Revitalisasi Bulog sebagai Benteng Ketahanan Pangan Nasional
loading...
A
A
A
Menurut data, selama ini penyaluran untuk Rastra bagi masyarakat berpendapatan rendah merupakan penyaluran stok beras pemerintah paling besar (captive market sebesar 2,5 juta–2,8 juta ton setiap tahun) dibanding dengan operasi pasar dan bantuan sosial bencana alam.
Pengadaan beras tahun 2015-2019 (ton setara beras)
2015 1.966.503
2016 2.961.505
2017 2.161.225
2018 1.488.584
2019 1.201.264
Total penyaluran Bulog selama 2015-2019 (ton)
2015 3.445
2016 3.209
2017 2.715
2018 1.861
2019 975
Sumber: Perum Bulog 2019
Tantangan Bulog
Kendala utama yang harus diatasi dalam upaya pengelolaan pangan nasional adalah pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaanya (Suryana, 2002). Dalam hal pengelolaan komoditas beras, kendala yang dihadapi Bulog juga tak lepas dari hukum ekonomi tersebut.
Rusono (2019) merinci sejumlah problematika Bulog menjalankan tugasnya antara lain: kurang efektifnya stabilisasi pasokan dan harga beras melalui mekanisme serta penyaluran beras yang diakibatkan jumlah beras harus dikelola sangat kurang, kesulitan dalam melakukan pengadaan beras dalam negeri akibat Harga Pembelian Pemerintah (HPP) cenderung di bawah harga pasar, sehingga insentif petani/pelaku usaha untuk menjual gabah/beras ke Bulog relatif rendah.
Kemudian kebijakan penghapusan program Raskin/ Rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang berdampak signifikan terhadap kebijakan perberasan nasional dan pengelolaan stok beras pemerintah oleh Bulog. Penghapusan program Rastra tersebut mengganggu kebijakan perberasan nasional yang selama ini terintegrasi dari hulu sampai hilir, serta menyebabkan ketidakpastian pengadaan stok beras pemerintah yang dikelola oleh Bulog.
Di luar problem internal Bulog, secara umum ketahanan pangan nasional juga tidak bisa dilepaskan dari sifat produksi komoditi pangan yang bersifat musiman dan berfluktuasi karena dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat memengaruhi ketersediaan pangan nasional.
Apabila perilaku produksi yang rentan terhadap perubahan iklim tersebut tidak dilengkapi dengan kebijakan pangan tangguh maka akan sangat merugikan, baik untuk produsen maupun konsumen.
Permasalahan distribusi juga tak kalah pelik. Stok pangan yang tersedia sebagian besar di daerah produksi harus didistribusikan antar daerah/antar pulau dimana membutuhkan strategi distribusi yang tak mudah. Tidak jarang sarana dan prasarana distribusi masih terbatas dan kadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri.
Dari sisi tata niaga, sudah menjadi rahasia umum panjangnya rantai pasokan mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar dengan penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli).
Pengadaan beras tahun 2015-2019 (ton setara beras)
2015 1.966.503
2016 2.961.505
2017 2.161.225
2018 1.488.584
2019 1.201.264
Total penyaluran Bulog selama 2015-2019 (ton)
2015 3.445
2016 3.209
2017 2.715
2018 1.861
2019 975
Sumber: Perum Bulog 2019
Tantangan Bulog
Kendala utama yang harus diatasi dalam upaya pengelolaan pangan nasional adalah pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaanya (Suryana, 2002). Dalam hal pengelolaan komoditas beras, kendala yang dihadapi Bulog juga tak lepas dari hukum ekonomi tersebut.
Rusono (2019) merinci sejumlah problematika Bulog menjalankan tugasnya antara lain: kurang efektifnya stabilisasi pasokan dan harga beras melalui mekanisme serta penyaluran beras yang diakibatkan jumlah beras harus dikelola sangat kurang, kesulitan dalam melakukan pengadaan beras dalam negeri akibat Harga Pembelian Pemerintah (HPP) cenderung di bawah harga pasar, sehingga insentif petani/pelaku usaha untuk menjual gabah/beras ke Bulog relatif rendah.
Kemudian kebijakan penghapusan program Raskin/ Rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang berdampak signifikan terhadap kebijakan perberasan nasional dan pengelolaan stok beras pemerintah oleh Bulog. Penghapusan program Rastra tersebut mengganggu kebijakan perberasan nasional yang selama ini terintegrasi dari hulu sampai hilir, serta menyebabkan ketidakpastian pengadaan stok beras pemerintah yang dikelola oleh Bulog.
Di luar problem internal Bulog, secara umum ketahanan pangan nasional juga tidak bisa dilepaskan dari sifat produksi komoditi pangan yang bersifat musiman dan berfluktuasi karena dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat memengaruhi ketersediaan pangan nasional.
Apabila perilaku produksi yang rentan terhadap perubahan iklim tersebut tidak dilengkapi dengan kebijakan pangan tangguh maka akan sangat merugikan, baik untuk produsen maupun konsumen.
Permasalahan distribusi juga tak kalah pelik. Stok pangan yang tersedia sebagian besar di daerah produksi harus didistribusikan antar daerah/antar pulau dimana membutuhkan strategi distribusi yang tak mudah. Tidak jarang sarana dan prasarana distribusi masih terbatas dan kadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri.
Dari sisi tata niaga, sudah menjadi rahasia umum panjangnya rantai pasokan mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar dengan penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli).