Dari Desa Membangun Ekonomi Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA- Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) saat ini sedang menggenjot pemutakhiran data kependudukan, mulai dari jumlah warga, kesehatan, pendidikan, hingga kondisi ekonomi. Mendes PDTT Abdul Halim Iskandar mengatakan dengan data yang update dan valid, pemerintah daerah dan pusat, akan mudah dalam merancang kebijakan, program pembangunan, dan intervensi dalam menyelesaikan berbagai masalah.
Data yang dikumpulkan dari desa dianggap lebih detail dibandingkan yang selama dimiliki berbagai lembaga. “Tentu ini akan menjadi sumber utama dalam pengambilan kebijakan oleh semua kementerian, termasuk kementerian sosial. Mau enggak mau, dia harus mengambil dari sini karena desa lebih tahu daripada, mohon maaf, orang kecamatan, apalagi orang kabupaten, apalagi pusat,” ujar Gus Menteri, sapaan akrabnya, kepada KORAN SINDO, pekan lalu.
Baca juga:Berdayakan Masyarakat Desa, Kemnaker dan Kemendes Jalin Kerja Sama dengan UINSA
Berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan pria periah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Apa kekuatan desa, sehingga Anda yakin desa bisa membantu pemerintah memulihkan ekonomi nasional?
Pak Presiden memiliki visi untuk membangun dari pinggiran telah melalui tela’ah panjang tentang posisi strategis desa untuk pembangunan, utamanya ekonomi dan sosial. Karena enggak ada pilihan kalau tidak dari desa. Bayangkan, seandainya desa-desa tidak diproteksi sedemikian rupa oleh mereka (masyarakat) terkait akar budaya.
Apa yang diproteksi?
Ada upaya menghidupkan tradisi-tradisi baik yang masih memberikan kontribusi pembangunan ekonomi dan SDM. Dengan kondisi medsos yang kayak gini, pertahanan kita tinggal di desa. Makanya, di SDGs desa, sebagai arah pembangunan desa itu ada tambahan goals ke 18. Kalau SDGs 17 itu tujuan pembangunan.
Apa tambahannya?
Kita memasukkan kelembagaan desa yang dinamis dan budaya desa yang adaptif. Saya selalu menekankan jangan sekali-sekali bangun desa tidak bertumpu pada akar budaya. Cuma harus adaptif. Artinya, tetap menerima perubahan-perubahan. Tidak kemudian antimedsos. Malah kita harus memanfaatkan secara positif penggunaan TI.
Apa untungnya digitalisasi desa?
Kita punya desa digital. Perjalanan ini menuju ke pengelolaan atau manajemen desa dengan digitalisasi penuh, termasuk didalamnya penggunaan dana desa. Selalu saya sebut dengan cashless. Kalau dana desa dikelola dengan cashless pasti saya jamin kepala desa selamat karena jejak duitnya jelas (untuk) belanja barang.
Skala desa itu kecil, bagaimana bisa diandalkan dalam pembangunan?
Kalau mengelola pembangunan di level mikro itu lebih sederhana, datanya lebih sederhana. Datanya mikro, misalnya yang sekarang kita lakukan pemutakhiran data berbasis SDGs desa. Berapa sih warga miskin, (berapa) di bawah garis kemiskinan dan di atas. Ini harus by name, by address, dan Nik. Tentu ini akan menjadi sumber utama dalam pengambilan kebijakan oleh semua kementerian, termasuk sosial.
Apa bedanya dengan data dari pemerintah daerah (pemda), kementerian, atau lembaga lainnya?
Desa lebih tahu daripada, mohon maaf, orang kecamatan apalagi orang kabupaten dan pusat. Itulah kenapa data kita tidak pernah selesai karena tidak diambil dari induknya. Induknya siapa? Pemilik data ya desa
Contohnya manfaat di masa depan?
Kalau kita mau jujur permasalahan TBC masih menjadi faktor utama kematian. Masih besar TBC dari Covid-19. Cuma enggak ada datanya. Di pemutakhiran data, (akan ada) warga berpenyakit kronis dan menahun berapa. Kalau ada data kan penanganannya sederhana. Puskesmas (tangani) itu selesai. Bupati (dalam penanganannya) jelas arahnya. Intervensi dari kementerian dan lembaga negara juga jelas.
Efek lain dari data yang selalu update?
Kalau 74.961 desa ini tertangani secara mikro, keberhasilan agregatif itu (berjenjang) kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. (akan) Terjadi penurunan kemiskinan signifikan karena penanganannya fokus.
Akankah penggunaan desa jadi terarah?
Makanya, kita lagi genjot agar berbasis SDGs desa ini supaya perencanaan pembangunan desa tahun depan itu betul-betul berbasis data. Bukan imajinasi. Ketika sudah berbasis data, maka perdebatannya data bukan keinginan.
Memang selama ini seperti apa?
Dalam rencana pembangunan desa (musdes), ada tokoh marah-marah karena jalan di depan rumahnya belum dibangun. Padahal itu jalan buntu. Ketika bicara akses ekonomi itu enggak penting. Sementara itu, dana desa itu fokusnya dua hal, yakni peningkatan ekonomi dan SDM. Pertumbuhan ekonomi itu (bentuknya) infrastruktur produktif. Itu bicaranya bangun jalan dan irigasi. Jalan ke ladang dan jalan ke akses kabupaten untuk mempermudahkan mobilitas hasill pertanian. Irigasi supaya tidak banjir. Kalau hujan tersalurkan dengan bagus.
Apa hambatan pemutakhiran data ini?
Yang paling susah dalam hal data itu dua hal. Pertama, mengumpulkan dan memperbaharui. Ini yang mulai sekarang tak ingatkan semua. Jadi kepala desa dan pendamping desa tolong dipikirkan bagaimana perbaharui data ini karena enggak mungkin tahunan (tapi harus) Mingguan. Nanti saya akan minta secara resmi kepada desa, setelah data termutakhirkan agar data tidak sia-sia, harus ada satu personel di desa yang khusus day to day memantau data. Kedua, update. Valid itu mudah. Hampir semua data kita (valid), tapi update-nya yang tidak. Jadi tidak valid.
Hanya kemiskinan yang akan turun karena data ini?
Saya bilang sama bupati, kalau sampean nanti memanfaatkan pemutakhiran data ini secara serius: satu periode akan mempunyai prestasi yang luar biasa. Utamanya, penurunan kemiskinan, stunting, dan peningkatan SDM.
Berapa pemutakhiran data ini?
Praktek yang sudah ada, dua minggu (per desa) selesai.
Target rampung secara nasional?
Kita tekan 30 Mei (ini) meskipun kita tahu enggak mungkin. Akan tetapi banyak sudah. Maka, kita siapkan piagam penghargaan untuk desa yang sudah selesai pada 30 Mei. Nanti kita sampaikan lagi yang selesai Juli. Ini level dua. Yang 30 Mei ini itu desa utama dalam penyelesaian pemutakhiran data. Kita genjot sampai pembahasan rencana kerja pembangunan desa (RKPD) 2022 sudah mayoritas berbasis data. Saya yakin 74.961 desa selesai Juli.
Bisakah mendorong kebangkitan desa?
Hampir pasti. Karena apa? Sudah terukur. Kita ngomong itu sudah punya tolak ukur. Paling mendasar itu hasil BPS, misalnya pengangguran di desa lebih rendah daripada kota. Ini juga dampak berbagai kebijakan pemerintah yang menukik ke desa, termasuk BLT, padat karya tunai.
Dimana peran BUMDes?
BUMdes (sekarang) berbadan hukum. Ini pemicu (kebangkitan ekonomi), makanya kita genjot terus. Banyak BUMDes yang berhasil menaikkan omzet karena sudah bersinergi dengan berbagai perusahaan. Utamanya di daerah-daerah perkebunan sawit.
Contohnya dimana?
Misalnya di Kaltim, ada BUMDes yang bisa menyelesaikan KPM BLT dari 182 (KK), (sekarang) tinggal 12. (Ekonomi warga) naik kelas. Turun (kemiskinan) karena sudah mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Bahkan di atas UMK wilayah itu.
Apa usaha BUMDes itu?
Dia mengelola transportasi sawit dan katering.
