Investor Harus Tetap Berhati-hati dalam Membeli Saham Unicorn
loading...
A
A
A
JAKARTA - Hadirnya perusahaan teknologi digital dengan valuasi lebih dari USD1 miliar atau unicorn menjadi peluang tersendiri bagi investor pasar modal untuk berinvestasi di saham-saham unicorn . Apalagi, fenomena penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO) perusahaan unicorn diprediksi akan berkembang ke depannya.
Kendati demikian, dengan karakteristik yang berbeda dengan perusahaan konvensional yang sebelumnya sudah tercatat di Bursa. Investor saham, khususnya investor ritel, harus tetap memperdalam literasi dan edukasi terkait dengan pasar modal sebelum berinvestasi di saham-saham unicorn tersebut.
“Kita harus berhati-hati sebelum membeli saham unicorn. Kalau sudah memutuskan masuk ke saham IPO, apalagi unicorn, potensinya fluktuasi. Tidak hanya saham unicorn, tapi yang lain juga. Kita harus menyiapkan budget sesuai dengan konsekuensi,” ujar CEO Coffeemeetstock, Theo Derick, saat dihubungi.
Menurut Theo, perusahaan unicorn memiliki pendekatan yang berbeda dari perusahaan-perusahaan lain yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia menambahkan, perusahaan teknologi digital melihat prospek dan pertumbuhan di masa depan.
“Jadi, perusahaan-perusahaan ini terjun IPO dengan visioner yang bener-bener jauh ke depan. Bukan dengan laporan keuangan yang memang sudah jelas ada cash dan profitnya. Sebab, perusahaan teknologi itu rata-rata pasti masih merugi,” ucapnya.
Theo mengungkapkan, sebelum membeli saham perusahaan unicorn, investor ritel tetap bisa melihat prospektus perusahaan di website BEI. Selain itu, dikatakan Theo, secara taktikal investor ritel bisa melakukan penyesuaian budget sekitar 10-20% dari dana investasi untuk belajar dan melihat perkembangan dan mendukung perusahaan teknologi digital di Indonesia.
“Nah, kemudian setelah kita sudah masuk yang 10-20 persen, terus kita lihat performanya setahun. Nanti laporan keuangannya kan sudah kelihatan, kita bisa menilai lagi perusahaan ini ke depannya bagaimana, pengelolaan uang hasil IPO-nya bagaimana, baru kita bisa memutuskan akan menambah dana investasi kita atau tidak,” jelasnya.
Selain itu Theo juga mengingatkan, bahwa investasi di perusahaan teknologi pendekatannya melalui prospek masa depan, sehingga investasi di saham unicorn ini merupakan investasi jangka panjang. Lebih jauh lagi, ia mengatakan bahwa investor ritel dapat melihat perusahaan unicorn melalui ekosistem perusahaannya.
“Kalau teknologi biasanya kita lihat ke industri dan ekosistem. Semakin ready ekosistemnya, maka semakin prospek perusahaan unicorn. Kita tidak bisa hanya melihat laporan keuangan, tapi kita lihat ekosistemnya. Semakin perusahaan ekosistemnya ready dan punya pondasi yang kuat, maka dapat menjadi investasi jangka panjang,” pungkasnya.
Baca Juga
Kendati demikian, dengan karakteristik yang berbeda dengan perusahaan konvensional yang sebelumnya sudah tercatat di Bursa. Investor saham, khususnya investor ritel, harus tetap memperdalam literasi dan edukasi terkait dengan pasar modal sebelum berinvestasi di saham-saham unicorn tersebut.
“Kita harus berhati-hati sebelum membeli saham unicorn. Kalau sudah memutuskan masuk ke saham IPO, apalagi unicorn, potensinya fluktuasi. Tidak hanya saham unicorn, tapi yang lain juga. Kita harus menyiapkan budget sesuai dengan konsekuensi,” ujar CEO Coffeemeetstock, Theo Derick, saat dihubungi.
Menurut Theo, perusahaan unicorn memiliki pendekatan yang berbeda dari perusahaan-perusahaan lain yang sudah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Ia menambahkan, perusahaan teknologi digital melihat prospek dan pertumbuhan di masa depan.
“Jadi, perusahaan-perusahaan ini terjun IPO dengan visioner yang bener-bener jauh ke depan. Bukan dengan laporan keuangan yang memang sudah jelas ada cash dan profitnya. Sebab, perusahaan teknologi itu rata-rata pasti masih merugi,” ucapnya.
Theo mengungkapkan, sebelum membeli saham perusahaan unicorn, investor ritel tetap bisa melihat prospektus perusahaan di website BEI. Selain itu, dikatakan Theo, secara taktikal investor ritel bisa melakukan penyesuaian budget sekitar 10-20% dari dana investasi untuk belajar dan melihat perkembangan dan mendukung perusahaan teknologi digital di Indonesia.
“Nah, kemudian setelah kita sudah masuk yang 10-20 persen, terus kita lihat performanya setahun. Nanti laporan keuangannya kan sudah kelihatan, kita bisa menilai lagi perusahaan ini ke depannya bagaimana, pengelolaan uang hasil IPO-nya bagaimana, baru kita bisa memutuskan akan menambah dana investasi kita atau tidak,” jelasnya.
Selain itu Theo juga mengingatkan, bahwa investasi di perusahaan teknologi pendekatannya melalui prospek masa depan, sehingga investasi di saham unicorn ini merupakan investasi jangka panjang. Lebih jauh lagi, ia mengatakan bahwa investor ritel dapat melihat perusahaan unicorn melalui ekosistem perusahaannya.
“Kalau teknologi biasanya kita lihat ke industri dan ekosistem. Semakin ready ekosistemnya, maka semakin prospek perusahaan unicorn. Kita tidak bisa hanya melihat laporan keuangan, tapi kita lihat ekosistemnya. Semakin perusahaan ekosistemnya ready dan punya pondasi yang kuat, maka dapat menjadi investasi jangka panjang,” pungkasnya.
(akr)