Prospek Ekonomi di Tengah Pandemi, Kepercayaan Investor Masih Tinggi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menilai kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia masih tinggi. Meski lembaga pemeringkat Standard & Poor’s (S&P) Global Ratings menurunkan prospek tingkat utang Indonesia dari stabil ke negatif, hal tersebut lebih dikarenakan akibat pandemi Covid-19 yang bersifat temporer.
Dalam keterangannya S&P tetap mempertahankan sovereign credit rating Republik Indonesia pada posisi BBB di tengah tertekannya ekonomi akibat wabah virus Covid-19. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, prospek negatif yang dikeluarkan S&P tidak mencerminkan permasalahan ekonomi yang bersifat fundamental, tetapi lebih dipicu kekhawatiran S&P terhadap risiko pemburukan kondisi eksternal dan fiskal akibat pandemi Covid-19 yang bersifat temporer.
"Keyakinan ini didasarkan pada fakta bahwa sampai dengan beberapa saat sebelum Covid-19 meluas ke seluruh dunia, kepercayaan investor dan lembaga pemeringkat internasional terhadap prospek dan ketahanan ekonomi Indonesia masih sangat tinggi," ujar Perry di Jakarta, Sabtu (18/4).
Menurut Perry, masih kuatnya kepercayaan investor terhadap Indonesia didukung oleh konsistensi pemerintah dan BI dalam melaksanakan kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi struktural. Hal itu tergambar dari aliran masuk modal asing yang sangat deras.
"Juga rangkaian kenaikan peringkat yang diberikan kepada Indonesia oleh berbagai lembaga pemeringkat terkemuka di dunia. Hingga kuartal I/2020, kepercayaan sebagian besar lembaga pemeringkat terhadap Indonesia tetap kuat, bahkan ada yang membaik," ujarnya.
Selain S&P, kata Perry, Fitch pada Januari dan Moody’s pada Februari memutuskan mempertahankan peringkat Indonesia masing-masing pada BBB dengan outlook stabil dan BAA2 dengan outlook stabil. JCRA dan R&I masing-masing pada Januari dan Maret bahkan kembali menaikkan peringkat Indonesia menjadi BBB+ dengan outlook stabil.
"BI meyakini bahwa berbagai langkah kebijakan tersebut akan dapat mengembalikan trajectory ekonomi Indonesia, baik dari sisi pertumbuhan, eksternal maupun fiskal, ke arah yang lebih sustainable dalam waktu yang tidak terlalu lama," sebut Perry.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kebijakan pemerintah telah mampu menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang sedang berkembang saat ini. "Namun kebijakan tersebut mengakibatkan peningkatan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai dampak dari bertambahnya kebutuhan pembiayaan melalui utang dan meningkatnya beban utang," papar Sri Mulyani.
Dihubungi terpisah, Chief Economist Tanamduit Ferry Latuhihin mengatakan, kondisi perekonomian nasional yang tertekan bukanlah kondisi yang sesungguhnya karena secara fundamental perekonomian Indonesia positif. Terbukti pekan lalu nilai tukar rupiah mengalami penguatan 2,6% (week on week/wow) atas dolar Amerika Serika (AS).
Menurut dia, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik pekan ini di Benua Asia disusul yen Jepang yang terapresiasi 0,88% (wow), baht Thailand yang menguat 0,52% (wow), dan dolar Hong Kong yang terapresiasi sebesar 0.03% (wow). "Nilai tukar rupiah juga terus menguat. Debt to GDP rasio kita masih rendah 35%. Pertumbuhan ekonomi kita masih bisa 3% kalau penanganan korona oleh pemerintah bisa membuat kurva turun pada bulan Juni nanti," ujar Ferry di Jakarta, kemarin.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira menilai, yang dikhawatirkan lembaga penilaian internasional adalah penanganan Covid-19 di Indonesia yang meragukan. Ada risiko krisis di sektor kesehatan karena alat tes kesehatan penduduk minim. "Penanganan Covid-19 terlambat satu hal jadi keraguan investor asing khususnya dalam pembelian surat utang," ujar Bhima.
Seperti diketahui, lembaga pemeringkat internasional S&P Global Ratings menurunkan prospek (outlook) utang jangka panjang Indonesia dari sebelumnya stabil menjadi negatif. Pada saat yang sama S&P Global Ratings menegaskan kembali peringkat utang jangka panjang Indonesia, yakni BBB dan jangka pendek A-2.
"Prospek negatif mencerminkan harapan kami bahwa Indonesia menghadapi tambahan risiko fiskal dan eksternal terkait pandemi Covid-19 dalam 24 bulan berikutnya," tulis laporan S&P, Sabtu (18/4).
Kebijakan fiskal Pemerintah Indonesia dinilai cukup membantu menstabilkan ekonomi dan mendorong sektor kesehatan. Meski demikian hal itu dinilai akan menambah jumlah utang pemerintah. "Sementara itu posisi utang luar negeri Indonesia telah melemah setelah depresiasi rupiah yang material dan risiko eksternal cenderung tetap tinggi untuk satu atau dua tahun ke depan," urainya.
Adapun peringkat utang Indonesia yang tetap dipertahankan, menurut S&P, mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tetap kuat. Hal ini diimbangi dengan meningkatnya utang yang akan membantu pendapatan negara yang terbatas.
