Demi Penguatan Ekonomi, Independensi Bank Indonesia Jangan Diutak-atik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Bank Permata Josua Pardede memandang, idependensi Bank Indonesia (BI ) sangat berpengaruh untuk menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Drinya pun mempertanyakan urgensi dari pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sektor Keuangan yang sedang dilakukan oleh pemerintah.
( Baca juga:Siapkan 559 Titik, BI Minta Warga Tak Tukar Uang di Pinggir Jalan )
“Dengan independensi BI yang mulai efektif 2004 pertumbuhan ekonomi cenderung relatif lebih stabil dan terjaga, ini menunjukan respons BI sebagai otoritas moneter yang independen juga menjadi salah satu kebijakan yang tepat,” kata Josua dalam webinar RUU Sektor Keuangan: Akankah Kembali ke Sistem Sentralistis?’ di Jakarta (19/4/2021).
Josua menjelaskan, dengan independensi BI setiap kebijakan moneter akan terakselerasi dengan maksimal yang tentu mendukung penguatan ekonomi nasional. Dirinya pun membandingkan kondisi ekonomi sejak tahun 1998 saat BI belum independen dengan tahun 2008 maupun 2021 saat independensi BI mulai berjalan.
“Terindikasi inflasi saat krisis 1998 tingkat harga melonjak 82% sedangkan 2008 terjadi kepanikan global (inflasi) sempat 12,1%, namun di 2021 cukup rendah di 1,38%,” jelas Josua.
Tak hanya itu, menurutnya, dengan independensi serta sinergi yang kuat antar regulator juga membuat kinerja sektor keuangan, khususnya perbankan terjaga. Josua pun mengambil contoh tingkat risiko kredit perbankan terjaga di 2021 di kisaran 3%. Namun saat independensi BI terkekang oleh dewan moneter saat 1998, NPL perbankan sempat membengkak ke level di atas 20%.
Dalam RUU Sektor Keuangan dikabarkan terdapat aturan mengenai campur tangan pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan dalam penunjukan anggota Dewan Pengawas Bank Indonesia (BI) dan Dewan Pengawas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta berbagai kebijakannya.
( Baca juga:6,1 Juta Penumpang Pesawat Dilayani AP I pada 3 Bulan Pertama 2021 )
Sementara Anggota Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengatakan pembahasan RUU Omnibus Law sektor keuangan akan dilakukan pada masa sidang Agustus dan September 2021. "Saya masih terima draf resmi dari DPR. Kami masih melakukan diskusi (FGD) dan menerima masukan. Bersama LPS ada tiga kali melakukan FGD. Selain itu juga pernah dengan BI dan OJK," ujar Fathan dalam kesempatan sama.
( Baca juga:Siapkan 559 Titik, BI Minta Warga Tak Tukar Uang di Pinggir Jalan )
“Dengan independensi BI yang mulai efektif 2004 pertumbuhan ekonomi cenderung relatif lebih stabil dan terjaga, ini menunjukan respons BI sebagai otoritas moneter yang independen juga menjadi salah satu kebijakan yang tepat,” kata Josua dalam webinar RUU Sektor Keuangan: Akankah Kembali ke Sistem Sentralistis?’ di Jakarta (19/4/2021).
Josua menjelaskan, dengan independensi BI setiap kebijakan moneter akan terakselerasi dengan maksimal yang tentu mendukung penguatan ekonomi nasional. Dirinya pun membandingkan kondisi ekonomi sejak tahun 1998 saat BI belum independen dengan tahun 2008 maupun 2021 saat independensi BI mulai berjalan.
“Terindikasi inflasi saat krisis 1998 tingkat harga melonjak 82% sedangkan 2008 terjadi kepanikan global (inflasi) sempat 12,1%, namun di 2021 cukup rendah di 1,38%,” jelas Josua.
Tak hanya itu, menurutnya, dengan independensi serta sinergi yang kuat antar regulator juga membuat kinerja sektor keuangan, khususnya perbankan terjaga. Josua pun mengambil contoh tingkat risiko kredit perbankan terjaga di 2021 di kisaran 3%. Namun saat independensi BI terkekang oleh dewan moneter saat 1998, NPL perbankan sempat membengkak ke level di atas 20%.
Dalam RUU Sektor Keuangan dikabarkan terdapat aturan mengenai campur tangan pemerintah dalam hal ini Menteri Keuangan dalam penunjukan anggota Dewan Pengawas Bank Indonesia (BI) dan Dewan Pengawas Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta berbagai kebijakannya.
( Baca juga:6,1 Juta Penumpang Pesawat Dilayani AP I pada 3 Bulan Pertama 2021 )
Sementara Anggota Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengatakan pembahasan RUU Omnibus Law sektor keuangan akan dilakukan pada masa sidang Agustus dan September 2021. "Saya masih terima draf resmi dari DPR. Kami masih melakukan diskusi (FGD) dan menerima masukan. Bersama LPS ada tiga kali melakukan FGD. Selain itu juga pernah dengan BI dan OJK," ujar Fathan dalam kesempatan sama.
(uka)