan Thailand. Meski demikian, mereka pada akhirnya hanya mengandalkan wisatawan domestik.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) ini lantas menuturkan, penerapan protokol kesehatan di Tanah Air sudah sangat ketat. Dia menunjuk, setiap orang yang hendak bepergian, misalnya ketika akan menggunakan pesawat harus lebih dulu melakukan tes Covid-19 dan harus negatif. Dengan kondisi ini, dia melihat filter untuk mencegah penyebarluasan pandemi sebenarnya sudah ada.
Presiden Direktur PT Hotel Sahid Jaya International Tbk ini melanjutkan, jika pemerintah tak berani melonggarkan pergerakan orang secara bertahap, maka pasti berat bagi sektor pariwisata dan pertumbuhan ekonomi nasional. Bagi Hariyadi, seberapapun stimulus dikucurkan pemerintah pasti tak akan kuat dan bertahan lama.
Dia menyodorkan beberapa daerah yang bisa dilakukan pelonggaran secara bertahap. Misalnya Bali. Menurut Hariyadi, sebetulnya Bali sudah bisa dibuka bagi wisatawan mancanegara. Apalagi Bali merupakan satu pulau yang terpisah dengan pulau lainnya.
"Jadi harusnya Bali sudah bisa dibuka, Bintan juga. Jadi memang harus ada keberanian dari pemerintah untuk mulai bertahap membuka, termasuk untuk wisman (wisatawan mancanegara, wisman itu kan di-testing juga. Jadi nggak ada masalah," ujarnya.
Hariyadi membeberkan, sepanjang wisman telah melalui tes Covid-19 dan dinyatakan negatif maka seharusnya sudah bisa masuk berwisata di Indonesia. Sesaat setelah tiba di daerah yang didatangi, maka wisman bisa diwajibkan lebih dulu menjalani karantina mandiri di penginapannya. Misalnya waktu karantina mandiri selama 5 hari. Berikutnya pemerintah daerah atau instansi setempat bersama Satgas Covid-19 melakukan pengawasan secara ketat selama proses tersebut.
"Jadi bisa aja kan dikarantina dengan paket yang cukup kompetitif lah harganya, begitu. Karena menurut saya, nggak apa-apa lah wisman itu membuang hari 5 hari untuk dikarantina. Misalnya di Bali, ya, menurut sih nggak apa-apa," katanya.
Sementara itu, epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono berpendapat membuka wisata saat masih pandemi seperti ini adalah hal berbahaya.Pasalnya, pembukaan wisata saat masih pandemi berdampak pada penambahan angka kasus penularan Covid-19.
‘’Bahaya karena saat ini status wabahnya belum turun menjadi endemis. Buka wisata kalau kasusnya sudah tidak wabah lagi. Semua daerah harus menurunkan status wabah menjadi endemis. Dengan kontak tracing yang benar,’’ katanya.
Dia menandaskan. jika pemerintah ingin membuka kembali sektor pariwisata, sebaiknya menunggu turunnya status wabah menjadi endemis terlebih dahulu. Jika ini tidak dilakukan maka bisa berdampak buruk pada tingginya penularan. Dalam pandangannya, saat ini belum tepat jika membuka wisata terlebih untuk wisatawan mancanegara.
Lebih jauh dia menegaskan, bila nanti pariwisata dibuka, maka prosedur kesehatan harus diterapkan secara ketat. Misalnya dilakukan tes antigen, menunjukkan surat bebas Covid-19 hingga penerapan protokol kesehatan yang berlaku. Kendati demikian, itu pun masih tetap beresiko akan menambah angka kasus juga.
Apalagi untuk membuka pariwista untuk wisman, harus melakukan pertimbangan secara lebih mendalam. Dia mencontohkan Thailand dan Malaysia yang menerapkan prosedur ketat bagi wisman, dalam hal ini karantina masing-masing 14 dan 10 hari.
’’Kalau Indonesia nggak memberlakukan karantina, kalaupun iya (karantina) cuma empat hari. Seharusnya indonesia menolak semuanya. Kalau mau membuka wisata luar negeri ya harus karantina 10 hari,’’ tegasnya.
(ynt)