Lembaga pemeringkat asal Amerika Serikat itu juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 1,8%, terendah sejak 1999. Namun perekonomian domestik dinilai akan pulih dan bangkit dalam satu hingga dua tahun ke depan. (Rina Anggraeni/Hafid Fuad)
Dalam keterangannya S&P tetap mempertahankan sovereign credit rating Republik Indonesia pada posisi BBB di tengah tertekannya ekonomi akibat wabah virus Covid-19. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, prospek negatif yang dikeluarkan S&P tidak mencerminkan permasalahan ekonomi yang bersifat fundamental, tetapi lebih dipicu kekhawatiran S&P terhadap risiko pemburukan kondisi eksternal dan fiskal akibat pandemi Covid-19 yang bersifat temporer.
"Keyakinan ini didasarkan pada fakta bahwa sampai dengan beberapa saat sebelum Covid-19 meluas ke seluruh dunia, kepercayaan investor dan lembaga pemeringkat internasional terhadap prospek dan ketahanan ekonomi Indonesia masih sangat tinggi," ujar Perry di Jakarta, Sabtu (18/4).
Menurut Perry, masih kuatnya kepercayaan investor terhadap Indonesia didukung oleh konsistensi pemerintah dan BI dalam melaksanakan kebijakan fiskal, moneter, dan reformasi struktural. Hal itu tergambar dari aliran masuk modal asing yang sangat deras.
"Juga rangkaian kenaikan peringkat yang diberikan kepada Indonesia oleh berbagai lembaga pemeringkat terkemuka di dunia. Hingga kuartal I/2020, kepercayaan sebagian besar lembaga pemeringkat terhadap Indonesia tetap kuat, bahkan ada yang membaik," ujarnya.
Selain S&P, kata Perry, Fitch pada Januari dan Moody’s pada Februari memutuskan mempertahankan peringkat Indonesia masing-masing pada BBB dengan outlook stabil dan BAA2 dengan outlook stabil. JCRA dan R&I masing-masing pada Januari dan Maret bahkan kembali menaikkan peringkat Indonesia menjadi BBB+ dengan outlook stabil.
"BI meyakini bahwa berbagai langkah kebijakan tersebut akan dapat mengembalikan trajectory ekonomi Indonesia, baik dari sisi pertumbuhan, eksternal maupun fiskal, ke arah yang lebih sustainable dalam waktu yang tidak terlalu lama," sebut Perry.
Sementara itu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan kebijakan pemerintah telah mampu menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung upaya penanggulangan masalah kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang sedang berkembang saat ini. "Namun kebijakan tersebut mengakibatkan peningkatan beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai dampak dari bertambahnya kebutuhan pembiayaan melalui utang dan meningkatnya beban utang," papar Sri Mulyani.
Dihubungi terpisah, Chief Economist Tanamduit Ferry Latuhihin mengatakan, kondisi perekonomian nasional yang tertekan bukanlah kondisi yang sesungguhnya karena secara fundamental perekonomian Indonesia positif. Terbukti pekan lalu nilai tukar rupiah mengalami penguatan 2,6% (week on week/wow) atas dolar Amerika Serika (AS).
Menurut dia, rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terbaik pekan ini di Benua Asia disusul yen Jepang yang terapresiasi 0,88% (wow), baht Thailand yang menguat 0,52% (wow), dan dolar Hong Kong yang terapresiasi sebesar 0.03% (wow). "Nilai tukar rupiah juga terus menguat. Debt to GDP rasio kita masih rendah 35%. Pertumbuhan ekonomi kita masih bisa 3% kalau penanganan korona oleh pemerintah bisa membuat kurva turun pada bulan Juni nanti," ujar Ferry di Jakarta, kemarin.
Sementara itu, pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira menilai, yang dikhawatirkan lembaga penilaian internasional adalah penanganan Covid-19 di Indonesia yang meragukan. Ada risiko krisis di sektor kesehatan karena alat tes kesehatan penduduk minim. "Penanganan Covid-19 terlambat satu hal jadi keraguan investor asing khususnya dalam pembelian surat utang," ujar Bhima.
Seperti diketahui, lembaga pemeringkat internasional S&P Global Ratings menurunkan prospek (outlook) utang jangka panjang Indonesia dari sebelumnya stabil menjadi negatif. Pada saat yang sama S&P Global Ratings menegaskan kembali peringkat utang jangka panjang Indonesia, yakni BBB dan jangka pendek A-2.
"Prospek negatif mencerminkan harapan kami bahwa Indonesia menghadapi tambahan risiko fiskal dan eksternal terkait pandemi Covid-19 dalam 24 bulan berikutnya," tulis laporan S&P, Sabtu (18/4).
Kebijakan fiskal Pemerintah Indonesia dinilai cukup membantu menstabilkan ekonomi dan mendorong sektor kesehatan. Meski demikian hal itu dinilai akan menambah jumlah utang pemerintah. "Sementara itu posisi utang luar negeri Indonesia telah melemah setelah depresiasi rupiah yang material dan risiko eksternal cenderung tetap tinggi untuk satu atau dua tahun ke depan," urainya.
Adapun peringkat utang Indonesia yang tetap dipertahankan, menurut S&P, mencerminkan pertumbuhan ekonomi yang tetap kuat. Hal ini diimbangi dengan meningkatnya utang yang akan membantu pendapatan negara yang terbatas.
Lembaga pemeringkat asal Amerika Serikat itu juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini sebesar 1,8%, terendah sejak 1999. Namun perekonomian domestik dinilai akan pulih dan bangkit dalam satu hingga dua tahun ke depan. (Rina Anggraeni/Hafid Fuad)
(ysw)