Kenaikan Cukai Hasil Tembakau dan Kesejahteraan Petani Didukung CHED ITB Ahmad Dahlan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bersamaan dengan peringatan kemerdekaan RI yang ke-76, Center of Human and Economic Development (CHED) ITB Ahmad Dahlan Jakarta menyelenggarakan konferensi pers pada Jum’at, (18/8) untuk mendukung pemerintah menaikan cukai hasil tembakau minimal sebesar 20% per tahun dan menyederhanakan layer cukai dari 10 menuju 8 layer pada tahun 2022.
Hadir dalam kegiatan tersebut sebagai narasumber di antaranya Mukhaer Pakkanna selaku Rektor ITB Ahmad Dahlan, Abdillah Hasan (Direktur SDM Universitas Indonesia), Istanto (Petani Multikultur Magelang, Jawa Tengah), dan Yamidi (Petani Multikultur Temanggung, Jawa Tengah).
Pemerintah Indonesia saat ini mendapat pukulan berat lantaran penurunan status sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah oleh Bank Dunia. Pertumbuhan ekonomi yang terus menurun di saat pandemi menjadi penyebabnya, upaya mengejar pemulihan ekonomi agar tumbuh setidaknya rerata 6% setelah 2022.
Namun target ini sangat sulit di realisasikan dalam waktu dekat, peningkatan penerimaan dari sektor pajak merupakan salah satu yang digadang pemerintah dapat mengembalikan situasi ekonomi.
“Cukai sebagai bagian dari penerimaan pajak Indonesia, saat ini masih menduduki peringkat ketiga penerimaan pajak, penerimaan tertinggi dari PPH dan PPN. Hal ini perlu didorong terus intesifikasi cukai dan ekstensifikasi cukai,” ujar Roosita Meilani Dewi selaku Kepala CHED ITB Ahmad Dahlan pada Rabu, (18/8) seusai acara Konferensi Pers.
Menurutnya, dari sisi intensifikasi Cukai Hasil Tembakau (CHT) belum secara optimal sesuai amanat undang- undang sebesar 57% dan dengan jumlah layer Cukai hasil tembakau (CHT) yang rumit. Dan untuk ekstensifikasi terutama untuk mengurangi dampak negatif di bidang kesehatan dan lingkungan hidup, cukai harus dikenakan pada minuman berpemanis dan plastik.
“Melalui kenaikan tarif cukai dan perluasan objek kena cukai menjadi strategi keseimbangan yang tepat, dilihat dari sisi penerimaan akan terjadi peningkatan dan menjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari dampak negatif (kesahatan dan lingkungan) suatu produk terwujud," paparnya.
"Kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) akan meningkatkan produktivitas melalui peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan pengenaan cukai minuman berpemanis serta plastik akan mendorong kualitas hidup (peningkatan kesehatan) masyarakat Indonesia yang tangguh menghadapi pandemi,” jelas Roosita yang juga selaku Dosen ITB Ahmad Dahlan.
Sementara, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tahun 2021 menunjukkan bahwa kenaikan CHT 20% akan menurunkan prevalensi merokok orang dewasa dari 33,8% menjadi 32,8%, dan menurunkan prevalensi merokok remaja dari 9,1% menjadi 8,8%.
Hal ini akan mengakibatkan 453.000 lebih sedikit kemaan dini di kalangan orang dewasa dan sekitar 26.000 lebih sedikit kemaan dini di kalangan generasi muda. Selain itu, hal ini juga akan mencegah hampir 116.000 anak Indonesia untuk mulai merokok.
Selanjutnya, Roosita menyampaikan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau di Indonesia selama ini tidak pernah mengalami kestabilan, kenaikan cukai yang seharusanya di tetapkan dan mampu memberikan dampak pada penurunan konsumsi rokok di masyarakat serta meningkatkan pendapatannya untuk kesejahteraan keluarga.
Begitu pula dengan para petani dan buruh pabrik rokok, dalam mata rantai produksi rokok maka petani merupakan hulu yang memberikan suplai akan bahan baku.
Oleh karena dalam kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan RI disebutkan bahwa 50% penggunaan DBHCHT yang diterima daerah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat diantaranya untuk petani. Adapun Pengaturan penggunaan dan pemantaun DBHCHT diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 206/PMK.07/2020.
“Di dalamnya ditentukan bahwa pengaturan penganggaran 50% dengan ketentuan 15% untuk peningkatan kualitas bahan baku dan kegiatan peningkatan kualitas kerja dan 35% untuk kegiatan pemberian bantuan,” ungkapnya.
Kenaikan cukai hasil tembakau sudah seharusnya di dukung oleh petani karena pemanfaatannya jelas dikembalikan untuk kesejahteraan petani. Dengan sasaran penerima manfaat di bidang kesejahteraan masyarakat adalah buruh tani, petani, dan buruh pabrik rokok, hal ini dapat digunakan untuk pelatihan atau modal usaha bagi para buruh dan tentu bagi petani yang ingin beralih tanam maupun tumpang sari dalam usaha taninya.
“Kenaikan cukai hasil tembakau minimal 20% per tahun akan dapat menjadi alternatif peningkatan penerimaan negara yang akan mendorong produktivitas masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan petani dan memberikan multiplier bagi pendapatan masyarakat Indonesia, sehingga Indonesia mampu sejajar lagi dengan negara- negara berpendapatan menengah ke atas,” pungkasnya.
Hadir dalam kegiatan tersebut sebagai narasumber di antaranya Mukhaer Pakkanna selaku Rektor ITB Ahmad Dahlan, Abdillah Hasan (Direktur SDM Universitas Indonesia), Istanto (Petani Multikultur Magelang, Jawa Tengah), dan Yamidi (Petani Multikultur Temanggung, Jawa Tengah).
Pemerintah Indonesia saat ini mendapat pukulan berat lantaran penurunan status sebagai negara berpendapatan menengah ke bawah oleh Bank Dunia. Pertumbuhan ekonomi yang terus menurun di saat pandemi menjadi penyebabnya, upaya mengejar pemulihan ekonomi agar tumbuh setidaknya rerata 6% setelah 2022.
Namun target ini sangat sulit di realisasikan dalam waktu dekat, peningkatan penerimaan dari sektor pajak merupakan salah satu yang digadang pemerintah dapat mengembalikan situasi ekonomi.
“Cukai sebagai bagian dari penerimaan pajak Indonesia, saat ini masih menduduki peringkat ketiga penerimaan pajak, penerimaan tertinggi dari PPH dan PPN. Hal ini perlu didorong terus intesifikasi cukai dan ekstensifikasi cukai,” ujar Roosita Meilani Dewi selaku Kepala CHED ITB Ahmad Dahlan pada Rabu, (18/8) seusai acara Konferensi Pers.
Menurutnya, dari sisi intensifikasi Cukai Hasil Tembakau (CHT) belum secara optimal sesuai amanat undang- undang sebesar 57% dan dengan jumlah layer Cukai hasil tembakau (CHT) yang rumit. Dan untuk ekstensifikasi terutama untuk mengurangi dampak negatif di bidang kesehatan dan lingkungan hidup, cukai harus dikenakan pada minuman berpemanis dan plastik.
“Melalui kenaikan tarif cukai dan perluasan objek kena cukai menjadi strategi keseimbangan yang tepat, dilihat dari sisi penerimaan akan terjadi peningkatan dan menjukkan komitmen pemerintah untuk melindungi rakyatnya dari dampak negatif (kesahatan dan lingkungan) suatu produk terwujud," paparnya.
"Kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) akan meningkatkan produktivitas melalui peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM). Kenaikan Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan pengenaan cukai minuman berpemanis serta plastik akan mendorong kualitas hidup (peningkatan kesehatan) masyarakat Indonesia yang tangguh menghadapi pandemi,” jelas Roosita yang juga selaku Dosen ITB Ahmad Dahlan.
Sementara, data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Tahun 2021 menunjukkan bahwa kenaikan CHT 20% akan menurunkan prevalensi merokok orang dewasa dari 33,8% menjadi 32,8%, dan menurunkan prevalensi merokok remaja dari 9,1% menjadi 8,8%.
Hal ini akan mengakibatkan 453.000 lebih sedikit kemaan dini di kalangan orang dewasa dan sekitar 26.000 lebih sedikit kemaan dini di kalangan generasi muda. Selain itu, hal ini juga akan mencegah hampir 116.000 anak Indonesia untuk mulai merokok.
Selanjutnya, Roosita menyampaikan Kebijakan Cukai Hasil Tembakau di Indonesia selama ini tidak pernah mengalami kestabilan, kenaikan cukai yang seharusanya di tetapkan dan mampu memberikan dampak pada penurunan konsumsi rokok di masyarakat serta meningkatkan pendapatannya untuk kesejahteraan keluarga.
Begitu pula dengan para petani dan buruh pabrik rokok, dalam mata rantai produksi rokok maka petani merupakan hulu yang memberikan suplai akan bahan baku.
Oleh karena dalam kebijakan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan RI disebutkan bahwa 50% penggunaan DBHCHT yang diterima daerah untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat diantaranya untuk petani. Adapun Pengaturan penggunaan dan pemantaun DBHCHT diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 206/PMK.07/2020.
“Di dalamnya ditentukan bahwa pengaturan penganggaran 50% dengan ketentuan 15% untuk peningkatan kualitas bahan baku dan kegiatan peningkatan kualitas kerja dan 35% untuk kegiatan pemberian bantuan,” ungkapnya.
Kenaikan cukai hasil tembakau sudah seharusnya di dukung oleh petani karena pemanfaatannya jelas dikembalikan untuk kesejahteraan petani. Dengan sasaran penerima manfaat di bidang kesejahteraan masyarakat adalah buruh tani, petani, dan buruh pabrik rokok, hal ini dapat digunakan untuk pelatihan atau modal usaha bagi para buruh dan tentu bagi petani yang ingin beralih tanam maupun tumpang sari dalam usaha taninya.
“Kenaikan cukai hasil tembakau minimal 20% per tahun akan dapat menjadi alternatif peningkatan penerimaan negara yang akan mendorong produktivitas masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan petani dan memberikan multiplier bagi pendapatan masyarakat Indonesia, sehingga Indonesia mampu sejajar lagi dengan negara- negara berpendapatan menengah ke atas,” pungkasnya.
(akr)