BUMDes bisa bisnis apapun?
BUMDes itu prinsipnya untuk kesejahteraan masyarakat. BUMDes jangan sekali-kali membuka unit usaha yang sudah dilakukan warga. Nanti merusak, kanibal.
Berapa BUMDes yang berkembang?
Data sampai 2020 sudah 51.113. ini ada yang mati suri karena Covid-19. Sekarang kita lagi bangunkan lagi.
Bagaimana caranya?
Karena hanya satu tidak boleh ada pembubaran. Kalau ada yang mati, kemudian terjadi perubahan kepemimpinan di desa, kepala desa yang baru (harus) memiliki komitmen yang bagus. Dia (BUMDes) akan kembali. Semua itu kuncinya ada di kepala desa karena penguasa lokalnya.
Bagaimana Anda melihat tren banyaknya desa wisata?
Saya selalu mengatakan silakan berlomba-lomba bikin desa wisata. Usahakan, membangun desa wisata itu yang alam. Jangan pabrikan karena gampang jenuh. Pabrikan hanya untuk supporting saja.
Ada BUMDes wisata yang sukses?
Ada itu yang sampai Rp3,5 Miliar. Itu hanya dari kolam renang dan permainan sepeda di atas. Itu tahun kemarin bisa memberikan deviden 18 persen.
Bagaimana model BUMDes bersama (BUMDesma)?
Di Yogya sekarang merintis BUMDesma. Itu sudah diasumsikan 1.000 desa bergabung. Ini perusahan besar. BUMDesma tidak dibatasi geografis, kecamatan, dan kabupaten. Desa di Jombang bisa bangun kerja sama dengan desa di Sumatera dan Papua. Yang penting ada kesamaan kepentingan. Harapannya (mendapatkan) keuntungan (bersama).
Baru satu?
Kalau BUMDesma-BUMDesma itu banyak. Misalnya, di Alor, penghasil vanila terbaik. Sudah ekspor. Tapi baru beberapa desa. Ini lagi kita konsolidasikan agar menjadi BUMDesma sehingga ekosistem luas, kapasitas produksi tinggi, pendampingan dari swasta jadi lebih masif.fw bachtiar/rakhmat baihaqi/djaka susila
Data yang dikumpulkan dari desa dianggap lebih detail dibandingkan yang selama dimiliki berbagai lembaga. “Tentu ini akan menjadi sumber utama dalam pengambilan kebijakan oleh semua kementerian, termasuk kementerian sosial. Mau enggak mau, dia harus mengambil dari sini karena desa lebih tahu daripada, mohon maaf, orang kecamatan, apalagi orang kabupaten, apalagi pusat,” ujar Gus Menteri, sapaan akrabnya, kepada KORAN SINDO, pekan lalu.
Baca juga:Berdayakan Masyarakat Desa, Kemnaker dan Kemendes Jalin Kerja Sama dengan UINSA
Berikut petikan wawancara KORAN SINDO dengan pria periah gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Apa kekuatan desa, sehingga Anda yakin desa bisa membantu pemerintah memulihkan ekonomi nasional?
Pak Presiden memiliki visi untuk membangun dari pinggiran telah melalui tela’ah panjang tentang posisi strategis desa untuk pembangunan, utamanya ekonomi dan sosial. Karena enggak ada pilihan kalau tidak dari desa. Bayangkan, seandainya desa-desa tidak diproteksi sedemikian rupa oleh mereka (masyarakat) terkait akar budaya.
Apa yang diproteksi?
Ada upaya menghidupkan tradisi-tradisi baik yang masih memberikan kontribusi pembangunan ekonomi dan SDM. Dengan kondisi medsos yang kayak gini, pertahanan kita tinggal di desa. Makanya, di SDGs desa, sebagai arah pembangunan desa itu ada tambahan goals ke 18. Kalau SDGs 17 itu tujuan pembangunan.
Apa tambahannya?
Kita memasukkan kelembagaan desa yang dinamis dan budaya desa yang adaptif. Saya selalu menekankan jangan sekali-sekali bangun desa tidak bertumpu pada akar budaya. Cuma harus adaptif. Artinya, tetap menerima perubahan-perubahan. Tidak kemudian antimedsos. Malah kita harus memanfaatkan secara positif penggunaan TI.
