Didera 3 Jenis Stres, Nasib PRT Migran Bikin Ngenes
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ketua International Migrants Alliance, Eni Lestari mengungkapkan, sektor terbesar Pekerja Migran Indonesia (PMI) di luar negeri adalah pekerja domestik yaitu pekerja rumah tangga (PRT) dan penjaga jompo, di mana mayoritas pekerjanya adalah kaum perempuan.
Dia mengatakan, sebelum pandemi kondisi pekerja PRT migran sangat berat. Hal itu disebabkan pemerintah pada negara-negara penempatan masih belum memasukkan PRT migran ke dalam perlindungan undang-undang perburuhan, kecuali di Hong Kong.
“Tidak ada kontrak kerja standar, jaminan libur, standar makanan layak dan jam kerja. Inilah alasan utama mengapa PRT terus menerus mengalami perlakuan buruk di tangan majikan dan agen-agen yang jahat,” bebernya dalam webinar Congress of Indonesian Diaspora, Sabtu (14/8/2021).
Sejak pandemi Covid-19, lanjut dia, kondisi kesehatan PRT migran semakin memburuk dan genting. Survei yang dilakukan Badan Koordinasi Migran Asia sebagai aliansi migran lintas negara di Hong Kong menunjukkan bahwa PRT mengalami tiga jenis stres sekaligus.
Pertama, stres fisik yang disebabkan oleh jam kerja yang semakin panjang yakni 17-19 jam per hari. Para pekerja migran tidak mendapatkan jaminan kuantitas dan kualitas makanan bergizi, kurang layaknya tempat tidur dan adanya larangan libur.
Kedua, stres mental. Di tengah work from home (WFH), atau school from home, tuntutan kerja semakin banyak. Mulai dari membersihkan rumah dan masak berkali-kali dalam sehari, menjaga anak dan jompo serta berbelanja.
“PRT juga dilarang libur bahkan hingga berbulan-bulan sehingga tidak ada waktu beristirahat dan rileks. Tuntutan di kampung pun bertambah, karena mereka juga terimbas pandemi. Banyaknya keperluan di kampung halaman sementara PRT tidak bisa pulang. Inilah yang menjadi tekanan,” ujarnya.
Ketiga, stres keuangan yang disebabkan oleh biaya kebutuhan tambahan yang tak terduga yang harus dibayar oleh PRT sendiri, seperti membeli masker, hand sanitizer, dan makanan sehat.
Bagi mereka yang tidak mendapatkan dari majikan terpaksa harus mengorbankan 10-15 persen dari gajinya yang sudah sangat kecil untuk bisa memenuhi kebutuhan darurat tersebut.
“Beban lain adalah biaya penempatan yang menguras enam hingga sembilan bulan gaji kami. Penahanan dokumen oleh P3MI dan juga agensi tanpa adanya mekanisme penyelesaian yang mudah dijangkau oleh pekerja migran di luar negeri,” beber Eni.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia sudah menjamin bahwa biaya penempatan tidak dibebankan lagi kepada PMI. Selain itu, mengakui overcharging sebagai sebuah pelanggaran hukum dan negara menjamin hak korban untuk bisa menuntut hak para PMI kembali melalui UU PMI No. 18 tahun 2017.
Namun sayangnya, hingga saat ini para PMI masih belum menikmati manfaat dari pasal-pasal perlindungan tersebut. Selain itu, dari undang-undang yang berlaku, Eni menyebut masih mendiskriminasikan PRT migran karena mewajibkan untuk menyertakan surat wali dan masuk ke P3MI untuk bisa bekerja ke luar negeri.
“Bahkan kami yang sudah bertahun-tahun di luar negeri pun juga masih diwajibkan untuk menggunakan jasa P3MI dan agensi setiap kali mengurus kontrak kerja dan ditambah harus membayar biaya lagi dengan biaya yang sangat mahal,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah akan terus melakukan upaya dalam meningkatkan kesejahteraan PMI dan pemenuhan hak-hak pekerja.
“Perihal hari libur bagi pekerja domestik terus kami dorong melalui perundingan bilateral dan dituangkan dalam MoU khususnya bagi negara-negara yang belum memiliki peraturan yang melindungi pekerja sektor domestik,” kata Ida.
