Banyak Dampak Negatif, Kementan Usul Wacana Revisi PP 109 Dipertimbangkan Lagi

Senin, 28 Juni 2021 - 11:01 WIB
loading...
Banyak Dampak Negatif,...
Kementan mengusulkan agar wacana revisi PP No 109/2012 dipertimbangkan ulang menimbang dampak negatifnya. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Kementerian Pertanian (Kementan) meminta wacana revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau dipertimbangkan lagi. Pasalnya, revisi itu dinilai akan berdampak negatif terhadap keberlangsungan mata rantai Industri Hasil Tembakau (IHT) .

Karena itu, Kementan akan mengusulkan kepada kementerian terkait agar wacana revisi PP 109/2012 tersebut untuk dipertimbangkan kembali.



"Kami mengusulkan dipertimbangkan kembali wacana revisi PP 109/2012. Kami selalu menarik garisnya ke hulu. Kita tidak pernah berhenti memperjuangkan itu. Kami akan komunikasikan ke kementerian terkait, menyuarakan apa yang disuarakan petani mengingat kami sebagai pembina petani," ujar Direktur Tanaman Semusim dan Rempah Hendratmojo Bagus Hudoro di Jakarta, Senin (28/6/2021).

Kementan akan mengupayakan agar wacana revisi PP 109/2012 dipertimbangkan kembali didasari oleh sejumlah pertimbangan. Alasannya, momen untuk wacana revisi PP 109/2012 dinilai belum pas saat ini mengingat kondisi pandemi Covid-19 telah menimbulkan kontraksi terhadap perekonomian nasional.

"Kami pertimbangkan kondisi pandemi, ekonomi sedang diuji ketangguhannya, bahkan industri yang besar pun bertumbangan," kata Bagus.

Kementan juga mempertimbangkan dampak dari wacana revisi PP 109/2012, yang apabila diberlakukan dikhawatirkan bakal menekan penyerapan dan produksi tembakau nasional. Dorongan revisi PP 109/2012 diketahui mencakup pembesaran peringatan kesehatan bergambar sebesar 90%, larangan total aktivitas iklan dan promosi serta penggunaan bahan tambahan.

"Sekarang saja dengan cukai naik di masa pandemi, berdasarkan informasi yang kami peroleh ada penurunan produksi. Kalau nanti itu wacana revisi PP 109/2012 akan berdampak pada penyerapan. Ini yang kita khawatirkan, bisa jadi makin tidak terserap tembakau petani," tegasnya.

Di sektor hulu, lanjut Bagus, wacana revisi PP 109/2012 akan berdampak terhadap hampir 500 ribu kepala keluarga (KK) petani tembakau. Apabila diasumsikan satu KK terdiri atas 4 orang, maka setidaknya ada 2 juta orang yang akan terdampak dari kebijakan tersebut.

"Jumlah orang yang terdampak atas wacana kebijakan tersebut tentunya akan semakin besar apabila memperhitungkan sisi hilir dari mata rantai IHT seperti para pekerja, buruh yang terlibat di industri tembakau, distribusi hingga ritel," tambahnya.

Pihaknya juga mengajak semua yang terkait mencari solusi. "Mari kita bersama-sama mencoba menyelesaikan masalah tanpa masalah. Harusnya kita mencari solusi dalam kondisi ini," tegasnya.

"Untuk itu, kami berharap ada alternatif solusi yang tepat dalam menerapkan wacana revisi PP 109/2012. Dari sisi bahan baku tembakau juga dapat dikembangkan dengan berbagai produk lain selain rokok seperti untuk kesehatan, kosemetik dan lain lain," katanya.

AMTI bersama sejumlah elemen mata rantai IHT juga telah menyampaikan aspirasi dan harapan kepada Kementan atas kondisi terkini dan tantangan yang dihadapi sektor IHT termasuk penolakan terhadap wacana revisi PP 109/2012.



Ketua Umum AMTI Budidoyo mengungkapkan, selama ini IHT telah banyak memberikan sumbangsih kepada negara salah satunya banyaknya tenaga kerja yang terserap di sektor ini. Namun, ironisnya beberapa regulasi terus menghimpit keberlangsungan sektor IHT.

"Kabar revisi PP 109/2012 menjadi kabar yang tidak mengenakkan, orang mau menanam tembakau jadi tidak nyaman. Itu riil yang kami alami di lapangan. Industri ini mata rantainya tidak bisa dipotong-potong, harus diselesaikan secara holistik, komprehensif. Benar-benar harus mempertimbangkan semua aspek," tandas Budidoyo.

Hal senada juga disuarakan oleh perwakilan Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia (APCI), Mustohal. "Jika wacana revisi PP 109/2012 diberlakukan, maka otomatis akan merugikan SKT dan diyakini memicu pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujarnya.
(fai)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1597 seconds (0.1#10.140)