Apa untungnya digitalisasi desa?
Kita punya desa digital. Perjalanan ini menuju ke pengelolaan atau manajemen desa dengan digitalisasi penuh, termasuk didalamnya penggunaan dana desa. Selalu saya sebut dengan cashless. Kalau dana desa dikelola dengan cashless pasti saya jamin kepala desa selamat karena jejak duitnya jelas (untuk) belanja barang.
Skala desa itu kecil, bagaimana bisa diandalkan dalam pembangunan?
Kalau mengelola pembangunan di level mikro itu lebih sederhana, datanya lebih sederhana. Datanya mikro, misalnya yang sekarang kita lakukan pemutakhiran data berbasis SDGs desa. Berapa sih warga miskin, (berapa) di bawah garis kemiskinan dan di atas. Ini harus by name, by address, dan Nik. Tentu ini akan menjadi sumber utama dalam pengambilan kebijakan oleh semua kementerian, termasuk sosial.
Apa bedanya dengan data dari pemerintah daerah (pemda), kementerian, atau lembaga lainnya?
Desa lebih tahu daripada, mohon maaf, orang kecamatan apalagi orang kabupaten dan pusat. Itulah kenapa data kita tidak pernah selesai karena tidak diambil dari induknya. Induknya siapa? Pemilik data ya desa
Contohnya manfaat di masa depan?
Kalau kita mau jujur permasalahan TBC masih menjadi faktor utama kematian. Masih besar TBC dari Covid-19. Cuma enggak ada datanya. Di pemutakhiran data, (akan ada) warga berpenyakit kronis dan menahun berapa. Kalau ada data kan penanganannya sederhana. Puskesmas (tangani) itu selesai. Bupati (dalam penanganannya) jelas arahnya. Intervensi dari kementerian dan lembaga negara juga jelas.
Efek lain dari data yang selalu update?
Kalau 74.961 desa ini tertangani secara mikro, keberhasilan agregatif itu (berjenjang) kecamatan, kabupaten, provinsi, dan negara. (akan) Terjadi penurunan kemiskinan signifikan karena penanganannya fokus.
Akankah penggunaan desa jadi terarah?
Makanya, kita lagi genjot agar berbasis SDGs desa ini supaya perencanaan pembangunan desa tahun depan itu betul-betul berbasis data. Bukan imajinasi. Ketika sudah berbasis data, maka perdebatannya data bukan keinginan.
Memang selama ini seperti apa?
Dalam rencana pembangunan desa (musdes), ada tokoh marah-marah karena jalan di depan rumahnya belum dibangun. Padahal itu jalan buntu. Ketika bicara akses ekonomi itu enggak penting. Sementara itu, dana desa itu fokusnya dua hal, yakni peningkatan ekonomi dan SDM. Pertumbuhan ekonomi itu (bentuknya) infrastruktur produktif. Itu bicaranya bangun jalan dan irigasi. Jalan ke ladang dan jalan ke akses kabupaten untuk mempermudahkan mobilitas hasill pertanian. Irigasi supaya tidak banjir. Kalau hujan tersalurkan dengan bagus.
Apa hambatan pemutakhiran data ini?
Yang paling susah dalam hal data itu dua hal. Pertama, mengumpulkan dan memperbaharui. Ini yang mulai sekarang tak ingatkan semua. Jadi kepala desa dan pendamping desa tolong dipikirkan bagaimana perbaharui data ini karena enggak mungkin tahunan (tapi harus) Mingguan. Nanti saya akan minta secara resmi kepada desa, setelah data termutakhirkan agar data tidak sia-sia, harus ada satu personel di desa yang khusus day to day memantau data. Kedua, update. Valid itu mudah. Hampir semua data kita (valid), tapi update-nya yang tidak. Jadi tidak valid.
Hanya kemiskinan yang akan turun karena data ini?
Saya bilang sama bupati, kalau sampean nanti memanfaatkan pemutakhiran data ini secara serius: satu periode akan mempunyai prestasi yang luar biasa. Utamanya, penurunan kemiskinan, stunting, dan peningkatan SDM.