Dia berharap kepada para pekerja migran Indonesia yang ada di negara penempatan untuk tidak ragu melaporkan setiap permasalahan yang dialami kepada perwakilan Indonesia.
Dia mengatakan, sebelum pandemi kondisi pekerja PRT migran sangat berat. Hal itu disebabkan pemerintah pada negara-negara penempatan masih belum memasukkan PRT migran ke dalam perlindungan undang-undang perburuhan, kecuali di Hong Kong.
“Tidak ada kontrak kerja standar, jaminan libur, standar makanan layak dan jam kerja. Inilah alasan utama mengapa PRT terus menerus mengalami perlakuan buruk di tangan majikan dan agen-agen yang jahat,” bebernya dalam webinar Congress of Indonesian Diaspora, Sabtu (14/8/2021).
Sejak pandemi Covid-19, lanjut dia, kondisi kesehatan PRT migran semakin memburuk dan genting. Survei yang dilakukan Badan Koordinasi Migran Asia sebagai aliansi migran lintas negara di Hong Kong menunjukkan bahwa PRT mengalami tiga jenis stres sekaligus.
Pertama, stres fisik yang disebabkan oleh jam kerja yang semakin panjang yakni 17-19 jam per hari. Para pekerja migran tidak mendapatkan jaminan kuantitas dan kualitas makanan bergizi, kurang layaknya tempat tidur dan adanya larangan libur.
Kedua, stres mental. Di tengah work from home (WFH), atau school from home, tuntutan kerja semakin banyak. Mulai dari membersihkan rumah dan masak berkali-kali dalam sehari, menjaga anak dan jompo serta berbelanja.
“PRT juga dilarang libur bahkan hingga berbulan-bulan sehingga tidak ada waktu beristirahat dan rileks. Tuntutan di kampung pun bertambah, karena mereka juga terimbas pandemi. Banyaknya keperluan di kampung halaman sementara PRT tidak bisa pulang. Inilah yang menjadi tekanan,” ujarnya.
Ketiga, stres keuangan yang disebabkan oleh biaya kebutuhan tambahan yang tak terduga yang harus dibayar oleh PRT sendiri, seperti membeli masker, hand sanitizer, dan makanan sehat.
Bagi mereka yang tidak mendapatkan dari majikan terpaksa harus mengorbankan 10-15 persen dari gajinya yang sudah sangat kecil untuk bisa memenuhi kebutuhan darurat tersebut.
“Beban lain adalah biaya penempatan yang menguras enam hingga sembilan bulan gaji kami. Penahanan dokumen oleh P3MI dan juga agensi tanpa adanya mekanisme penyelesaian yang mudah dijangkau oleh pekerja migran di luar negeri,” beber Eni.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia sudah menjamin bahwa biaya penempatan tidak dibebankan lagi kepada PMI. Selain itu, mengakui overcharging sebagai sebuah pelanggaran hukum dan negara menjamin hak korban untuk bisa menuntut hak para PMI kembali melalui UU PMI No. 18 tahun 2017.
Namun sayangnya, hingga saat ini para PMI masih belum menikmati manfaat dari pasal-pasal perlindungan tersebut. Selain itu, dari undang-undang yang berlaku, Eni menyebut masih mendiskriminasikan PRT migran karena mewajibkan untuk menyertakan surat wali dan masuk ke P3MI untuk bisa bekerja ke luar negeri.
“Bahkan kami yang sudah bertahun-tahun di luar negeri pun juga masih diwajibkan untuk menggunakan jasa P3MI dan agensi setiap kali mengurus kontrak kerja dan ditambah harus membayar biaya lagi dengan biaya yang sangat mahal,” tambahnya.
Menanggapi hal itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker), Ida Fauziyah mengatakan, pemerintah akan terus melakukan upaya dalam meningkatkan kesejahteraan PMI dan pemenuhan hak-hak pekerja.
“Perihal hari libur bagi pekerja domestik terus kami dorong melalui perundingan bilateral dan dituangkan dalam MoU khususnya bagi negara-negara yang belum memiliki peraturan yang melindungi pekerja sektor domestik,” kata Ida.
Dia berharap kepada para pekerja migran Indonesia yang ada di negara penempatan untuk tidak ragu melaporkan setiap permasalahan yang dialami kepada perwakilan Indonesia.
(ind)