Tanpa Inovasi Teknologi, Indonesia Terancam Krisis Pangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) Rizal Taufikurahman menyatakan inovasi teknologi menjadi penting dalam meningkatkan produktivitas food estate . Pasalnya, iklim menjadi salah satu tantangan yang dihadapi para petani .
Ia memberikan contoh di Kalimantan, ketika produktivitas tidak beragam pada kawasan food estate di kawasan itu. Kondisi itu disebabkan teknologi yang digunakan tidak sama antara kawasan satu dengan kawasan lain.
Baca juga:Soal Oknum TNI AU, Puan: Jangan Buat Aparat Jadi Sosok Menakutkan Bagi Rakyat
“Perubahan iklim pada suatu daerah itu kan variable eksternal, yang seharusnya dicarikan jalan keluar, melalui teknologi,” ujarnya secara virtual di Jakarta, Rabu (28/7/2021).
Ia menuturkan, saat ini pemerintah sudah memanfaatkan teknologi dalam menunjang optimalisasi food estate. Namun, menurut Rizal efektifitasnya belum maksimal. Maka dari itu perlu didorong lagi dengan penemuan inovasi dari teknologi itu sendiri.
Rizal juga mengungkapkan, korporasi petani dalam mendorong hilirisasi masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Hingga kini hilirisasi tersebut belum terwujud.
“Padahal harapannya food estate ini adalah korporasi petani itu sendiri dalam menopang pembangunan dan ketahanan pangan nasional serta sebagai supporting pada pangan nasional kita,” tuturnya.
Baca juga:Anak Belum Baligh Jadi Imam Sholat Berjamaah, Bolehkah?
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memprediksi adanya krisis pangan apabila setiap negara tidak melakukan banyak tindakan dalam memastikan ketahanan pangannya. Indonesia, menurut Rizal, bisa menjadi salah satu negara yang dapat mengalami krisis pangan karena saat ini demand kebutuhan pangan sedang tinggi, namun suplai dalam situasi lemah akibat pemanasan global dan lain hal.
“Ini menjadi tantangan Indonesia, apalagi di tengah pandemi ini sektor pertanian justru menjadi sektor yang sangat diandalkan dalam pertumbuhan ekonomi ke depan,” pungkasnya.
Ia memberikan contoh di Kalimantan, ketika produktivitas tidak beragam pada kawasan food estate di kawasan itu. Kondisi itu disebabkan teknologi yang digunakan tidak sama antara kawasan satu dengan kawasan lain.
Baca juga:Soal Oknum TNI AU, Puan: Jangan Buat Aparat Jadi Sosok Menakutkan Bagi Rakyat
“Perubahan iklim pada suatu daerah itu kan variable eksternal, yang seharusnya dicarikan jalan keluar, melalui teknologi,” ujarnya secara virtual di Jakarta, Rabu (28/7/2021).
Ia menuturkan, saat ini pemerintah sudah memanfaatkan teknologi dalam menunjang optimalisasi food estate. Namun, menurut Rizal efektifitasnya belum maksimal. Maka dari itu perlu didorong lagi dengan penemuan inovasi dari teknologi itu sendiri.
Rizal juga mengungkapkan, korporasi petani dalam mendorong hilirisasi masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Hingga kini hilirisasi tersebut belum terwujud.
“Padahal harapannya food estate ini adalah korporasi petani itu sendiri dalam menopang pembangunan dan ketahanan pangan nasional serta sebagai supporting pada pangan nasional kita,” tuturnya.
Baca juga:Anak Belum Baligh Jadi Imam Sholat Berjamaah, Bolehkah?
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) memprediksi adanya krisis pangan apabila setiap negara tidak melakukan banyak tindakan dalam memastikan ketahanan pangannya. Indonesia, menurut Rizal, bisa menjadi salah satu negara yang dapat mengalami krisis pangan karena saat ini demand kebutuhan pangan sedang tinggi, namun suplai dalam situasi lemah akibat pemanasan global dan lain hal.
“Ini menjadi tantangan Indonesia, apalagi di tengah pandemi ini sektor pertanian justru menjadi sektor yang sangat diandalkan dalam pertumbuhan ekonomi ke depan,” pungkasnya.
(uka)