Berapa pemutakhiran data ini?
Praktek yang sudah ada, dua minggu (per desa) selesai.
Target rampung secara nasional?
Kita tekan 30 Mei (ini) meskipun kita tahu enggak mungkin. Akan tetapi banyak sudah. Maka, kita siapkan piagam penghargaan untuk desa yang sudah selesai pada 30 Mei. Nanti kita sampaikan lagi yang selesai Juli. Ini level dua. Yang 30 Mei ini itu desa utama dalam penyelesaian pemutakhiran data. Kita genjot sampai pembahasan rencana kerja pembangunan desa (RKPD) 2022 sudah mayoritas berbasis data. Saya yakin 74.961 desa selesai Juli.
Bisakah mendorong kebangkitan desa?
Hampir pasti. Karena apa? Sudah terukur. Kita ngomong itu sudah punya tolak ukur. Paling mendasar itu hasil BPS, misalnya pengangguran di desa lebih rendah daripada kota. Ini juga dampak berbagai kebijakan pemerintah yang menukik ke desa, termasuk BLT, padat karya tunai.
Dimana peran BUMDes?
BUMdes (sekarang) berbadan hukum. Ini pemicu (kebangkitan ekonomi), makanya kita genjot terus. Banyak BUMDes yang berhasil menaikkan omzet karena sudah bersinergi dengan berbagai perusahaan. Utamanya di daerah-daerah perkebunan sawit.
Contohnya dimana?
Misalnya di Kaltim, ada BUMDes yang bisa menyelesaikan KPM BLT dari 182 (KK), (sekarang) tinggal 12. (Ekonomi warga) naik kelas. Turun (kemiskinan) karena sudah mendapatkan pekerjaan dan penghasilan. Bahkan di atas UMK wilayah itu.
Apa usaha BUMDes itu?
Dia mengelola transportasi sawit dan katering.
BUMDes bisa bisnis apapun?
BUMDes itu prinsipnya untuk kesejahteraan masyarakat. BUMDes jangan sekali-kali membuka unit usaha yang sudah dilakukan warga. Nanti merusak, kanibal.
Berapa BUMDes yang berkembang?
Data sampai 2020 sudah 51.113. ini ada yang mati suri karena Covid-19. Sekarang kita lagi bangunkan lagi.
Bagaimana caranya?
Karena hanya satu tidak boleh ada pembubaran. Kalau ada yang mati, kemudian terjadi perubahan kepemimpinan di desa, kepala desa yang baru (harus) memiliki komitmen yang bagus. Dia (BUMDes) akan kembali. Semua itu kuncinya ada di kepala desa karena penguasa lokalnya.
Bagaimana Anda melihat tren banyaknya desa wisata?
Saya selalu mengatakan silakan berlomba-lomba bikin desa wisata. Usahakan, membangun desa wisata itu yang alam. Jangan pabrikan karena gampang jenuh. Pabrikan hanya untuk supporting saja.
Ada BUMDes wisata yang sukses?
Ada itu yang sampai Rp3,5 Miliar. Itu hanya dari kolam renang dan permainan sepeda di atas. Itu tahun kemarin bisa memberikan deviden 18 persen.
Bagaimana model BUMDes bersama (BUMDesma)?
Di Yogya sekarang merintis BUMDesma. Itu sudah diasumsikan 1.000 desa bergabung. Ini perusahan besar. BUMDesma tidak dibatasi geografis, kecamatan, dan kabupaten. Desa di Jombang bisa bangun kerja sama dengan desa di Sumatera dan Papua. Yang penting ada kesamaan kepentingan. Harapannya (mendapatkan) keuntungan (bersama).
Baru satu?
Kalau BUMDesma-BUMDesma itu banyak. Misalnya, di Alor, penghasil vanila terbaik. Sudah ekspor. Tapi baru beberapa desa. Ini lagi kita konsolidasikan agar menjadi BUMDesma sehingga ekosistem luas, kapasitas produksi tinggi, pendampingan dari swasta jadi lebih masif.fw bachtiar/rakhmat baihaqi/djaka susila
(dar)