Curhat Eks Pilot Merpati: 35 Tahun Pertaruhkan Nyawa, Begitu Pensiun Pesangon Melayang

Rabu, 23 Juni 2021 - 13:29 WIB
loading...
Curhat Eks Pilot Merpati:...
Foto/ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Eks pilot dan karyawan PT Merpati Nusantara Airlines (Persero) atau MNA meminta agar pemegang saham melunasi hak pesangon dan hak pensiun mereka yang belum dibayar sejak 2016 lalu. Salah satu eks pilot Merpati, Captain Eddy Sarwono, pun menceritakan pengalaman kerjanya selama bertahun-tahun di perusahaan penerbangan yang dilikuidasi Kementerian BUMN sejak 2014 lalu itu.

Eddy bergabung dengan MNA tepat setelah lulus pendidikan penerbang di Lembaga Perhubungan Udara (LPPU) Curug, sejak November 1977. Saat bekerja di Merpati, lebih dari 10 tahun dia bertugas sebagai kru pesawat DHC 6 Twin Otter yang melayani penerbangan perintis.

Saat itu, penerbangan perintis menjadi salah satu misi utama MNA, yaitu untuk membuka jalur udara dari kota yang lebih besar ke daerah-daerah terpencil yang masih sulit dijangkau via darat maupun laut.

Baca juga:Utang Kemenkes ke RSUD Kota Bekasi Diasumsikan Rp144 Miliar, Ini Rinciannya

Pada saat itu, fasilitas penerbangan yang ada masih sangat terbatas. Kondisi lapangan terbang belum sempurna, terutama di daerah pedalaman. Rata-rata hanya berupa landasan rumput, yang terkadang sangat licin karena rumput yang basah atau tanah berlubang. Mereka pun harus ekstra hati-hati pada saat lepas landas dan mendarat.

Sarana navigasi penerbangan juga sangat minim, peralatan navigasi pesawat masih sangat terbatas, serta belum ada Global Positioning System (GPS) yang memungkinkan terbang dengan akurasi yang lebih baik.

Selain cuaca yang terkadang kurang bersahabat, Eddy dan rekan-rekannya harus mampu mengatasi medan yang berat karena lapangan terbang pesawat perintis kadang terletak di lereng dan di balik bukit. Sehingga mereka harus terbang di antara gunung-gunung yang kadang lebih tinggi dari kemampuan pesawat.

Saat itu, sarana navigasi di lapangan terbang pesawat perintis rata-rata hanyalah NDB atau Non Directional Beacon. Ini adalah alat navigasi yang paling rendah tingkatan akurasinya. Alat komunikasi saat itu pun hanya radio SSB atau single sideband. Tenaga listriknya pun hanya menggunakan genset, itu pun sering sekali rusak atau tidak ada BBM-nya, karena sulitnya BBM di daerah terpencil, sehingga mereka terpaksa tidak dapat memakai fasilitas tersebut saat terbang.

"Kami sering kali terpaksa memakai alat bantu navigasi lain seperti pemancar radio RRI lokal, itu pun jika tersedia. Kami lebih sering bernavigasi menggunakan peta visual, dengan mengandalkan mata telanjang untuk menghafal desa atau sungai yang harus kami lewati untuk sampai ke lapangan terbang perintis tujuan," ungkap Eddy saat konferensi pers, Rabu (23/6/2021).

Kala itu, tidak ada atau belum ada prosedur-prosedur baku untuk mendarat secara instrument, karena memang medannya yang tidak memungkinkan. Dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada, para pilot harus mampu berjuang untuk dapat terbang dengan aman dan selamat sampai ke tujuan.

Bahkan, beberapa rekan di antara mereka gugur karena mengalami musibah, meninggal dunia atau hilang. Bahkan sampai sekarang masih ada rekan mereka yang hilang tidak diketahui keberadaanya.

Eddy mengutarakan, ada pesawat rekan mereka dan seisinya hilang saat terbang di Papua antara Manokwari dan Bintuni, serta di Selat Molo, di Laut antara Pulau Komodo dan Pulau Flores. Peristiwa ini sangat menyedihkan bagi mereka.

Sejak 2012, Eddy memasuki masa purna bakti. 35 tahun sudah dia mengabdi di MNA, namun dengan alasan tidak adanya uang, pesangonnya pun tidak dibayar seutuhnya. Pada Surat Pengakuan Utang (SPU) yang diberikan, tertulis bahwa pesangon akan dilunasi pada tahun 2018. Namun, pada 2014 lalu, MNA dinyatakan berhenti beroperasi, bukan dibubarkan.

Sayangnya sebelum jatuh tempo pembayaran sisa pesangon sesuai SPU, ada salah satu vendor MNA yang mengajukan sidang PKPU. Saat itu putusan dari Pengadilan Negeri Surabaya pada 14 November 2018 menganulir SPU tersebut. Pesangon akan dibayarkan jika MNA bisa terbang lagi.

"Menurut saya keputusan tersebut adalah keputusan yang tidak pasti, bahkan suatu hal yang nyaris tidak mungkin terjadi," ujar dia.

Kejadian lain, dana pensiun MNA juga dibubarkan oleh Direktur Utama MNA. Tidak jelas kapan penjualan asset-aset dana pensiun diselesaikan, tetapi masih ada karyawan di Merpati dan Dapen MNA sampai sekarang yang masih dipekerjakan. Sedangkan mereka, para pensiunan yang sudah mengabdi puluhan tahun ini harus gigit jari menunggu hal yang tidak pasti.

Baca juga:4 Wasiat Salafus Saleh Agar Bersikap Tawadhu

"Sampai sekarang kami masih menunggu kejelasan. Kami merasa ada yang aneh, karena Merpati dinyatakan berhenti beroperasi dari tahun 2014 namun sampai sekarang MNA masih ada. Masih ada direksi dan staf yang tentunya masih menerima gaji sebagai Direksi BUMN dan stafnya. Kami para eks karyawan tidak mengharapkan tanda jasa, kami hanya memohon perhatian dari pemerintah," katanya.

Mengingat misi tugas MNA sebagai jembatan udara Nusantara yang merintis membuka daerah-daerah terpencil di Indonesia. MNA bukanlah BUMN yang hanya berorientasi pada profit semata, Eddy dan rekan-rekannya hanya ingin kejelasan tentang hak-hak mereka sebagai eks karyawan untuk menunjang hidup di masa tua.

"Kami mohon perhatian dan kebijaksanaan Bapak dan Ibu yang berwenang untuk dapat membantu penyelesaian masalah kami.

Tak lupa, kami ucapkan terima kasih. Semoga Bapak dan Ibu yang berwenang dibukakan hati untuk dapat memahami kondisi kami sebagai eks karyawan PT Merpati Nusantara Airlines," ungkap dia.
(uka)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1482 seconds (0.1#10.140)